Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

MK Minta Gugatan UU Nasionalisasi Harus Diperbaiki

M Taufan SP Bustan
09/4/2018 19:55
MK Minta Gugatan UU Nasionalisasi Harus Diperbaiki
(MI/ADAM DWI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) meminta agar pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil pasal 1 UU Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (UU Nasionalisasi), untuk memperbaiki permohonan.

Dalam sidang perdana yang teregistrasi dengan nomor perkara 27/PUU-XVI/2018 itu, permohonan diajukan oleh Yayasan Badan Perguruan Sekolah Menengah Kristen Jawa Barat (Yayasan BPSMK-JB) diwakili Ketua Yayasan Soekendra Mulyadi dan Sekretaris Yayasan Toto Lukito Sairoen. Mereka merasa dirugikan oleh pasal 1 UU Nasionalisasi.

Sesuai yang disampaikan oleh Kuasa Hukum Pemohon Refly Harun di hadapan majelis hakim, perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.

Menurut Refly, pasal 1 UU Nasionalisasi yang memuat frasa ‘bebas’ terbatas soal kepemilikan dan penguasaan negara, telah menciptakan ketidakpastian hukum. Selain itu terhambatnya upaya Pemohon dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai akibat adanya tuntutan atau gugatan hukum secara terus menerus yang diajukan oleh Perkumpulan Lyceum Kristen yang mengklaim sebagai penerus Het Christelijk Lyceum (HCL).

"Selain itu ketentuan tersebut juga menghambat tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dan berpotensi menghilangkan penguasaan negara atas aset asing yang telah dinasionalisasi," terangnya saat menghadiri sidang perdana di MK, Senin (9/4).

Pihak penggugat, lanjut Refly, tidak mengakui keabsahan nasionalisasi dengan alasan nasionalisasi tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum internasional, dan melanggar ketertiban umum (publik order) dalam hukum perdata internasional.

"Nah, nasionalisasi yang dilakukan negara untuk kepentingan publik adalah sah dan tidak seharusnya menjadi objek yang disengketakan di pengadilan," tambah Refly lagi.

Olehnya, tambah Refly, dengan alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘bebas’ sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU Nasionalisasi seharusnya diperluas tafsirnya, tidak hanya bersoal kepemilikan dan penguasaaan negara. 

"Melainkan juga ‘bebas’ dari segala tuntutan atau gugatan hukum," imbuhnya.

Menanggapi hal itu, Hakim Anggota MK Aswanto mengatakan, apa yang diminta pemohon secara umum sudah dipahami. Namun ada berapa hal yang perlu dilakukan elaborasi.

Menurutnya, kalau dibaca permohonan tersebut, dari sisi kasus konkrit yang dialami pemohon, MK bisa paham. Tetapi yang perlu dielaborasi adalah bahwa memang dengan kata ‘bebas’ itu menimbulkan kerugian konstitusional atau kerugian potensial.

"Olehnya memang perlu adanya elaborasi lebih konkrit lagi, sehingga MK bisa memutuskan. Permohonan sudah sesuai hukum acara, namun menimbulkan kerugian itu yang perlu dielaborasi," tegas Aswanto.

Dengan kata ‘bebas’ yang tidak berkepastian hukum itu perlu dipastikan lagi. MK menilai ketidakpastian hukum yang dimaksud pemohon itu seperti apa. 

Termasuk soal kerugian materiil harus lebih konkrit. Misalnya, lanjut Aswanto, yayasan mengalami kerugian dari sisi bisnis karena peserta didik di yayasan berkurang dan lain sebagainya. 

"Itu juga perlu diperbaiki lagi karena belum tergambar dengan komprehensif," ujarnya.

Majelis hakim anggota lainnya menambahkan, soal permohonan tafsir pemohon juga perlu melakukan elaborasi lagi. Pasalnya, makna ‘bebas’ tersebut berarti luas.

"Jadi argumen teoritiknya perlu dielaborasi lebih lagi. Yang lain sudah sesuai dengan hukum acara," imbuh Suhartoyo.

Refly menerima masukan MK dan akan mempertimbangkan untuk memperbaiki permohonan yang mereka ajukan ke MK.

Sidang pemeriksaan pendahuluan ini selesai dan akan dilanjutkan pada sidang perbaikan pada 23 April mendatang selambat-lambatnya pukul 10.00 WIB. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya