Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Dalam menghadapi tantangan perbedaan, warga akar rumput melakukan ikhtiar yang bisa jadi pembelajaran bagi kaum urban dan pemerintah.
INDONESIA tak hanya merayakan Hari Toleransi Internasional pada 16 November ketika masyarakat internasional menyepakati tanggal itu untuk mengingatkan pentingnya harmoni yang menyatukan perbedaan. Warga di penjuru Nusantara mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Komitmen untuk menerima perbedaan dan berkolaborasi tanpa membedakan identitas religi dirajut di Desa Kertajaya, Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, bahkan ketika Indonesia belum dideklarasikan. Gereja Kristen Pasundan Palalangon yang berdiri di sana sejak 1801 menjadi wahana warga desa untuk belajar dan berlatih tentang ikhtiar menghadirkan toleransi.
Warga muslim yang jumlahnya mendominasi, salah satunya Ismail Soleh, tokoh agama yang juga pengurus Yayasan Nurul Hidayah, rutin duduk bersama Yunarta, anggota Majelis Gereja Desa Kertajaya. Keduanya anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Warga di desa yang hidup dengan bertani dan beternak ikan itu memanfaatkan betul anggaran organisasi tersebut. Dana FKUB sebesar Rp3 juta hingga Rp5 juta yang dialokasikan dari anggaran desa tak cuma berakhir dengan rapat dan kesepakatan di atas kertas, tetapi juga berujung pada aksi yang menautkan warga desa yang punya 4 gereja, 12 masjid, 23 musala, 1 pesantren, dan 12 DKM itu.
"Kita sering makan nasi liwet beralas daun pisang di pinggir jalan dengan sukacita. Ini bentuk kebersamaan agar rasa saling menjaga, menghormati, dan menghargai dirasakan betul," pungkas Bhabinkamtibmas Desa Kertajaya Aiptu Nico yang menjadi salah satu elemen perajut kebersamaan itu.
Setia di masa sulit
Bukan cuma dalam syukuran dan hari raya, dalam masa-masa sulit yang dialami warga, toleransi menjadi aksi. Di Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, semboyan desa ASRI, kependekan dari agamais, sejahtera, rukun, rajin, ramah, dan intelek itu juga dirajut dalam Rukun Kematian yang menyatukan warga Kristen dan Islam. "Di rukun kematian ada kayu atau papan untuk membuat peti jenazah. Inventaris itu gratis atas swadaya masyarakat. Tukang kayu, baik yang Islam maupun Kristen, sudah biasa membuatkan peti tanpa dibayar atau secara sukarela," kata Kepala Desa Sitiarjo, Lispianto Daud.
Begitu pula di Desa Pabian, Kota Sumenep, Jawa Timur, Gereja Paroki Maria Gunung Karmel bersisian dengan Masjid Baiturrahmah dan Kelenteng Tri Dharma Pao Xian Lin Kong. Di Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Masjid Miftahul Huda, Gereja Kristen Jawi Wetan, dan Pura Sweta Mahasuci sengaja dibangun di satu kawasan. Umatnya bergantian menjaga keamanan hingga mengatur parkir pada hari raya. Ketika Natal kini tinggal beberapa pekan, warga desa pun bersiap menghias pohon Natal. Tahun lalu saja, enam pohon Natal besar sukses dihias dengan aneka bahan daur ulang.
Agar dapat ditiru kaum urban yang juga rentan gesekan, terutama yang kerap galak di media sosial, kearifan lokal yang didasari kesamaan kultur dan ikatan darah itu harus disegarkan. "Salam enam agama, assalamualaikum, shalom, om swastiastu, dan sebagainya ialah bentuk kreasi baru. Lalu pada acara berdoa, mempersilakan penganut agama lain berdoa sesuai keyakinanannya. Butuh pembiasaan yang sederhana, tapi sangat Indonesia," kata Kepala Bidang Pembinaan Lembaga Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Wawan Djunaedi. (BN/YK/PO/MG/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved