Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

NU, ASEAN dan Strategi Diplomasi

Munawir Aziz Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Research Fellow the Equator Initiative London, Ketua di Indonesian Council of Youth Development (ICYD)
05/8/2023 05:00
NU, ASEAN dan Strategi Diplomasi
Munawir Aziz Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Research Fellow the Equator Initiative London, Ketua di Indonesian Council of Yo(Dok. Pribadi)

PADA abad kedua berdirinya, Nahdlatul Ulama mengukuhkan pijakan untuk merajut koneksi global dengan menyiapkan strategi diplomasi yang berdampak secara internasional. Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi yang didirikan oleh para kiai pesantren, sejatinya telah menyusun imajinasi untuk bergerak dan berdampak secara global. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan kiai-kiai pendiri organisasi ini, menyusun langkah gerak organisasi dengan simpul perdamaian dunia, tidak hanya bergerak dalam ruang lingkup negara Indonesia, namun punya jejaring, konektivitas serta pengaruh dalam tataran internasional.

Menyelami imajinasi warga Nahdlatul Ulama seperti menata puzzle-puzzle harakah islamiyah (gerakan Islam) yang relevan dengan semangat zaman. Kiai-kiai Nahdlatul Ulama, yang mewarisi ajaran dakwah Wali Sanga, mampu mentransformasi ajaran Islam menjadi sesuai dengan kearifan lokal dan konteks zaman. Nilai-nilai Islam menjadi relevan dengan napas zaman dan perkembangan budaya warga setempat. Maka, berbagai strategi budaya menjadi bagian dari cara dakwah para kiai pesantren, yang tentu saja in-line dengan strategi dakwah Nabi Muhammad yang mewariskan dakwah santun, dan sesuai dengan konteks sosiologis warga setempat.

Islam menjadi agama yang mampu hadir dalam relung kehidupan warga, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang digariskan oleh ketetapan hukum agama. Demikianlah cara dakwah para kiai Nahdlatul Ulama, yang berpendar dan berdenyar dalam ritus keagamaan seratus tahun organisasi ini menancap kuat di bumi Nusantara.

Kita bisa melihat, meski memiliki garis keturunan langsung dengan Baginda Nabi Muhammad, para kiai pesantren justru menanggalkan identitas etnik dengan berdakwah secara sublim pada tradisi masyarakat di negeri ini. Kiai-kiai pesantren tidak ribut berdebat untuk saling menegasikan silsilah keluarga, namun sibuk berdakwah untuk mengentaskan kebodohan dengan mengajar santri-santri dan warga setempat.

Pembelajaran pesantren berpijak pada usaha untuk menghilangkan kedunguan, menyalakan lilin-lilin cahaya pengetahuan di otak dan nurani para pengikutnya. Pembelajaran yang mencerahkan inilah yang kemudian menuntun para santri untuk menjadi manusia yang bermanfaat, dengan segala profesi dan skill-set yang disiapkan. Para santri berpegang pada kaidah khairunnas anfauhum linnas, sebaik-baiknya manusia itu yang bermanfaat untuk sesama.

Pola dakwah kiai-kiai pesantren dan pendekatan ala Nahdlatul Ulama inilah yang sejatinya merupakan pendekatan lembut untuk mengubah manusia Indonesia. Kiai-kiai pesantren bergerak pada trajektori pengetahuan, untuk mendukung sepenuhnya misi agama yang bermanfaat untuk semesta, untuk semua makhluk yang ada di bumi manusia. Jika kita telisik, ada banyak ajaran-ajaran kiai NU yang relevan dengan semangat zaman.

 

Diplomasi sebagai urat nadi

Sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama telah punya proyeksi untuk melakukan kerja diplomatik dengan membentuk Komite Hijaz, pada kisaran 1926. Utusan khusus yang diketuai oleh Kiai Wahab Chasbullah ini melakukan lobi kepada Raja Ibnu Saud untuk kebaikan masa depan umat Islam. Komite Hijaz merupakan wajah kecerdikan para kiai untuk mengeksekusi strategi diplomasi. Sejatinya, komite ini tidak hanya kepanitian kecil, ataupun kerja kehumasan saja. Namun, jika dimaknai secara mendalam, Komite Hijaz mencerminkan strategi diplomasi Nahdlatul Ulama, yang sudah fasih dikerjakan oleh para kiai pesantren, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Kerja-kerja diplomatik Nahdlatul Ulama telah tertulis sejarah, menjadi bagian dari urat nadi pergerakan organisasi ini. Selain upaya terus-menerus menjadi tulang punggung perumusan fondasi bangsa Indonesia, perjuangan kemerdekaan, dan penggerak utama melawan kolonialisme, Nahdlatul Ulama juga telah membuktikan betapa para kiai juga punya kecakapan tinggi dalam diplomasi internasional.

Selepas generasi Kiai Wahab Chasbullah, kerja-kerja diplomatik ini kemudian diteruskan oleh para pemimpin Nahdlatul Ulama, dengan berbagai tantangan yang dihadapi. Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdurrahman Wahid, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Said Aqil Siroj, dan kemudian Kiai Yahya C Staquf, dan beberapa kiai lain, memainkan peran penting dalam seratus tahun kerja diplomatik Nahdlatul Ulama. Artinya, melihat peran Nahdlatul Ulama sekarang ini dalam dunia internasional, tentu saja harus menelaah seratus tahun perjalanan organisasi ini, dengan pelbagai peran di level internasional, dan jaringan yang dibangun oleh para aktornya.

Sudah seharusnya para santri sekarang ini juga bergerak bersama memainkan kerja-kerja diplomatik pada levelnya masing-masing, mengingat teladan dari para kiai yang telah menulis sejarah dengan kerja dan karya pada seabad Nahdlatul Ulama.

Di bawah komando KH Yahya Staquf, Nahdlatul Ulama memainkan peran lebih berdampak dengan program-program yang terukur, komunikasi internasional yang tertata, jaringan yang lebih terkoneksi, serta gagasan strategis yang berpengaruh pada perbincangan politik lintas negara. Forum R-20 sebagai side-event G-20 di Bali (November 2022), Halaqah Internasional Fiqh Peradaban (Februari 2023), dan yang mutakhir, yakni forum ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference yang dihelat pada Agustus 2023.

Ketua Umum PBNU KH Yahya C Staquf menyampaikan bahwa forum ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (ASEAN IIDC) resmi diadopsi sebagai agenda KTT ASEAN. Hasil rumusan dari para pemuka agama di forum ASEAN IIDC diproyeksikan menjadi kebijakan strategis di ruang publik pada level ASEAN maupun juga di tingkat pemerintahan masing-masing. Forum ini lebih berdampak secara politik, karena mempertemukan pemuka agama dan pemimpin politik di ASEAN serta negara-negara partner, untuk memetakan problem yang dihadapi seraya menata langkah untuk mencari solusi bersama.

Isu-isu mendasar di ASEAN, terutama tragedi Rohingnya di Myanmar, konflik Moro Filipina, hingga relasi Kamboja-Thailand, Kamboja-Vietnam, serta ketegangan di Laut China Selatan dan tensi politik-keamanan di Indo-Pasifik mewarnai forum diskusi di KTT ASEAN, serta berdampak pada perbincangan antara pemuka agama dan pemimpin politik di forum ASEAN IIDC.

Lalu, seberapa memungkinkan agama menjadi instrumen yang berdampak penting pada ranah diplomasi global?

 

Agama sebagai diplomasi? 

Jika selama ini pendekatan diplomasi internasional hanya menggunakan kekuatan militer dan ekonomi, Kiai Yahya Staquf mendorong gagasan dengan mengajak para pemuka agama untuk bergerak bersama usaha mencari solusi atas permasalahan-permasalahan global. Dalam konteks ini, agama menjadi bagian dari soft-power untuk kerja diplomatik.

Konsep soft-power dalam strategi diplomasi global dipopulerkan pada akhir 1980-an oleh ilmuan politik Joseph Samuel Nye (mantan dekan Harvard Kennedy School, Amerika Serikat). Dalam konsepnya, Joseph S. Nye mengartikulasikan bahwa soft power itu kemampuan untuk mempengaruhi para aktor dalam ranah internasional dengan aktivitas-aktivitas yang berpijak pada solidaritas dan kebudayaan, daripada menggunakan pendekatan kekerasan dan militer.

Pendekatan kebudayaan ini menjadi jalur lain dari strategi diplomasi internasional, yang semula didominasi oleh kekuatan militer dalam percaturan politik. Negara-negara yang punya kekuatan militer yang akan mendominasi peta politik global.

Selain pendekatan kebudayaan dan solidaritas global, Jeffrey Haynes (London Metropolitan University) menambah konsep soft power dengan mamasukkan instrumen agama. Bahwa, agama dan pemuka agama juga memainkan pengaruh besar dalam interaksi antarmanusia di muka bumi, serta berdampak pada kebijakan-kebijakan strategis masing-masing negara.

Konflik Israel-Palestina, konflik Uighur di Xinjiang China, serta peta konflik berbasis agama di Asia Tenggara, juga memerlukan solusi lain dari peta jalan diplomasi berbasis militer yang selama ini dijalankan. Jika selama ini pemuka agama berada di wilayah pinggiran dalam konteks politik internasional, perlu ada strategi untuk mendorong para pemuka agama berada pada jalur yang tepat dengan gagasan yang pas, agar bisa masuk dalam negosiasi-negosiasi dalam kerja diplomasi di level internasional.

Ketika diskusi langsung dengan Kiai Yahya C Staquf dan Haji Holland C Taylor (Center for Shared Civilizational Values), juga berbincang dengan para pemuka agama semisal Prof. Thomas K. Johnson (US), Rabbi Silvia Chemen (Argentina), dan beberapa aktivis lain di forum R-20 di Bali November 2022 lalu, saya menemukan ada optimisme dan semangat yang terpancar untuk mengusung agama menjadi pilar penting diplomasi internasional, untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah global yang selama ini belum terpecahkan.

Tentu, tidak mudah bagi para pemuka agama untuk memainkan peran yang berdampak secara substansial dalam relasi diplomatik antarnegara. Masing-masing komunitas agama yang bergerak pada level ini juga perlu untuk membereskan masalah-masalah internal yang dihadapi masing-masing, sebelum menyiapkan nafas panjang untuk kerja-kerja diplomatik di level internasional.

Nahdlatul Ulama, di bawah kepemimpinan Kiai Yahya C Staquf, sudah memetakan jalan dan melangkah pada trajektori yang tepat. Perlu dukungan dari pelbagai pihak dan energi dari kader-kader muda Nahdliyyin, juga diaspora santri yang tersebar di 35 negara jaringan PCINU, untuk mendukung gerakan besar ini secara simultan dan terkonsolidasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya