SATU kepingan pekerjaan rumah reformasi ketatanegaraan yang belum tuntas ialah ihwal lembaga kepresidenan (lempres).
Empat kali reformasi konstitusi selama kurun waktu 1999-2002, nyaris tidak ada perbaikan di sektor lempres.
Di level undang-undang, nasibnya setali tiga uang, Rancangan UU Lempres masih setia menjadi RUU abadi.
Padahal, dari seluruh lembaga negara yang diatur di konstitusi, seluruhnya telah memiliki UU tersendiri, menyisakan lempres yang dibiarkan menggantung.
Kondisi ini mengakibatkan pola kerja antara presiden dan wakil presiden (wapres) tidak jelas dan mengambang.
Jika wapres tidak mendapatkan perintah untuk mengerjakan sesuatu dari presiden, relatif tidak ada yang bisa dilakukannya alias pasif selain menunggu presiden 'berbagai pekerjaan' dan memberi penugasan.
Padahal, tugas seorang presiden luar biasa banyak.
Akibatnya, seorang presiden sampai membuat blunder dengan tidak punya waktu membaca draf peraturan presiden terkait dengan fasilitas uang muka pembelian mobil dinas bagi pejabat yang akan ditandatanganinya.
Akhirnya, perpres yang telah ditandatangani itu dicabut kembali karena dianggap tidak 'lolos sensor' dan menuai kecaman publik.
Sangat disayangkan, padahal di sampingnya berdiri seorang pembantunya bernama wapres yang sebenarnya bisa diberi tugas untuk melakukan 'last checking' atas setiap dokumen yang akan ditandatangani.
Lalu sampai kapankah kondisi ini akan berlanjut?
Wapres bukan ban serep Analogi yang sering muncul ialah wapres seolah ban serep.
Sepanjang hayatnya, ketika ban utama di setiap sisi berputar dan melaju, ban serep hanya boleh tertidur, tersembunyi, dan tak terlihat di bawah jok kendaraan.
Ban serep hanya akan digunakan jika salah satu ban meletus.
Terlalu mubazir jika seorang wapres hanya diberi tugas-tugas seremonial menggantikan presiden, menjadi pendengar di sidang kabinet, atau menjadi pelaksana tugas presiden ketika melakukan lawatan ke luar negeri, yang sampai saat ini hanya tercatat sebanyak empat kali.
Bagi saya, seorang wapres bukanlah ban serep, melainkan seorang navigator yang mendampingi sang pengemudi kendaraan setiap saat karena sifatnya melekat.
Ia duduk bersama di samping sang presiden, bukan di kolong kendaraan.
Presiden dan wapres merupakan satu kesatuan pasangan calon yang dipilih rakyat secara konstitusional.
Karenanya, membiarkan wapres dalam kondisi 'idle' tanpa tugas pokok dan fungsi serta pelimpahan tugas yang jelas dari sang presiden ialah sesuatu yang perlu dievaluasi.
Prinsip yang tidak bisa ditawar ialah wapres pembantu presiden dalam menjalankan roda pemerintahan.
Tidak ada tafsir lain atas norma Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu.
Namun, bukan berarti semuanya harus diambil alih seorang presiden tanpa memberdayakan wapresnya, padahal di satu sisi sang presiden kewalahan karena banyaknya tugas.
Secara ketatanegaraan, posisi wapres lebih tinggi daripada menteri, tetapi tidak melebihi presiden.
Sering kali, ketika persoalan koordinasi antarkementerian dan kementerian koordinator tak selesai karena masing-masing bertahan dengan ego sektoral dan merasa memiliki kedudukan yang sama, wapres bisa muncul sebagai solusi menjadi penengah jika presiden berhalangan dan bisa diselesaikan dengan cepat, tentu atas arahan presiden.
Transformasi wakil Mencari format kerja presiden dan wakil presiden memang tidak mudah, selalu ada kekhawatiran munculnya matahari kembar, dobel komando, atau yang mengerikan mengudeta presiden.
Sebenarnya itu ilusi dan ketakutan berlebihan karena secara hukum tidak memungkinkan.
Toh, konstitusi telah mengunci posisi wapres sebagai pembantu presiden dan presiden di era sistem presidensial tidak mudah dijatuhkan tanpa alasan konstitusional.
Seorang wapres tidak berwenang menandatangani produk hukum apa pun, baik peraturan wapres atau keputusan wapres, apalagi peraturan yang lebih tinggi seperti UU (bersama DPR), perppu, dan peraturan pemerintah.
Ia baru tampil sebagai 'presiden' tatkala Majelis Permusyawaratan Rakyat melantiknya sebagai pengganti jika presiden mangkat, berhenti, atau berhalangan tetap.
Meski berbeda level, sebenarnya kita bisa sedikit berkaca pada pola kerja menteri dan wakil menteri (wamen) dengan merujuk UU Kementerian Negara, atau Kepala Daerah dan Wakilnya mengacu ke UU Pemerintahan Daerah.
Di dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wamen, tugas pokok wamen ialah membantu menteri dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan kementerian dan membantu menteri dalam mengoordinasikan pencapaian kebijakan strategis lintas unit organisasi eselon I di lingkungan kementerian.
Tugas tersebut masih dirinci di pasal 2, misalnya melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian, membantu menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian jabatan di lingkungan kementerian, dan melaksanakan pengendalian reformasi birokrasi di lingkungan kementerian.
Selain itu, mewakili menteri pada acara tertentu dan/atau memimpin rapat sesuai dengan penugasan menteri dan melaksanakan tugas lain yang diberikan menteri.
Tak perlu khawatir overlapping karena tugas itu telah dikunci pasal 1 yang mengatakan bahwa wamen berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.
Pola serupa juga terlihat di dalam UU Pemda yang mengatur pola kerja kepala daerah dan wakilnya.
Sang wakil memiliki rincian tugas, tetapi sepenuhnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Di era HM Soeharto, meski tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, format serupa sebenarnya diterapkan.
Ketika mengumumkan pembentukan Kabinet Pembangunan II pada 27 Maret 1973, Wapres Sri Sultan Hamengku Buwono IX diberi dua tugas.
Pertama, tugas umum untuk membantu presiden dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, tugas khusus untuk menampung dan memecahkan masalah di bidang kesejahteraan rakyat, serta melakukan pengawasan operasional pembangunan.
Salah satu dokumen hukum resmi yang berhasil saya temukan dalam situs www.setkab.go.id ialah penunjukan wapres sebagai Ketua Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional 2015-2019.
Model tugas seperti itu sebenarnya bisa dijadikan solusi sementara sembari menunggu selesainya RUU Lempres.
Model itu baik karena sifatnya 'memberdayakan' wapres tanpa harus melanggar prinsip kesatuan pemerintahan.
Presiden juga bisa dan perlu lebih sering memberikan tugas-tugas khusus lainnya kepada wapres dengan menandatangani keppres tersendiri.
Di sisi lain, meski dari partai berbeda, loyalitas wapres juga harus tegak lurus kepada presiden dan negara seperti ungkapan Presiden Filipina Manuel L Quezon.
"My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begin."
Ini penting agar kita tak lagi melihat presiden sibuk berjibaku dan menjadi single fighter.
Padahal, di seberang sana, tak jauh dari pelupuk mata Istana Negara Jalan Merdeka Utara, Istana Wapres di Jalan Merdeka Selatan berubah menjadi jalan sunyi karena sang wapres menunggu ajakan dan panggilan untuk berperang.