Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
DOSEN Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan pasal-pasal mengenai pernikahan beda agama dalam Undang-Undang (UU) No.16/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1/1974 tentang Perkawinan, mengandung banyak penafsiran. Mahkamah Konstitusi (MK) menurutnya dapat mempertegas tafsir tersebut sehingga tidak ada lagi perdebatan mengenai itu.
"Majelis hakim MK dapat mempertegas ketetapan mengenai pernikahan beda agama dalam undang-undang Perkawinan. Selama teks dalam UU Perkawinan dapat ditafsirkan secara beragam akan terus menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian," ujar Ade saat menjadi saksi ahli dalam perkara pengujian Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD 1945 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (27/7).
Baca juga: Hasto : Pengganti Menpan-Rebiro Sudah Dibahas Megawati dan Jokowi
Pasal yang diuji yakni Pasal 2 ayat (1) UU Perwakinan yang berbunyi 'Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu' dan Pasal 8 huruf f yang menyebutkan 'Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang kawin.' Kedua pasal itu dimohonkan untuk uji materiil oleh E. Ramos Petege. Ramos adalah warga negara yang merasa kehilangan haknya untuk menikahi perempuan yang berbeda agama karena adanya ketentuan dalam UU Perkawinan.
Ade menambahkan, bahwa tidak ada tafsiran tunggal terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Mahkamah Agung (MA), ujar Ade, pada 20 Januari 1989 menyatakan undang-undang perkawinan tidak memuat suatu ketentuan yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan istri merupakan larangan perkawinan. Ia pun mengatakan pasal-pasal itu sudah progresif karena mengembalikan ketentuan perwakinan beda agama berdasarkan agama masing-masing warga negara. Namun ia khawatir apabila pasal itu tetap berlaku, warga negara yang ingin melakukan pernikahan beda agama, terpaksa harus berpindah agama ataupun menikah di luar negeri dan kembali ke Indonesia untuk mendaftarkan pernikahannya secara administrasi.
Sementara itu, Dosen Filsafat Hukum Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia Rocky Gerung yang juga hadir sebagai saksi ahli mengatakan perkawinan adalah peristiwa hukum perdata. Dalam undang-undang, perkawinan adalah hak warga negara, bukan kewajiban. Negara, menurutnya tidak perlu ikut campur mengatur pernikahan warganya tetapi cukup memfasilitasi dengan mencatatkan secara administrasi pernikahan tersebut.
"Perkawinan adalah keputusan pribadi setiap orang yang harus dilayani oleh negara. Negara cukup mencatatkan saja bahwa telah terjadi perkawinan. Bahwa perkawinan bermasalah secara agama itu bukan urusan negara," tukasnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved