JUDUL di atas saya ambil dari yel-yel yang diteriakkan di satu kegiatan kepramukaan. Disclaimer ini perlu karena saya tidak sedang mengglorifikasi atau menggaungkan yel-yel bernada rasialis itu, tetapi justru hendak 'meramaikannya', mempersoalkannya.
Setahu saya, yang pertama kali mengungkap jargon 'ngono yes, nganu no' Nurcholish Madjid. Cak Nur pada 1970 memperkenalkan slogan 'Islam yes, partai Islam no'.
Orang kemudian latah menggunakan slogan itu dengan berbagai modifikasinya. Ini beberapa slogan yang saya temukan melalui mesin pencari: 'Islam yes, FPI no', 'rohis yes, Islam radikal no', 'prestasi yes, narkoba no', 'nikah yes, zina no', 'kebebasan pers yes, hoaks no'. Akan tetapi, saya juga menemukan slogan 'Islam yes, partai Islam yes'. Ada juga slogan 'no woman no cry' yang dinyanyikan Bob Marley.
Baru-baru ini kita dihebohkan slogan serupa yang diteriakkan dalam kegiatan kepramukaan di satu sekolah dasar negeri di Yogyakarta. Seorang kakak pembina mengomandokan yel-yel 'Islam yes, kafir no' itu.
Kita gusar karena yel-yel tersebut intoleran. Kata kafir dikontraskan dengan Islam. Kata kafir bermakna bukan Islam, bukan muslim, bukan pemeluk Islam. Itu artinya pemeluk agama selain Islam ialah kafir dan katakan 'no' kepada mereka.
Kita tahu intoleransi cikal bakal radikalisme dan radikalisme pangkal terorisme. Kita gusar karena bibit-bibit intoleransi disemai sejak kanak-kanak di institusi pendidikan. Institusi pendidikan menjadi arena pengaderan. Boleh jadi, bila di masa kanak-kanak intoleran, ketika remaja jadi radikal, dan kelak dewasa jadi teroris.
Kita gusar karena yel 'Islam yes, kafir no' bertentangan dengan semangat ketakwaan dalam keberagaman seperti tercantum dalam Dasadarma Pramuka. Dasadarma pertama, Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan Dasadarma kedua, Cinta Alam dan Kasih Sayang sesama Manusia. Setiap anggota pramuka, kalau tidak bisa menerapkannya, pasti menghafal Dasadarma Pramuka tersebut.
Kakak pembina pasti tahu bahwa pendiri gerakan kepramukaan ialah Lord Baden Powel, seorang kafir dalam pengertian si kakak pembina. Kok kakak pembina bergabung dengan gerakan yang didirikan orang kafir?
Kaum intoleran rupanya sudah mengubah strategi gerakan mereka. Sebelumnya mereka mengharamkan 'institusi formal dan kafir'. Dulu, misalnya, mereka golput pada pemilu karena menganggap institusi demokrasi haram. Belakangan mereka ikut mencoblos di pemilu meski yang dipilih yang 'seiman' dengan mereka. Bahkan, mereka membentuk atau bergabung ke partai politik. Dulu mereka mengharamkan parpol karena berparpol sama saja berfirkah atau berkelompok yang membuat umat terkotak-kotak dan terpecah.
Strategi mereka serupa ungkapan the end justifies the means, tujuan menghalalkan segala cara. Tujuan menghalalkan cara-cara haram sekalipun. Untuk mencapai tujuan, yang haram bisa disulap menjadi halal. Bila tujuan tercapai, yang tadi disulap dari haram menjadi halal, disulap kembali menjadi haram.
'Institusi kafir' yang paling efektif digunakan untuk mencapai tujuan mereka ialah pendidikan formal. Mereka menyusup ke sekolah-sekolah formal untuk menyemai bibit intoleransi. Mereka bahkan membangun sekolah-sekolah sendiri supaya lebih leluasa menanamkan bibit intoleransi tersebut.
Mereka menancapkan bibit intoleransi bahkan kepada anak-anak usia dini di pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Kanak-kanak serupa kertas putih yang bisa dituliskan apa saja di atasnya, termasuk tulisan 'intoleransi'. Di satu TK di Banyumas, Jawa Tengah, misalnya, syair 'tepuk anak saleh' pernah ditambah dengan kalimat akhir 'Islam yes, kafir no'.
Kita tidak boleh menganggap enteng perkara slogan 'Islam yes, kafir no' ini. Guru, penyelenggara pendidikan, hingga pemerintah mesti mengambil langkah mengerem dan menghentikannya. Rebut kembali institusi pendidikan yang dikuasai kaum intoleran.
Pun, orangtua harus peduli. Jangan masukkan anak-anak ke sekolah yang terindikasi mengajarkan intoleransi. Bila menemukan bibit intoleransi, segera 'ramaikan' saja. Perkara slogan 'Islam yes, kafir no' di sekolah dasar negeri di Yogyakarta itu menjadi perhatian karena orangtua murid 'meramaikannya' di media sosial.