Direktur Advokasi PSHK Ronald Rofiandri mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat harus menjawab putusan Mahkamah Konstitusi terkait izin pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR melalui presiden. Jawaban putusan MK tersebut harus ditindaklanjuti melalui revisi UU MD3.
Sebelum putusan MK tersebut keluar, pemanggilan anggota DPR harus melalui izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Kini, MK membatalkan ketentuan tersebut karena dianggap akan terjadi konflik kepentingan.
Namun, kata Ronald, putusan MK tersebut ternyata menghidupkan kembali esensi pengaturan Pasal 220 UU No 27 Tahun 2009 atau UU MD3 yang lama. \"Saat itu, sempat ada kekhawatiran adanya proses yang lama karena butuh izin Presiden. Lantas, UU No 27 Tahun 2009 diganti dengan UU 17 Tahun 2014, termasuk ketentuan Pasal 220, mengganti posisi (syarat persetujuan tertulis dari Presiden) ke MKD,\" tuturnya, Sabtu (26/9).
Jika MK berpatokan atau mengkhawatirkan posisi MKD yang rentan konflik kepentingan, kata dia, seharusnya bukan memaknai dan menghadirkan posisi Presiden (menggantikan MKD) sebagai pihak yang memberikan persetujuan tertulis untuk memanggil dan memeriksa anggota dewan. Namun, cukup membatalkan ketentuan Pasal 245.
\"Dengan demikian, MKD tidak punya kewenangan memberikan persetujuan tertulis. PR berikutnya bagi DPR adalah terkait pendapat atau pertimbangan hakim MK tentang konflik kepentingan yang seharusnya dijawab melalui revisi UU MD3,\" tegasnya.
Ia menuturkan revisi tersebut untuk merumuskan bagaimana kewenangan, kriteria dan prosedur hingga keterlibatan para pihak yang dianggap tidak menimbulkan konflik kepentingan ketika melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.
\"Sebenarnya UU MD3 17 Tahun 2014 sudah menempatkan keberadaan pihak eksternal untuk terlibat dalam pemeriksaan hingga pengambilan keputusan di internal MKD,\" terangnya. Ia menjelaskan keberadaan pihak eksternal ini berperan dua hal, yakni menetralisir potensi konflik kepentingan dan penyeimbang obyektifitas penilaian.?
\"?Hanya, keberadaan pihak eksternal ini berlaku ketika seorang anggota DPR diduga melakukan pelanggaran kode etik kriteria berat dan berpotensi PAW. Jadi PR-nya cukup memperluas skala keberadaan dan kewenangan pihak eksternal dan ini bisa dilakukan melalui revisi UU MD3,\" tandasnya. (Q-1)