Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
ANCAMAN terorisme harus dihadapi dengan pendekatan soft power. Pendekatan menggunakan kekerasan kerap tidak efektif dan malah menimbulkan terorisme baru. Aktor-aktor keamanan yang bertugas menangani tindak pidana terorisme harus transparan dan berpegang kepada hukum positif.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Fisip Universitas Indonesia (UI) Burhan Magenda dalam seminar bertajuk 'Strategi Mengantisipasi Ancaman Terorisme Demi Wujudkan Stabilitas' di Hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta, Minggu (3/4). Turut hadir sebagai panelis seminar, pakar terorisme UI Sidratahta Mukhtar, Ketua BKD DPD RI AM Fatwa dan pengamat terorisme Umar Abduh.
"Menghadapi dunia yang makin kompleks ini, lembaga-lembaga yang menangani terorisme harus diperkuat. Tapi dengan catatan harus transparan. Tidak boleh terjadi lagi abuse of power," ujar Burhan.
Secara khusus, Burhan meminta DPR mengkaji aturan penahanan terduga teroris dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurut dia, asas praduga tak bersalah harus tetap menjadi pegangan dalam menangani kasus-kasus terorisme.
"Penahanan seseorang harus disertai bukti kuat bahwa ia terlibat dalam aksi terorisme. Mudahnya penahanan seseorang bisa saja disalahgunakan oleh penegak hukum. Ini juga perdebatan yang terjadi di parlemen. Pemerintah ingin ada preemtive, tapi DPR tidak setuju. Harus ada pelanggaran hukum dulu, kalau tidak ada pelanggaran, tidak bisa itu asal tangkap," kata dia.
Senada, AM Fatwa mengatakan, penanganan terorisme tidak bisa hanya mengandalkan kekerasan. Terorisme, kata dia, harus ditangani dengan pendekatan diplomatis.
"Aksi-aksi Densus ini mulai menimbulkan kebingungan di masyarakat. Kalau pemerintah tidak serius, cara-cara intelijen Orde baru terjadi lagi. Banyak kasus yang cuma salah paham, tapi langsung dihantam oleh aparat. Tidak bisa kekerasan, harus diplomatis juga," ujar dia.
Pengamat terorisme Umar Abduh, mengatakan, negara kerap memelihara potensi ancaman terorisme dengan melakukan kekerasan terhadap kelompok-kelompok garis keras. Aparat bahkan kerap menyusun proyeksi ancaman terorisme demi memelihara kelancaran pendanaan terhadap lembaganya.
Skema yang lazim dilakukan, lanjut Umar, aparat melakukan pembibitan terhadap kelompok teroris, membiarkannya berkembang, dan mengeksekusinya setelah terjadi aksi.
"Kalau sudah matang sebagian diledakkan, sebagian lagi disiapkan. Hampir semua gerakan atau kelompok yang melakukan tindak kekerasan itu sejatinya dibuat oleh aparat sendiri. Makanya tidak salah jika terorisme itu justru diciptakan dan disponsori negara. Ini semua demi kelancaran anggaran," kata dia.
Hal ini, jelas Umar, diperkuat dengan keengganan DPR untuk mengaudit pendanaan bagi Densus.
"Teror itu settingan pemerintah. Bayangkan anggarannya US$5 miliar untuk anggaran Densus, kok enggak berani diaudit DPR? Bisa jadi karena itu berarti operasi negara," ujar dia.
Di sisi lain, Sidratahta mengatakan, penguatan lembaga-lembaga yang menangani terorisme tidak sejalan dengan rencana negara mendorong peran serta masyarakat dalam memberantas akar radikal.
"Kalau agendanya deradikalisasi dan pelibatan masyarakat seperti di revisi UU Anti Teror, seharusnya lembaga-lembaga seperti Densus dan BNPT diciutkan," kata dia. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved