Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BELAKANGAN ini tengah dilakukan uji publik mengenai Rancangan PKPU Tungsura (Pemungutan dan Penghitungan Suara) di TPS oleh KPPS untuk Pemilu 2024. Disadari setelah MK memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka bertumpu suara terbanyak, maka Tungsura merupakan tahapan penting perlu disempurnakan sistem dan metodenya sehingga memudahkan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang yang berakhir pada perolehan suara nasional.
Semula, ada harapan sistem proporsional tertutup diberlakukan. Namun, merujuk pemikiran Prof Jimly Asshiddiqie, “Bila kita menilai praktik pemilu dari jarak dekat, yang terlihat adalah masalah-masalah. Jika kita melihatnya dari langit (berjarak), demokrasi di Indonesia sudah on the track, sudah pada jalur yang benar.” Jadi, bangsa kita masih perlu exercise berdemokrasi menuju kematangannya. Oleh karena itu, uji publik perlu disambut dengan insight tentang penghitungan suara.
Belajar dari 2019
Dari Pileg 2019, setidaknya ditemukan tiga pola perilaku politik yang mencederai pemilu, bermuara pada kegiatan penghitungan suara. Pertama, gejala ‘kanibal’ suara, perebutan suara antarcalon legislatif di semua jenjang secara internal partai politik dalam satu daerah pemilihan (Surbakti, Kompas, 14 Juni 2023).
Kedua, tuduhan kepada jajaran penyelenggara pemilu di berbagai jenjang telah melakukan kecurangan perolehan suara hingga seorang calon gagal meraih kursi. Ketiga, terjadi diskursus parpol atau gabungan parpol memprediksi komposisi pimpinan dewan dari hasil pemilu dan muncul gejala ‘sumbangan’ suara antarparpol.
Persoalan-persoalan di atas diselesaikan antara lain melalui rekapitulasi suara kecamatan dengan penghitungan berbasis formulir plano penghitungan suara TPS. Selain itu, dilakukan pleno ulang rekapitulasi suara di kabupaten/kota karena terjadi perbedaan penghitungan suara di kecamatan meskipun berisiko laporan dugaan pelanggaran kode etik ke DKPP. Terakhir, diselesaikan dengan penghitungan surat suara ulang yang telah tersimpan diantara tumpukan kotak suara di gudang kabupaten/kota.
Jangkar tungsura
Ibarat perjalanan kapal laut di tengah ombak dan gelombang ganas. Ketika kapal tidak mampu melawan kekuatan alam, jangkar harus dilepas agar aman, bertahan, dan stabil. Saat gelombang reda jangkar diangkat, kapal kembali berlayar meneruskan perjalanan sampai tujuan.
Demikian pula, dalam proses tungsura, melewati perjalanan berjenjang melalui forum-forum pleno rekapitulasi suara di kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya berlabuh di KPU RI. Ibarat kapal laut, ada tiga jangkar tungsura. Pertama, surat suara sebagai bukti dan wujud kedaulatan pemilih, merupakan elemen jangkar pertama, satu-satunya solusi terakhir bila terjadi persoalan tungsura, baik di pleno rekapitulasi suara berjenjang dari awal sampai akhir ataupun bila diuji sampai persidangan sengketa hasil perolehan suara di MK.
Kedua, model plano menjadi dasar kedua dalam pencatatan hasil penghitungan suara tally, menjadi solusi penghitungan suara bila terjadi perbedaan jumlah suara secara berjenjang pada rekapitulasi suara kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, serta nasional.
Ketiga, sertifikat (formulir) hasil penghitungan suara merupakan pokok ketiga penghitungan suara. Dalam ketentuan, sertifikat menjadi sumber data perolehan suara yang digunakan pleno rekapitulasi suara di kecamatan. Problemnya, ketika sertifikat digandakan manual melalui pencatatan tangan petugas untuk panwas, saksi partai politik atau peserta pemilu, PPS, dan PPK, perlu waktu dan sering terjadi kesalahan penulisan data.
Adapun prinsip penghitungan suara ialah menghitung, mencatat, dan menyalin dengan benar. Untuk perilaku benar, seluruh tahapan tungsura sejak persiapan hingga penutupan harus tertib. PKPU penghitungan perolehan suara disusun sedemikian rupa memaksimalkan cara penghitungan, pencatatan, dan penyalinan yang benar.
Metodologi penghitungan tidak bertujuan untuk memenuhi motif prestasi penyelenggara pemilu. Bukan untuk memenuhi keberhasilan pengawas. Pun bukan untuk memuaskan kehendak parpol dan peserta pemilu. Secara keseluruhan untuk menyelesaikan penghitungan yang benar dan menyelesaikan masalah secara sistematis.
Adapun, sumber legitimasi tungsura antara lain: (1) menghitung, mencatat dan menyalin dengan benar; (2) pengawas melakukan fungsinya sesuai prosedur; (3) saksi peserta pemilu menjalankan tugas sesuai ketentuan; (4) masyarakat antusias menyaksikan seksama. Bila faktor pertama sudah benar, tak bisa atau tak perlu diajukan keberatan oleh elemen-elemen lainnya. Hal ini yang dimaksudkan peraturan bahwa keberatan panwas dan saksi tidak menghentikan proses penghitungan suara.
Tiga usul baru
Dalam Rancangan PKPU Tungsura, ada tiga usulan pengaturan baru. Pertama, metode penghitungan suara dilakukan paralel dalam dua panel. Panel A menghitung hasil pemilihan presiden dan waki presiden (PPWP) dan pemilu anggota DPD.
Panel B menghitung Pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sistem paralel sudah dipraktikkan di pemilu sebelumnya, pada pleno kecamatan dibentuk empat kelompok rekapitulasi suara. Namun, tetap bisa berjalan dalam pengawasan, sebab Panwas Kecamatan ada tiga anggota, memiliki staf sekretariat, dan Panwas Kelurahan/Desa (PKD). Adapun di TPS hanya ada satu pengawas TPS yang memiliki kewenangan mengusulkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.
Pengawas tentu tidak efektif melakukan tugas pada penghitungan paralel.
Kedua, penyerahan salinan hasil penghitungan suara kepada panwas, saksi dan PPK dilakukan dua cara: (1) format digital Sirekap dicetak atau difotokopi sesuai jumlah saksi, panwas, PPK; dan (2) dokumen elektronik Sirekap. Pada pemilu lalu, dilakukan dua cara: (1) formulir kosong digunakan untuk menyalin hasil penghitungan secara manual satu per satu sebanyak saksi yang hadir; dan (2) scanner untuk memindai dan mencetak sertifikat penghitungan sesuai jumlah yang diperlukan.
Perlu dipertimbangkan, dalam pemilu mendatang menggunakan 3 metode pengisian: manual, format digital yang dicetak, dan dokumen elektronik sesuai kondisi daerah sekaligus menjaga kesetaraan legalitas tiga jangkar penghitungan suara itu.
Ketiga, penyederhanaan dan perubahan nama formulir. Pada pemilu lalu, terdapat 11 (sebelas) formulir, yaitu: BA/Model C KPU (1); Sertifikat/Model C1 KPU PPWP/ DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota (5); dan Model C1 Plano PPWP/ DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota (5). Dalam Rancangan PKPU Tungsura diusulkan perubahan menjadi satu dokumen bernama Model C Hasil PPWP/ DPR/DPD/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota (5). Dalam hal ini perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Penutup
Klausul perundangan dapat menjadi pedoman guna menyempurnakan Rancangan PKPU Tungsura. Idealnya, usulan pengaturan baru tetap diposisikan sebagai jangkar penghitungan perolehan suara yang memiliki kepastian hukum, yakni surat suara, hasil penghitungan tally, dan salinan penghitungan suara.
Penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik (Sirekap) perlu sentuhan legalitas sesuai UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah operasional berdasarkan PP No 82/2012 terutama tema penyelenggara, penyelenggaraan sistem elektronik, dan tanda tangan elektronik.
Terakhir, diperhatikan bunyi UU No 7/2017, yaitu penghitungan suara di TPS dicatat pada lembar/papan/layar penghitungan; hasil penghitungan suara di TPS dituangkan ke dalam berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara; dan di desa wajib diumumkan salinan hasil penghitungan suara di tempat umum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved