Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PARTAI Buruh merasa verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlalu berat. Selain itu, dalam permohonan pengujian Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), Partai Buruh memandang pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sudah tidak relevan.
Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Ferri Nuzarli memohonkan uji materiil UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (13/9) dengan agenda sidang perbaikan permohonan. Pada permohonan perkara dengan registrasi Nomor 78/PUU-XX/2022 itu, pemohon menguji Pasal 173 ayat (1), Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Baca juga: PPATK Sebut Transaksi Judi Online Mencapai Rp155,459 Triliun
Pemohon menyebut dua isu utama yakni isu verifikasi calon partai politik sebagai peserta pemilu dan pembentukan peraturan oleh lembaga pemilu.
"Adanya keadaan baru atau kondisi hukum aktual yang menyebabkan pemaknaan kembali Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang sudah dimaknai oleh putusan MK Nomor 55 tahun 2020," ujar Kuasa Hukum Partai Buruh Imam Nasef pada sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan anggota Arief Hidayat serta Saldi Isra.
Imam menjelaskan UU Pemilu tidak diwajibkan verifikasi faktual kecuali ketentuan yang sudah dimaknai oleh MK melalui putusan Nomor 55 tahun 2020. Ia lebih lanjut menjelaskan ketentuan verifikasi dalam UU Pemilu hanya diatur dalam empat pasal yakni Pasal 174, 174, 178, dan 179.
"Keempat pasal tersebut hanya menyebut verifikasi tanpa ada tambahan kata faktual. Munculnya verifikasi faktual muncul karena kebijakan dari KPU dalam peraturan KPU," ucapnya.
Menurut Partai Buruh, proses verifikasi faktual yang berlangsung 2 Agustus 2022 sampai 12 Oktober 2022 tidak hanya mencangkup kelengkapan dokumen persyaratan melainkan juga kebenaran dokumen yang disampaikan. Pemohon menganggap verifikasi administrasi telah tercangkup verifikasi faktual.
"Kami menyebutnya verifikasi semi-faktual," ucapnya.
Hal itu, terang Imam, karena aturan verifikasi yang dibuat KPU pada penyelenggaraan pemilu 2024 terbilang berat. Partai politik calon peserta pemilu diharuskan menyerahkan dokumen persyaratan melalui sistem informasi politik (Sipol). Lalu, imbuh dia, dalam prapendaftaran, seluruh dokumen yang dikirim partai politik sudah langsung dilakukan verifikasi administratif. Padahal, terangnya, tahapan verifikasi belum dimulai.
"Sebenarnya tahapan itu sudah masuk pada verifikasi administrasi karena pemeriksaan dan kelengkapan dokumen. Ketika ada dokumen keanggotaan yang didalamnya merangkap sebagai pengurus, otomatis akan tertolak oleh sistem (Sipol)," paparnya.
Syarat tersebut, disampaikan Imam, membuat banyak partai politik calon peserta pemilu yang dinyatakan ditolak pendaftarannya pada proses verifikasi administrasi.
Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sepanjang kata “verifikasi” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “verifikasi secara administrasi”.
Selain mengenai verifikasi, pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “penduduk pada setiap kabupaten/kota” serta Pasal Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu.
Kemudian meminta MK menyatakan Pasal 177 huruf f UU Pemilu sepanjang frasa “Penduduk pada setiap kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”.
Lalu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved