Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Mencegah Bom Waktu HIV/AIDS

Dian Kristiani Irawaty PNS di BKKBN, Kandidat Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
30/11/2016 00:30
Mencegah Bom Waktu HIV/AIDS
(ANTARA FOTO/OJT/Darwin Fatir)

ANCAMAN HIV/AIDS di Indonesia tidak bisa diabaikan. Setiap menit terdapat lima orang yang terinfeksi HIV di Indonesia (Hawari, 2014). Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS seperti kemiskinan, tingginya akses terhadap konten pornografi , rendahnya akses terhadap informasi penyakit, tingginya penyakit seksual menular, serta biaya program penanggulangan yang kurang, ada di Indonesia. Migrasi penduduk dari satu tempat ke tempat lain yang semakin mudah dan cepat juga turut berkontribusi pada kecepatan penularan HIV. Oleh karena itu, setiap 1 Desember dunia memperingati Hari AIDS sebagai alarm bagi semua orang tentang bahaya penyakit HIV/AIDS ini.

Pola penyebaran HIV/AIDS
HIV/AIDS merupakan penyakit yang bisa menular pada siapa saja melalui berbagai saluran. Stigma bahwa HIV/AIDS hanya akan menimpa individu yang memiliki perilaku seks menyimpang mulai terbantahkan. Banyak bayi, ibu rumah tangga, maupun lansia turut menjadi korbannya. Sebagian besar penderita HIV/AIDS tidak pernah menduga bahwa dirinya akan terkena penyakit itu. Di dunia kedokteran belum ditemukan jawaban yang pasti mengenai penanganan penyakit ini. AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena terinfeksi human immunodefi ciency virus (HIV).

HIV/AIDS dapat menular melalui kontak cairan tubuh orang sehat dengan virus HIV. Baik melalui luka tubuh yang terpapar virus ini, hubungan seksual, transfusi darah, pemakaian jarum suntik yang tidak steril maupun tali pusat bayi oleh ibunya. Penyakit AIDS baru dapat terdeteksi secara klinis setelah lima sampai 10 tahun sejak seseorang terinfeksi HIV. AIDS juga dapat bermetamorfosis menjadi berbagai bentuk penyakit. Hal ini membuat HIV/AIDS sulit terdeteksi seketika, kecuali melalui uji laboratorium dengan bantuan mikroskop elektron.

Kondisi Indonesia
Angka kesakitan akibat HIV/AIDS di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara (UNAIDS, 2015). Jumlah kasus kumulatif HIV yang terlapor sejak 1987 sampai Maret 2016 sebesar 198 ribu kasus (Kemenkes, 2016). Pada periode yang sama, jumlah kumulatif AIDS tercatat sebesar 78 ribu kasus (Kemenkes, 2016). Jumlah ini masih dapat bertambah akibat sistim surveillance HIV/AIDS yang belum baik. Repotnya, sebagian masyarakat Indonesia takut melakukan tes HIV/ AIDS terhadap dirinya. Biaya tes HIV/AIDS yang cukup mahal membuat tidak semua orang mampu melakukan tes terhadap penyakit ini. Selain itu, ancaman diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV (ODHA) ataupun orang yang
hidup dengan ODHA (OHiDHA) menimbulkan beban ganda pada penderitanya.

Kesiapan pelayanan kesehatan terhadap penyakit HIV/AIDS pun masih perlu ditingkatkan. Belum seluruh pusat layanan primer baik puskesmas maupun klinik kesehatan di Indonesia memiliki fasilitas khusus untuk penanganan HIV/AIDS. Tenaga medis maupun konselor yang mampu menangani HIV/ AIDS pun terbatas. Selain itu, penyediaan obat antiretroviral
(ARV) bersubsidi bagi penderita HIV/AIDS tidak merata, terutama di wilayah kepulauan sehingga sering terjadi kekosongan obat. Jika ODHA harus membeli obat ARV secara mandiri, harganya cukup mahal sekitar Rp800 ribu hingga Rp3,8 juta per botol. Pemakaian obat ARV per hari berkisar antara 2-9 kapsul per hari tergantung jenis dan merek obatnya. ODHA disarankan tidak putus mengonsumsi obat ARH guna menghindari peningkatan resistensi virus HIV.

Perkembangan kasus HIVAIDS yang tidak terkendali juga dapat memengaruhi perekonomian Indonesia. Rata-rata angka harapan hidup penduduk Indonesia pada saat lahir sekitar 70 tahun. Namun, banyak ODHA yang meninggal dunia pada umur 20-30 tahun. Indonesia kehilangan 40 tahun waktu produktif sehingga negara berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp37 triliun per tahun. Selain itu, biaya tes untuk mengidentifi kasi kasus baru maupun pengobatan ARV bagi ODHA membutuhkan dana sekitar Rp300 triliun-Rp400 triliun. Apabila laju penularan HIV/AIDS tidak dikendalikan, efeknya akan merugikan bagi Indonesia. Tidak hanya dari sisi medis, ekonomi, dan produktivitas SDM, tapi juga perdagangan internasional. Apabila suatu negara sudah dikenai status terkena wabah HIV/AIDS, negara lain akan melarang warga negaranya datang ke Indonesia sehingga dapat kehilangan potensi penanaman modal asing maupun pariwisata.

Selain itu, barang-barang ekspor buatan Indonesia juga dapat terancam diblokade perdagangan internasional. Perlu sistem terpadu bagi penanganan ODHA baik melalui terapi maupun pengobatan. Intervensi pertama ialah melalui terapi medis ARV untuk memperkuat daya tahan tubuh dan melemahkan virus HIV. Kedua, melalui terapi psikofarmaka yang digunakan untuk mencegah depresi. Ketiga, melalui terapi psikologis suportif untuk meningkatkan semangat hidup bagi ODHA. Keempat, melalui terapi psikoreligi yakni penanganan ODHA dari sisi keagamaan. Namun, menghindari risiko penularan HIV/AIDS merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah wabah penyakit ini di Indonesia. Promosi pola hidup sehat serta menghindari berbagai faktor risiko HIV/AIDS, misalnya penggunaan alat medis yang steril serta berhubungan hanya dengan satu pasangan yang sah, perlu ditingkatkan.

Promosi pencegahan HIV/AIDS harus dilakukan kepada semua kelompok umur masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS terutama pada kelompok remaja dan kelompok berisiko tinggi. Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap ancaman HIV/ AIDS. Cara pandang terhadap HIV/AIDS memengaruhi berbagai penanggulangan yang dibuat. Berbagai hasil penelitian yang canggih serta berbagai metode yang dianggap inovatif cepat sekali menjadi kuno. Padahal Indonesia berkejaran dengan waktu karena ODHA meninggal setelah kekebalan tubuhnya habis akibat virus ini. Penanganan HIV/ AIDS saat ini mutlak diperlukan agar masyarakat Indonesia selalu sehat dan produktif.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya