Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Pentingnya Prinsip Konservasi dalam Hilirisasi Pertambangan

Dr Eng Stephanie Saing, ST, MT Peneliti di Indonesian Mining Center of Excellence (IMCE)
01/12/2016 00:30
Pentingnya Prinsip Konservasi dalam Hilirisasi Pertambangan
(FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf)

KEBIJAKAN hilirisasi pertambangan kini tengah berada di persimpangan antara perlu atau tidaknya ekspor bagi sebagian komoditas tambang dilanjutkan. Peralihan regulasi pada awal 2017 yang mengatur batas izin penjualan ke luar negeri dalam jumlah batas dan kadar tertentu yang semakin dekat ini mendorong banyak kepentingan untuk dipertimbangkan semua pihak, terutama pemerintah, agar memberikan dampak yang semakin positif bagi industri pertambangan Indonesia. Kepastian pasokan bahan baku merupakan salah satu isu penting dalam mewujudkan hilirisasi. Dalam konteks pasokan bahan baku dalam kegiatan hilirisasi, konservasi bahan galian tambang yang jumlahnya terbatas sangat penting untuk diperhatikan.

Kaidah konservasi dalam pertambangan seharusnya telah ditemukan dalam penentuan batas area untuk eksplorasi detail, perencanaan tambang optimal sesuai dengan umur tambang yang diperkirakan melalui optimasi, pemanfaatan bahan galian maksimal termasuk peningkatan perolehan dan jumlah logam yang dapat diekstraksi dengan teknologi pengolahan paling optimum, serta transformasi lahan bekas tambang menjadi tata guna lahan lain yang produktif. Kewajiban konservasi telah diamanatkan Pasal 96 dan 141 UU No 4 Tahun 2009 yang mengarahkan kepada pendekatan jangka panjang dan bijaksana untuk mengembangkan dan memanfaatkan bahan galian tambang.

Pro-kontra saat ini mengenai kebijakan ekspor dan smelter komoditas tambang juga dapat ditelaah melalui kacamata konservasi terutama implementasinya selama ini di Indonesia. Kendala teknologi pengolahan imbas dari rendahnya investasi di bidang RnD selama ini dan keterbatasan investasi akibat harga komoditas global yang turun di dalam negeri menjadi salah satu alasan terkuat terutama untuk bijih nikel kadar rendah yang akhirnya menjadi menumpuk sebagai waste di banyak pertambangan Indonesia sejak larangan ekspor berlaku pada 2014.
'
Hampir 80% bijih nikel kadar rendah Indonesia diekspor ke Tiongkok untuk kegiatan pengolahan industri stainless steel melalui produksi nickel pig iron (NPI). Nikel kadar rendah baru mulai dikembangkan untuk NPI di dalam negeri pada 2014. Akan tetapi, kapasitas pabrik pengolahan (NPI) dalam negeri saat ini belum memadai untuk total bijih kadar rendah yang harus dihasilkan di setiap produksi bijih nikel kadar tinggi karena karakter geologis dari nikel laterit itu sendiri.

Pada akhirnya, selama ini bijih nikel berkadar rendah di banyak usaha pertambangan nikel di Indonesia berdampak langsung sebagai beban tambahan biaya penambangan bijih berkadar tinggi yang menjadi target utama. Harga jual nikel yang rendah di pasar global akan menyebabkan banyak pelaku industri pun hanya memperoleh margin yang rendah. Pemanfaatan bijih kadar rendah untuk NPI yang meningkat secara signifikan itu menunjukkan upaya hilirisasi berusaha untuk sejalan dengan kaidah konservasi di komoditas nikel, termasuk memberikan manfaat bagi pelaku industri dengan menurunkan biaya p­roduksi secara keseluruhan. Meskipun demikian, pengolahan bijih nikel kadar rendah itu masih tidak mudah di dalam negeri dengan kondisi teknologi, investasi, serta penurunan produksi stainless steel di Tiongkok.

Belasan smelter lain yang tengah dalam proses pembangunan menyebabkan banyaknya sumber daya nikel kadar rendah yang masih belum terserap oleh industri dalam negeri. Pada umumnya, rasio jumlah sumber daya nikel kadar rendah dapat mencapai 10 kali lipat bila dibandingkan dengan total sumber daya nikel kadar tinggi. Artinya, kapasitas pengolahan nikel kadar rendah yang harus disiapkan setidaknya harus mampu menyediakan minimal nilai rasio dari jumlah nikel kadar tinggi yang akan ditambang untuk mengoptimalkan seluruh bijih kadar rendah yang harus ditambang pelaku industri nikel.

PT Aneka Tambang, misalnya, harus mengoptimalkan 890 juta WMT sumber daya nikel kadar rendah (1,3% < Ni < 1,8%) untuk memperoleh sekitar 94 juta WMT sumber daya bijih nikel kadar tinggi (Ni > 1,8%). Sulitnya memperoleh investasi dan tantangan lainnya saat ini tidak memungkinkan kebanyakan pelaku industri tambang nikel, termasuk perusahaan pelat merah tersebut, untuk terus menambang bijih kadar rendah tanpa pengolahan. Itu disebabkan komoditas ini yang akhirnya menjadi beban operasional tambang serta tidak sejalan dengan prinsip konservasi.

Selama tenggat tersebut, pelaku industri nikel pun berharap mendapatkan kesempatan pengusahaan bijih nikel kadar rendah melalui upaya lain. Pengusahaan itu diharapkan menjadi solusi sementara bagi pemanfaatan bijih nikel kadar rendah yang masih sejalan dengan kaidah konservasi, terlebih didukung dengan jumlah sumber dayanya yang cukup melimpah di negeri ini. Negara dapat memberdayakan kelimpahan sumber daya nikel ­berkadar rendah yang selama ini ­hanya sebagai waste atau bahan yang tidak menghasilkan menjadi suatu komoditas ekspor untuk sementara waktu yang memberikan manfaat penerimaan negara, termasuk untuk mendorong pemasukan yang dapat dan harus dikembangkan untuk program pengembangan pengolahan bijih kadar rendah itu sendiri bagi pelaku industri yang bijih kadar rendahnya belum terserap di pasar dalam negeri saat ini.

Tentunya, asas keadilan dalam hal ini pun perlu diperhatikan pemerintah kepada mereka yang telah berkomitmen dan sedang membangun pabrik smelter. Mekanisme komitmen demikian harus melalui suatu evaluasi terhadap pelaku industri yang sudah memiliki dan menjalankan roadmap pengolahan bijih kadar tinggi dan kadar rendahnya. Komitmen investasi atas pendapatan ekspor sementara yang dialokasikan untuk RnD juga harus ditetapkan. Kedua hal tersebut tetap diawasi selama kegiatan ekspor sementara berjalan. Skenario ini dapat dipertimbangkan menjadi jalan keluar terhadap implementasi nilai tambah pertambangan, dengan tetap mempertahankan kaidah konservasi yang juga menjadi perhatian pemerintah. Dengan demikian, sumber daya yang diekstraksi dapat termanfaatkan seoptimal mungkin untuk kemakmuran rakyat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya