Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pembelajaran Bahasa Asing dan Nilai-Nilai Moderasi

Muhammad Jauhari Sofi Dosen mata kuliah intercultural communication di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, master bahasa dan sastra Inggris dari Osmania University, Hyderabad, India
12/8/2023 05:00
Pembelajaran Bahasa Asing dan Nilai-Nilai Moderasi
Muhammad Jauhari Sofi Dosen mata kuliah intercultural communication di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, master bahasa dan sastra Inggr(Dok. Pribadi)

EKSTREMISME telah menjadi salah satu isu sentral di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Meski dikenal dengan masyarakatnya yang harmonis dalam keragaman, praktik kekerasan berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di Indonesia masih terjadi. Fakta tersebut tampak kontras dengan tradisi hidup berdampingan yang sudah lama ada di negeri ini.

Ekstremisme berbasis SARA patut diwaspadai. Penyebaran pandangan ekstremis dapat menimbulkan intoleransi dan perpecahan sosial. Ekstremisme cenderung menolak kompromi dengan orang atau golongan yang berbeda pandangan. Untuk merespons persoalan ini, pemerintah bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat gencar mengampanyekan nilai-nilai moderasi. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan identitas pluralistik dan kohesi sosial di Indonesia.

Nilai-nilai moderasi umumnya dipahami sebagai suatu prinsip yang mengedepankan keterukuran dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Pribadi yang moderat biasanya menunjukkan pikiran yang terbuka, menerima perspektif yang berbeda, dan mengupayakan pendekatan yang berimbang. Mereka senang berdialog, mendengarkan pihak lain, dan berupaya mencari titik temu.

Di dunia pendidikan, nilai-nilai moderasi sangat penting dalam menciptakan suasana belajar yang inklusif. Inklusivitas ini akan mencetak generasi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, menghargai perbedaan, dan mendorong kerja sama. Dalam hal ini, pendidik dan siswa ditempa untuk membiasakan berpikiran terbuka, saling menghormati, dan berlaku adil. Mereka dilatih untuk memperkaya perspektif, berdialog secara konstruktif, dan bersikap objektif.

Nilai-nilai moderasi di dunia pendidikan ini dapat diwujudkan, antara lain, melalui pembelajaran bahasa asing. Pembelajaran bahasa asing, baik di sekolah maupun di luar sekolah, membawa seseorang untuk mengenal budaya baru. Ketika seseorang belajar bahasa asing, ia terlibat dalam proses menggali dan mengenali aspek-aspek budaya dari masyarakat penutur bahasa tersebut. Ia secara alami akan membuka diri terhadap suatu perspektif baru, pola perilaku baru, dan cara komunikasi baru.

 

Kesalingan bahasa-budaya

Pembelajaran bahasa dan pemahaman budaya sungguh sangat terkait dan saling melengkapi. Bahasa adalah sarana utama untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya, sedangkan budaya memberikan makna yang khas pada suatu bahasa. Dalam hal ini, bahasa dipandang bukan sekadar perolehan sejumlah kosakata atau pengetahuan gramatika. Lebih dari itu, seseorang juga akan memperoleh wawasan tentang adat istiadat, tradisi, nilai, dan pola pikir yang berlaku dalam masyarakat tertentu melalui bahasa yang sedang dipelajari.

Untuk dapat menggunakan suatu bahasa secara efektif, seseorang perlu memahami konteks budaya yang menaungi bahasa tersebut. Dalam bahasa Jawa, umpamanya, penggunaan bahasa sapaan sangat dipengaruhi oleh hierarki sosial. Jawa merupakan salah satu bahasa dengan sistem sapaan yang cukup kompleks, di mana sapaan yang digunakan bisa berbeda tergantung hubungan sosial antarpembicara. Oleh karena itu, sensitivitas budaya pada saat berkomunikasi memainkan peran penting untuk menghindari kesalahpahaman atau konflik.

Sebagai contoh, ketika berbicara dengan seseorang yang lebih tua, orang Jawa biasanya menggunakan imbuhan ‘Pak’ untuk laki-laki atau ‘Bu’ untuk perempuan, kemudian diikuti dengan nama depan mereka, seperti ‘Pak Joko’ atau ‘Bu Sri’. Untuk menyapa teman sebaya atau yang sedikit lebih tua, mereka menambahkan ‘Mas’ atau ‘Mbak’, juga diikuti dengan nama depan mereka. Penggunaan sapaan yang tidak tepat, seperti menyebut hanya nama asli tanpa imbuhan ‘Pak’, ‘Bu’, dan sejenisnya, bisa dianggap kurang sopan atau bahkan menghina.

Bahasa adalah pintu masuk menuju ruang budaya. Peribahasa, misalnya, sering kali mencerminkan pandangan dan filosofi hidup dalam budaya tertentu. Peribahasa mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang dipegang oleh suatu masyarakat. Peribahasa adalah bagian dari warisan budaya yang umumnya berisi tentang pelajaran hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.

‘Time is money’ adalah salah satu contoh peribahasa yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya Amerika Serikat. Secara harfiah, ungkapan ini berarti ‘waktu adalah uang’. Ungkapan ini mencerminkan pandangan hidup masyarakat Amerika Serikat yang sangat menghargai waktu dan memanfaatkannya secara bijaksana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Bagi mereka, waktu adalah sumber daya yang utama dan dianggap bernilai tinggi sebagaimana uang.

 

Perspektif lintas budaya

Pembelajaran bahasa asing memungkinkan para siswa berinteraksi dengan budaya baru, dan akhirnya menumbuhkan perspektif lintas budaya. Perspektif lintas budaya akan mengakrabkan mereka dengan keragaman sudut pandang. Para siswa diajak untuk meluaskan sudut pandang agar mereka tidak gampang menyudutkan orang atau golongan yang berbeda pandangan. Keluasan sudut pandang ini memperkuat hubungan antarbudaya dan membangun kesadaran tentang pentingnya merawat keragaman.

Perspektif lintas budaya juga penting untuk mengurangi etnosentrisme pada diri siswa, yakni pandangan bahwa budaya atau kelompok sendiri paling penting dan unggul di antara budaya atau kelompok lain. Para siswa akan menyadari bahwa setiap budaya memiliki kontribusi dan keunikan masing-masing. Mereka akan belajar untuk menghindari penilaian yang tidak adil terhadap sesuatu di luar diri dan kelompoknya.

Sangat mungkin, awalnya para siswa memiliki prasangka negatif terhadap budaya orang lain yang mungkin terbentuk dari ketidaktahuan mereka. Dengan perspektif lintas budaya, mereka berkesempatan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dan mengoreksi prasangka negatif tersebut. Kesempatan ini menjadi modal berharga untuk mengembangkan pola perilaku yang inklusif untuk menjalani hidup Bersama di dunia yang semakin terhubung secara global.

Pembelajaran bahasa asing juga berkaitan dengan cara berkomunikasi yang efektif, khususnya untuk mengatasi perbedaan kosakata, tata bahasa, dan struktur kalimat. Komunikasi yang efektif mensyaratkan kemauan untuk menyimak dan memahami pihak lain. Pengalaman ini dapat membuka jalan bagi siswa untuk bisa berbicara, bertanya jawab, dan bertukar pendapat secara lebih autentik dan terbuka.

Selain itu, pembelajaran bahasa asing juga memberi akses ke informasi dari berbagai sumber, terutama dari media yang memakai bahasa asing tersebut. Terlebih, kehadiran internet menjadikan akses ke informasi dalam bahasa asing menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan memahami berita dan isu-isu global dari berbagai sumber bahasa, siswa akan mampu membentuk pemahaman yang lebih seimbang dan moderat tentang isu-isu aktual, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

 

Identitas hibrida

Perjumpaan siswa dengan perspektif baru, pola perilaku baru, dan cara komunikasi baru melalui pembelajaran bahasa asing dalam waktu yang lama akan dapat membentuk identitas hibrida. Identitas hibrida adalah suatu jenis identitas campuran, di mana unsur-unsur dari budaya asing dan unsur-unsur dari budaya asli saling berinteraksi dan berintegrasi dalam diri siswa. Identitas hibrida ini unik karena mencerminkan kekayaan pengalaman seorang individu.

Identitas hibrida menyiapkan para siswa menjadi pribadi yang lebih fleksibel dan mudah beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi. Mereka akan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan beragam orang dan budaya tanpa merasa canggung atau terancam. Kemampuan berinteraksi ini menjadikan mereka tidak mudah terprovokasi atau terpolarisasi di dalam masyarakat.

Lebih lanjut, identitas hibrida juga dapat membantu para siswa untuk lebih empati terhadap pengalaman dan tantangan yang dihadapi oleh orang lain. Mereka akan belajar dari pengalaman orang lain dan perlahan menerima kemajemukan dalam hidup bermasyarakat. Hal ini dapat mengurangi kecenderungan mereka untuk bersikap keras kepala, ingin menang sendiri, fanatik, dan ekstrem. Sikap-sikap tersebut dapat berkontribusi pada perpecahan sosial.

Para siswa secara perlahan tapi pasti akan menyadari bahwa realitas sosial dan budaya adalah sesuatu yang kompleks dan, oleh karenanya, tidak dapat disederhanakan menjadi sebuah pandangan tunggal. Pengakuan akan kompleksitas ini membantu menghindarkan mereka dari kesalahan berpikir hitam-putih dan bersedia mencari pemahaman yang lebih komprehensif untuk menyikapi peristiwa yang sedang terjadi.

Pembelajaran bahasa asing memiliki potensi besar untuk menumbuhkan nilai-nilai moderasi pada diri siswa. Potensi ini dapat mengubah mereka menjadi individu yang lebih terbuka dan bijaksana. Dengan potensi tersebut, mereka akan lebih siap menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama anak bangsa dan mempertahankan identitas pluralistik khususnya di Indonesia.

Meskipun demikian, penulis mengerti bahwa pembelajaran bahasa asing tidak mungkin bekerja sendiri untuk bisa menumbuhkan nilai-nilai moderasi pada diri siswa dan generasi muda. Faktor lain seperti peran orangtua dan kondisi lingkungan sekitar pun turut berperan. Oleh sebab itu, institusi pendidikan, keluarga, masyarakat, dan pemerintah perlu bersinergi untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya