Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Eddy OS Hiariej, dalam sidang lanjut-an uji materi UU OJK yang digelar Mahkamah Konstitusi, kemarin.
Hiariej memaparkan ketentuan pidana dalam UU OJK menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak menyebut langsung PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana keuangan.
"Misalnya jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berhak melakukan penyelidikan PPNS OJK atau Polri? Dalam hal ini, UU OJK bertentangan dengan prinsip lex certa dalam hukum pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum," sebutnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Permohonan Uji Materi UU OJK
Pasal 1 ayat 4 UU OJK menyebutkan lembaga jasa keuangan ialah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Ketentuan itu mengindikasikan bahwa UU OJK bersifat umum. "Sedangkan UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Asuransi bersifat lex specialis dan jelas core crime-nya. Maka seyogianya, kewenangan penyidik PNS tercantum dalam undang-undang yang bersifat lex specialis, seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Asuransi," terangnya.
"Ketentuan yang diuji semata-mata berkaitan dengan kelembagaan OJK dan bersifat rahasia. Hal ini berarti tindak pidana dalam UU OJK tidak spesifik dan memiliki tindak pidana pokok (core crime)," ujarnya saat menanggapi permohonan Nomor 102/PUU-XVI/2018.(Ths/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved