Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
REVISI Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) didorong untuk lebih komprehensif dan bisa menghadirkan sistem pemilu yang berkeadilan mulai dari prosesnya hingga sengketa hasil pemilu baik bagi penyelenggara pemilu dan masyarakat sebagai pemilih.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi menyampaikan masih perlu adanya revisi UU Pemilu sebagai aturan main dalam setiap tahapan kepemiluan. Ia mengakui penyelesaian sengketa pemilu misalnya, belum banyak dibahas dalam revisi UU Pemilu.
"Isu keadilan pemilu belum banyak disinggung teman-teman di DPR. Mereka lebih tertarik pada isu bagaimana bisa diuntungkan dari revisi UU seperti penetapan batas ambang minimal pemilu, sistem pemilu terbuka atau tertutup, dan lain-lain," ujarnya dalam diskusi yang digelar secara virtual bertema "Penataan Sengketa Proses dalam UU Pemilu" oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Jakarta, Minggu (26/7).
Arwani menyampaikan revisi UU Pemilu didorong untuk dibahas di Badan Legislatif DPR sehingga poin-poin krusial bisa dibahas bersama pemerintah nantinya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Perludem Titi Anggraini menyampaikan keadilan pemilu hanya bisa terwujud apabila regulasi kepemiluannya sudah dapat mengatur hal itu. Sementara, dalam UU Pemilu yang ada saat ini, menurutnya, masih problematis terutama terkait kewenangan antarlembaga penyelenggara pemilu.
"Kita harus membedah lagi kewenangan di antara institusi yang menangani masalah hukum pemilu,"ujar Titi.
Kompleksitas itu, imbuhnya, terlihat dari banyaknya lembaga yang menangani sengketa kepemiluan baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pemgawas Pemilu (Bawaslu), Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Mahkamah Agung.
"Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih putusan, ambiguitas, dan kebingungan masing-masing lembaga," tutur Titi.
Titi mencontoh kasus putusan DKPP yang memberhentikan Komisioner KPU Evi Novida Ginting. Putusan itu digugat ke PTUN oleh Evi yang mana menyatakan putusan DKPP cacat hukum. Dari hasil putusan PTUN, menurut Titi, terlihat permasahan penyelesaian sengketa bukan sekadar pemberhentian jabatan Evi sebagai Komisioner KPU, namun sebagian isunya menyangkut relasi wewenang antarpenyelenggara pemilu.
"PTUN melihat terkait gugatan ibu Evi yang bermuara pada putusan DKPP, menyangkut otoritas publik dan kewenangan lembaga pemilu lain. Ini pekerjaan rumah besar pembuat UU menyelesaikannya," tutur Titi.
Baca juga :
Seperti diberitakan, Evi diberhentikan karena dianggap melanggar kode etik terkait aduan perubahan Perolehan suara di daerah pemilihan Kalimantan Barat 6 untuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) atas nama Hendri Makaluasc yang merupakan anggota DPRD Kalimantan Barat. DKPP menilai KPU RI, keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tambah-kurang suara calon legislatif.
Berkaitan hal itu, dalam UU Pemilu nantinya, Titi mengatakan harus tegas disebutkan gugatan yang berkaitan dengan hasil kepemiluan yang sudah ditangani Mahkamah Konstitusi, tidak boleh diproses lembaga lain (Bawaslu) sebab hal itu dapat menimbulkan ketegangan, antarapenyelenggara pemilu. (P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved