Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Raperpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Kacaukan Sistem Hukum

Cahya Mulyana
17/11/2020 14:17
Raperpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Kacaukan Sistem Hukum
Terorisme(Ilustrasi)

RANCANGAN Peraturan Presiden (Raperpres) pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme mengacaukan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Merusak sistem hukum karena terorisme yang masuk dalam sistem hukum pidana, akan melibatkan unsur TNI secara formal yang tidak terikat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

Kabid Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, amanat reformasi sudah tegas meletakkan TNI sebagai alat pertahanan negara. Tugasnya adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan republik. Mereka juga dilatih dan dipersenjatai untuk tugas itu. Sementara tugas menjaga keamanan dan penegakan hukum, diserahkan pada Polri.

Menurut Isnur, pemisahan tugas TNI dan Polri itu penting dan sudah dipayungi oleh sistem hukum yang terpisah. Polri tunduk pada hukum pidana atau hukum sipil sementara TNI pada hukum militer.

"Raperpres itu perlu dikritisi. Ini mengancam kehidupan HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI • Apalagi tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Jadi cek kosong. Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas," katanya dalam webinar nasional Institut Demokrasi Republikan dengan tema Menimbang Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme: Perspektif Hukum dan HAM, Selasa (17/11).

Hadir pula sebagai narasumber pada webinar tersebut, Amiruddin Al Rahab selaku Komisioner Komnas HAM, Peneliti Milter Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin, dan Pengamat Politik Arta Wisnuardi.

Isnur tidak membantah bahwa TNI bisa dilibatkan. Namun sifatnya hanya perbantuan. Misalnya masalah teror terhadap aset Indonesia di luar negeri. "Kalau di dalam negeri kapasitas TNI itu hanya perbantuan. Dalam operasi yang tak berdiri sendiri. Penangkalan dan pemulihan fungsi TNI diserahkan kepada lembaga lain, jangan TNI yang masuk kesitu. Kita tentu harus mengacu ke UUD sebagai payung tertinggi dalam bernegara sekarang. TNI banyak terjatuh UU yang ada," kata Isnur.

Selain itu, lanjutnya, pelibatan TNI kontra terorisme memungkinkan terjadinya tumpang tindih aturan dan kewenangan dengan penegak hukum. Menurutnya, sudah ada 10 aturan terkait terorisme yang berlaku di Indonesia.

"Banyak sekali ratifikasi konvensi internasional tentang tindak pidana terorisme, Indonesia harus menyeimbangkan semua aturan ini yang ada di Indonesia. Pertanyaannya apakah ketika membahas Perpres atau PP, Indonesia memperhitungkan itu semua," tuturnya.

Isnur juga menyoroti pasal 14 dalam Perpres tersebut yang menyebutkan bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya tersebut dapat menggunakan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN. Hal itu dinilai Isnur berpotensi terjadinya penyimpangan anggaran dan menjadi beban keuangan pemerintah daerah.

"Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI," tuturnya.

Amir Al Rahab sebagai Komisioner Komnas HAM mengatakan sampai hari ini tak banyak orang yang mengikuti pembahasan Raperpres pelibatan TNI itu. Karena cenderung tidak transparan dan tidak melibatkan publik dalam pembahasannya. Ini disayangkan karena ini masalah penting yang menyangkut masa depan demokrasi dan HAM. Seharusnya pemerintah dan DPR mengundang partisipasi publik.

"Semestinya baik pemerintah dan DPR mengundang banyak pihak untuk pembahasan soal ini. Kita ini butuh informasi yang Utuh tentang dinamika dari aksi teror di Indonesia," jelas Amir Al Rahab.

Baca juga : Polri Tegaskan akan Tindak Siapapun yang Melanggar Prokes

Sementara Muhamad Haripin mengemukakan kalau Payung Perpres ini banyak problemnya dan potensi tumpang tindih sangat besar. Karena itu, ia pun berpesan kepada Pemerintah agar mau menerima masukan masyarakat.

Sebab, kata dia, yang kena imbas dari Perpres ini bukan saja masyarakat tapi juga bahkan para prajurit di lapangan.

"Memastikan prajurit dilindungi posisi hukumnya. Dan pesan untuk DPR yang setuju dengan draf Perpres, alangkah baiknya DPR membuka ruang untuk membahas kembali draf ini," katanya.

Arya Wisnuardi menutup rangkaian pendapat nara sumber dengan menegaskan kalau proses ini harus dikawal yang artinya keterlibatan masyarakat sipil jangan sampai diabaikan. "Posisi TNI adalah perbantuan, jangan sampai diberi ruang dalam penangangan khusus," kata Arya Wisnuardi.

Sementara itu, Direktur Institut Demokrasi Republikan, Subairi Muzzaki mengatakan, pelibatan TNI terkesan dipaksakan. Secara substansi ia bermasalah dan secara urgensi juga tidak memenuhi syarat. Karena itu, publik berhak untuk menolak Raperpres tersebut.

"Dulu ide pelibatan TNI muncul karena Polri dianggap tidak mampu. Tapi sekarang anggapan itu sudah terbantahkan. Dan yang penting batas pemisah antara TNI dan Polri yang seharusnya tak diatak-atik. Karena itu amanat reformasi yang sudah terbukti menjadi penyangga demokrasi. Maka kalau itu diotak-atik artinya mencederai amanat reformasi. Karena itulah, Perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini perlu dikritisi," pungkasnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya