Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan mengatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) perlu direvisi demi menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemanggilan anggota DPR yang tidak lagi perlu izin tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan, tapi harus seizin presiden.
"Memang dengan adanya putusan MK harus seperti itu (revisi UU MD3). Karena putusan MK itu kan final and binding," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (26/9).
Menurutnya, DPR harus segera menyesuaikan putusan MK dengan UU MD3. Revisi tersebut pun dilakukan demi adanya kepastian hukum.
Untuk diketahui, MK memutuskan pemanggilan dan pemeriksaan anggota dewan tidak lagi harus meminta izin dari MKD sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 245 dalam UU MD3. Kini, MK memutuskan izin tersebut harus melalui presiden.
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Asep Warlan Yusuf pun mengatakan hal yang sama. Ia menekankan idealnya putusan MK tersebut ditindaklanjuti DPR dengan merevisi UU MD3.
"Idealnya kalau ada putusan MK, diubah undang-undangnya, itu konsekuensi. Kalaupun (UU MD3) belum diubah, rujukannya tetap pada putusan MK," jelasnya.
Revisi UU MD3 tersebut diakui agar ada kepastian hukum. Pasalnya, dalam UU MD3 masih tercantum Pasal yang telah dibatalkan oleh MK dan kini tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Meskipun demikian, ia mengatakan putusan MK sudah berlaku sejak diputuskan.
"Putusan MK berlaku otomatis sebagai norma baru," tambahnya.
Ia pun mengutarakan memang agak sulit DPR melakukan revisi UU MD3 dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut. Pasalnya, itu tergantung bagaimana kesepakatan di dalam internal DPR apakah akan memasukan revisi UU MD3 dalam program legislasi nasional (prolegnas) atau tidak.
"Memang agak susah. Mengubah UU MD3 harus ada kesepakatan," tandasnya.(Q-1)