Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Indef: Pengampunan Pajak Wujud Kegagalan Pemerintah Ciptakan Sistem Adil

M. Ilham Ramadhan Avisena
06/10/2021 17:17
Indef: Pengampunan Pajak Wujud Kegagalan Pemerintah Ciptakan Sistem Adil
Pengampunan pajak(Ilustrasi)

PENELITI Center of Food, Energy, and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menuturkan, agenda pengampunan pajak atau lebih dikenal sebagai Tax Amnesty merupakan bentuk pengakuan pemerintah atas gagalnya menegakkan keadilan pada sistem perpajakan nasional.

“Tax amnesty ini otoritas mengakui kegagalannya dalam menegakkan keadilan pajak. Ada Pandora Papers yang menyebutkan bahwa selama ini sistem perpajakan kita belum adil. Buktinya, banyak sekali masalah basis pajak yang blm jelas, kejahatan penghindaran pajak yang sengaja, baik melalui transfer pricing dan lainnya,” kata Rusli dalam diskusi daring bertajuk Menakar Untung Rugi RUU HPP, Rabu (6/10).

Dia mengatakan, agenda pengampunan pajak yang diupayakan pemerintah dalam Rancangan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) itu menurutnya memang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, dengan program itu dana-dana yang selama ini tak terdeteksi pemerintah atau dibawa ke luar negeri oleh pengemplang pajak diharapkan dapat dibawa kembali ke Indonesia.

Namun, pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali justru dapat berpotensi menggerus kepatuhan wajib pajak. Alih-alih menebalkan kepercayaan masyarakat melalui pelaporan dan pembayaran pajak, pengampunan pajak justru menciptakan ketidakadilan dari perspektif wajib pajak yang selama ini patuh.

Apalagi dalam draf RUU HPP yang beredar, kata Rusli, terdapat ketentuan tarif pengampunan pajak yang dinilai mengkhawatirkan. Dalam pasal 5 RUU HPP dijelaskan, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum diungkapkan kepada otoritas pajak. Harta bersih yang dimaksud merupakan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015.

Harta bersih tersebut dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final yang dihitung dengan mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Adapun dalam pasal 5 ayat 7 huruf a dijelaskan, tarif PPh final akan dikenakan kepada wajib pajak sebesar 6% atas harta bersih yang berada di Indonesia dengan ketentuan berinvestasi pada kegiatan di sektor sumber daya alam atau energi baru terbarukan, dan surat berharga negara.

Selanjutnya pada poin b, wajib pajak dikenakan tarif PPh final sebesar 8% atas harta bersih yang berada di Indonesia dan tidak diinvestasikan pada sektor sumber daya alam atau energi baru terbarukan, dan surat berharga negara.

Baca juga : Penyelenggara dan Pengawas Pemilu Harus Inovatif

Lalu pada poin c disebutkan, wajib pajak dikenakan tarif PPh final sebesar 6% atas harta bersih yang ada di luar Indonesia dengan ketentuan mengalihkan hartanya ke dalam negeri dan diinvestasikan kepada sektor sumber daya alam atau energi baru terbarukan, dan surat berharga negara.

Berikutnya pada poin d dijelaskan, wajib pajak dikenakan tarif PPh final 8% atas harta bersih yang ada di luar Indonesia dengan ketentuan ketentuan mengalihkan hartanya ke dalam negeri dan diinvestasikan kepada sektor sumber daya alam atau energi baru terbarukan, dan surat berharga negara.

Kemudian pada poin e dijelaskan, wajib pajak dikenakan tarif PPh final sebesar 11% atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam negeri. Adapun dasar pengenaan pajak ialah sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan oleh wajib pajak.

Rusli menilai, ketentuan yang mengarahkan agar wajib pajak yang tidak patuh tersebut untuk berinvestasi ke sektor sumber daya alam maupun energi baru dan terbarukan berpotensi melahirkan oligarki baru.

“Ini akan melibatkan atau sesuatu yang mewujudkan oligarki baru. Ketika dulu ada (penguasaan) tambang batu bara, (kemungkinan akan terjadi) untuk energi baru terbarukan atau sumber daya alam lain yang belum tergali baik misal nikel dan sebagainya,” jelas dia.

“Saya mengira yang akan mendapat Tax Amnesty adalah orang-orang kaya. Mereka otomatis akan diarahkan ke investasi SDA dan ini akan membuat distorsi. Orang yang mendapat tax amnesty bakal dapat izin usaha di sektor SDA dan EBT lebih mudah karena sudah ada koneksi politik,” sambung Rusli.

Dia khawatir bila kondisi itu terjadi, upaya pemerintah untuk mendorong pemanfaatan EBT tak dapat terealisasi dengan baik. Sekali pun terealisasi, menurut Rusli, satu-satunya yang bersih hanyalah energi yang dimanfaatkan, bukan dalam prosesnya.

“Pada akhirnya, harapan kita menuju energi bersih itu tidak bersih-bersih amat. Energi bersih, tapi secara proses tidak bersih, ada ongkos yang harus kita tanggung, karena itu tadi, ada biaya politiknya di awal,” pungkas Rusli. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya