Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Waspadai Jual Beli Remisi Berkedok Justice Collabolator

Damar Iradat/MTVN
17/8/2016 13:15
Waspadai Jual Beli Remisi Berkedok Justice Collabolator
(ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA)

INSTITUTE for Crime and Justice Reformasi (ICJR) meminta tiga lembaga hukum mengeluarkan nama-nama orang yang mendapat status sebagai justice collaborator (JC). Hal ini perlu dibuka untuk mengungkap kasus jual beli status JC.

Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Eddyono mengatakan, pemberian status JC tidak boleh sembarangan diberikan. Pelabelan seseorang tersangka korupsi sebagai JC juga harus dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan, di luar skema tersebut, maka JC hanya untuk memfasilitasi remisi.

"Status JC juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal, bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi," ungap Supriyadi, Rabu (17/8).

Supriyadi mengatakan, jumlah JC yang dikeluarkan oleh masing-masing Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, berdasarkan data Ditjen Permasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang ditemukan bahwa Kejaksaan merupakan institusi yang paling sering mengeluarkan status JC. Total, Kejaksaan telah mengeluarkan JC sebanyak 670 sejak 2013 hingga Juli 2016, tepat setelah PP tahun 2012 berlaku.

Sementara, sejak 2013 hingga Juli 2016, Kepolisian hanya memberikan sebanyak 17 JC. Sedangkan, KPK bahkan hanya mengeluarkan satu status JC.

Dari data tersebut, Supriyadi mempertanyakan, apakah status JC yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga hukum itu diberikan pada saat proses penuntutan atau dengan kata lain, apakah diberikan sebelum atau sesudah putusan.

Supriyadi juga mengatakan, yang paling penting yakni apabila status JC baru diberikan setelah putusan, maka angka-angka ini merupakan angka yang sangat mengejutkan. Sebab, secara hukum di Indonesia, JC seharusnya diberikan sebelum putusan.

Supriyadi menambahkan, logika ini sebenarnya logika yang sama yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012, dimana JC menjadi syarat remisi untuk memberikan insentif atau memberikan bergain kepada penyidik dan penuntut umum agar tersangka atau terdakwa mau bekerja sama dalam mengungkap kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat sistemik dan terorganisir. Apabila status JC diberikan pasca putusan atau proses penuntutan, ia curiga, pemberian JC merupakan akal-akalan untuk mendapatkan remisi.

"Dari sinilah harusnya dugaan adanya 'permainan atau komoditas yang diperjualbelikan' dapat ditelusuri," tegasnya. (OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya