Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Orientalisme dan Partai Islam di Indonesia

Valentina Defra Setianingrum, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI
25/4/2021 22:05

PERKEMBANGAN zaman tentulah paralel dengan perkembangan di segala aspek sosial, politik, ekonomi hingga budaya. Tak pelak hal itu memunculkan pemikiran-pemikiran kontemporer baru di abad ini. Salah satu pemikiran politik yang berkembang di era kontemporer adalah sebuah bentuk orientalisme. 

Salah satu pemikir konsep dasar orientalisme yang terkenal dan terus diperbincangkan pembahasannya era ini adalah Edward Said (1978). Dalam sebuah interview di 1994, Edward Said menggambarkan pandangan yang kritis terkait pengambilan keputusan yang diambil Yasser Arafat terkait pembebasan Palestina. 

Kritik Edward Said ini berlandaskan atas pandangan mengenai bentuk orientalisme, merupakan gaya berfikir yang dibuat antara 'Timur' sebagai the orient dan hampir selalu 'Barat' sebagai the occident. Pandangannya juga dimuat dalam bukunya berjudul Orientalisme. Ia melihat orientalisme sebagai sebuah gaya pemikiran orang-orang Barat melihat dunia Timur atau negara Islam. 

"... Orientalism, a way of coming to terms with the Orient that is based on the Orient's special place in European Western experience.” Said (1978:120). Said dalam hal ini mewacanakan tentang keseluruhan mengenai wacana budaya maupun gagasan dari budaya yang berbeda seperti halnya ras, agama, dan peradaban. 

Edward Said sangat kritis terhadap sikap atau tindakan yang dilakukan Barat terhadap dunia Timur. Hal ini merujuk pada wilayah Palestina, Arab, dan Timur lainnya yang mendapatkan tekanan ras, agama dan peradaban yang dilakukan oleh Barat. Bangsa-bangsa Timur oleh Barat jarang sekali dilihat secara langsung. Mereka dilihat bukan sebagai warga negara atau rakyat, melainkan sebagai masalah yang harus dipecahkan, dibatasi karena kekuatan-kekuatan kolonial menginginkan wilayah menguasai wilayah mereka secara terang-terangan.

Oleh sebab itu bangsa Timur dipandang dengan perspektif yang sangat sederhana yakni bangsa yang harus diperintah dan dikuasai. Bangsa Timur dilihat sebagai kumpulan orang tidak rasional, mistis, aneh, tidak beradab dan bar bar. Dalam hal ini Barat terus mengonstruksi wacana yang menempatkan Timur sebagai inferior, dan hanya sebuah khayalan. Sebaliknya Barat merupakan superior yang ada. 

Menurut Said, terdapat kekeliruan yang hadir dari cara pandang Barat terhadap Timur karena selama ini masyarakat Barat membuat stereotip mengenai kehidupan masyarakat Timur. Dalam hal ini Said berusaha untuk menggambarkan bahwa bangsa Timur adalah nyata dan dapat dilihat secara langsung sebagai sebuah entitas masyarakat. 

Konteks keindonesiaan

Konteks orientalisme yang dipandang Edward Said, ternyata mampu untuk ditinjau secara lebih jauh ke dalam kondisi sosial politik di Indonesia. Hal ini tampak dari tindakan pemerintah atas penanganan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang dianggap ingin membentuk dunia Islam di Indonesia. Framing yang diberikan pemerintah dalam pembubaran ormas Islam seperti FPI, HTI dan ormas Islam lainnya menganggap bahwa Islam yang konservatif dan cenderung radikal akan merusak harmonisasi negara Indonesia.

Radikalisme Islam yang dibingkai tersebut identik dengan terorisme yang justru akhirnya membuat pandangan tentang Islam semakin buruk. Dalam hal ini, saya tidak membenarkan segala macam bentuk aksi teror yang ada di Indonesia. Namun, analisis mengenai keterkaitan antara terorisme dan Islam perlu dikaji lebih mendalam dan tidak dapat dijadikan landasan acuan untuk menstereotipe Islam.

Masalah terkait framing stereotipe Islam dan ketakutan akan pembentukan negara Islam, akhirnya juga berdampak dalam pemilu yang ada di Indonesia. Adanya framing ini membuat sangat sulitnya partai Islam mendapatkan suara masyarakat akibat sifat pesimisme masyarakat terhadap partai Islam yang dianggap kaku. 

Studi kasus yang diambil adalah kondisi terkait rendahnya jumlah partai Islam yang berhasil masuk parlemen dalam kontestasi pemilu 2019. Saat itu, 14 partai yang bersaing dengan ideologi yang beragam akhirnya mendapatkan hasil akhir dengan menempatkan PDIP, Golkar dan Gerindra sebagai 3 posisi teratas. 

Hal ini ternyata memiliki sebuah alasan, dari hasil analisis ditemukan fakta bahwa partai-partai yang menempati posisi teratas atau yang paling banyak mendapat kursi di parlemen merupakan partai berbasis ideologi nasional. Lalu bagaimana dengan partai berbasis ideologi agama, khususnya partai-partai Islam? 

Partai-partai berbasis ideologi Islam dalam pemilu 2019 masih mendapatkan kursi di parlemen, namun tidak sebanyak partai-partai nasionalis. Dilansir dari Kompas (2019) partai Islam yang berhasil masuk parlemen yaitu PKB, PKS, PAN dan PPP. Akumulasi jumlah kursi yang diterima oleh seluruh partai berideologi Islam kurang lebih mencapai 171 kursi dari total 575 kursi secara keseluruhan. Atas dasar ini, dapat terlihat bahwa masyarakat Indonesia saat ini lebih tertarik dengan paham-paham nasionalis yang merupakan sebuah bentuk pemikiran, yang jika ditinjau melalui sejarahnya merupakan sebuah ide, konsep atau sebuah gagasan hasil produksi barat. 

Dalam hal ini, seiring dengan perkembangan waktu paham nasionalis yang berasal dari Barat berhasil membuat partai-partai nasionalis memenangkan suara lebih banyak dibandingkan dengan partai Islam yang ada, padahal masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam. Mengapa hal ini dapat terjadi? Alasan terkait partai Islam yang tidak lagi diminati oleh masyarakat Indonesia ternyata juga didorong oleh faktor-faktor lainnya seperti pola pikir masyarakat yang semakin sekuler dan rasional. 

Dalam hal ini, masyarakat cenderung melihat partai Islam sebagai sebuah partai yang tertinggal dengan pandangannya yang konservatif. Ditambah adanya framing kuat di masyarakat yang diawal sempat dibahas terkait ketakutan para nasionalis terkait pembentukan negara Islam, atau berbasis ideologi Islam yang konservatif. Dalam hal ini bentuk orientalisme sesuai dengan apa yang Said maksudkan terjadi dalam masyarakat Indonesia. 

Menanggapi fenomena ini, masukan atas bentuk orientalisme yang terjadi di Indonesia saya lihat dapat diatasi dengan cara menghilangkan framing atau stereotipe negatif terhadap partai atau gerakan berbasis agama, khususnya Islam. Di samping itu, dari sisi pemerintah diperlukan adanya keterbukaan dalam menangani segala jenis gerakan yang mungkin dinilai mengancam integrasi masyarakat. Pembubaran sebuah gerakan atau organisasi massa yang cacat hukum sebenarnya akan membuka celah perpecahan dan permasalahan baru di masyarakat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya