REVISI Undang-Undang (UU) Pemilu selama ini hanya mengarah ke persoalan teknis ketimbang substantif. Para politisi di parlemen tidak menggunakan kajian akademis mengenai pemilu yang ideal seperti apa.
“Biasanya revisi dilakukan hanya untuk kepentingan sesaat politisi dan parpol,” ungkap pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Hendra Try Ardiyanto dalam webinar bertajuk Revisi UU Pemilu untuk Siapa?, Minggu (31/1).
Hendra melihat berbagai revisi UU Pemilu yang cenderung merupakan fenomena partai politik meregulasi dirinya sendiri. Sebagai contoh, ungkapnya, bagaimana jumlah sumbangan yang diberikan ke politisi dan parpol yang semakin membesar serta ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden.
“Sementara kepentingan publik dalam pemilu seringkali tidak terefleksi dalam berbagai revisi. Akibatnya setelah pemilu usai, kepentingan pemilu untuk menyejahterakan rakyat tidak pernah terealisasi,” cetusnya.
Hendra menyarankan sejumlah isu dimasukkan ke draf RUU Pemilu yang dianggap lebih menghasilkan pemilu yang berkualitas seperti larangan bagi koruptor dan sanksi tegas bagi jual pelaku jual beli suara. “Jika agenda tersebut dimasukkan, kemungkinan untuk menghasilkan banyaknya pemimpin berkualitas masih ada,” ujarnya.
Pada diskusi yang sama, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sri Nuryanti menyarankan DPR dan pemerintah hanya melakukan revisi terbatas terhadap UU Pemilu. Revisi terbatas ini dilakukan untuk pembenahan dan penataan kehidupan politik di Indonesia. “Perbaikan ini direvisi enggak apa-apa, tapi agendanya untuk pembenahan dan penataan kehidupan politik,” tuturnya.
Menurut Nuryanti, seharusnya revisi UU bertujuan untuk memperbaiki regulasi mengenai tata kelola dalam pelaksanaan pemilu. Namun, ungkapnya, saat ini justru muncul wacana revisi hanya ditujukan untuk kelompok tertentu. “Idealnya kan perbaikan untuk kita semua, atau sebenarnya hanya untuk ‘kami’ saja?” ungkapnya.
Nuryanti menyebutkan sejumlah isu yang harus diperbaiki seperti bagaimana lembaga penyelenggara pemilu, peserta pemilu, calon yang berintegritas, penyelesaian sengketa, dan perlindungan pemilih. “Isu ini perlu untuk diagendakan kalau revisi UU Pemilu ingin dilakukan,” jelasnya.
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama, menyarankan revisi UU juga menyasar desain sistem pemilu juga menyasar keserentakan penyelenggaraan pemilu. Hal ini untuk menghindari kekacauan yang terjadi saat hari pemilihan seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
“Namun sayangnya hal ini tidak termasuk yang diagendakan dalam draf RUU Pemilu yang saat ini sudah beredar di publik. Drafnya tetap mengagendakan pemilu serentak sama seperti pemilu lalu,” ungkapnya.
Karena itu, tambah Heroik, ia menyarankan agar perbaikan kerangka regulasi pemilu perlu mengedepankan kemudahan pemilih dalam memberikan pilihannya dan kemudahan penyelenggaraan pemilu dalam melaksanakan fungsinya. “Dan terakhir bagaimana membuat kemudahan dan kesetaraan partai politik dalam berkompetisi dan membangun representasi politik,” pungkasnya. (P-2)