Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Diplomasi Dakwah NU di Taiwan

A. Safril Mubah Dosen FISIP Universitas Airlangga, doktor Hubungan Internasional National Chengchi University, anggota PCI NU Taiwan
08/7/2023 05:00
Diplomasi Dakwah NU di Taiwan
A. Safril Mubah Dosen FISIP Universitas Airlangga, doktor Hubungan Internasional National Chengchi University, anggota PCI NU Taiwan(Dok. Pribadi)

DI tengah absennya relasi diplomatik antara Indonesia dan Taiwan, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Taiwan memainkan peran signifikan dalam kemitraan publik yang mengukuhkan hubungan kedua negara. Indonesia dan Taiwan telah menjalin hubungan selama 53 tahun, tapi pemerintah Indonesia tidak menempatkan perwakilan diplomatik resminya di Taiwan karena prinsip satu Tiongkok. Meskipun ada Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, kantor perwakilan ini tidak berwenang menjalankan fungsi diplomatik sebagaimana Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Kehadiran berbagai organisasi masyarakat Indonesia di Taiwan mengisi ruang kosong diplomatik melalui pertukaran sosial budaya antarmasyarakat kedua negara. Seiring dengan semakin meningkatnya peran publik dalam diplomasi antarnegara, mereka tergerak mempromosikan kepentingan Indonesia di Taiwan, terutama dalam mengenalkan kekuatan lunak Indonesia sebagai sebuah bangsa besar dengan keragaman kekayaan kultural. Misi itulah yang juga menggerakkan PCI NU untuk terus berkiprah di Taiwan.

PCI NU ialah jangkar diplomasi Indonesia di Taiwan. Kekuatan diplomasi NU terletak pada dakwah Islam sebagai rahmat bagi seluruh penjuru alam semesta, termasuk Taiwan. Dengan menyandingkan nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia dalam konteks lokalitas Taiwan, NU berkontribusi mempromosikan wajah Islam dan Indonesia yang ramah di Bumi Formosa. Kontribusi itu telah lama terwujud melalui pelbagai komunitas pengajian yang melebur dalam kehidupan sosial masyarakat Taiwan selama puluhan tahun.

Secara kultural, NU telah ada di Taiwan sejak 1990-an dalam bentuk majelis taklim yang dikelola secara swadaya oleh komunitas jamiyah nahdliyin di berbagai daerah. Secara struktural, PCI NU yang resmi berdiri pada 5 Oktober 2008 membawahi 12 ranting yang tersebar di Keelung, Taoyuan, Hualien, Kaohsiung, Chiayi, Changhua, Taichung, Penghu, Taitung, Yilan, Guanyin, dan Dongkang. Badan-badan otonom di bawah naungan PCI NU seperti Muslimat, Fatayat, Ansor, NU Care-Lazisnu, Lakpesdam, Lembaga Dakwah NU, dan Pagar Nusa juga beroperasi di semua ranting. Pada 13 Mei 2018, PCI NU memperoleh legalitas resmi dari Kantor Kesejahteraan Sosial Pemerintah Kota Taipei sebagai organisasi kemasyarakatan luar negeri yang sah dan memiliki kekuatan hukum dalam beroperasi di Taiwan.

Sejalan dengan pengakuan legal formal tersebut, diplomasi dakwah NU di Taiwan kian gencar. Hal itu terbukti dari semakin besarnya kontribusi PCI NU dalam mendorong pemerintah Taiwan menciptakan lingkungan sosial yang ramah untuk Muslim, mendukung sertifikasi produk halal, dan memberdayakan sekaligus melindungi warga negara Indonesia (WNI) di Taiwan.

 

Lingkungan ramah muslim

Dalam Global Muslim Travel Index yang dirilis MasterCard-Crescent Rating tahun lalu, Taiwan menempati peringkat kedua sebagai negara nonanggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki lingkungan paling ramah terhadap muslim.

Sepanjang tujuh tahun terakhir, pemerintah Taiwan terus membuka diri terhadap kedatangan pengunjung muslim, baik yang bekerja, sekolah, kunjungan bisnis, maupun sekadar berwisata. Upaya itu merupakan bagian dari strategi Taiwan untuk memperluas jangkauan global di tengah semakin sempitnya peran internasional akibat tekanan Tiongkok.

PCI NU terlibat dalam implementasi strategi itu melalui kolaborasi intensif dengan pemerintah dan dunia usaha. Ketika Taipei berinisiatif mendirikan musola di berbagai fasilitas publik, pemerintah kota menggandeng jemaah nahdliyin untuk mendesain ruangan, menentukan arah kiblat, dan melengkapi kebutuhan peralatan shalat seperti sarung, mukena, sajadah, dan juga Al-Qur’an. Pemerintah Kota Taipei bahkan memproduksi video promosi lingkungan ramah Islam yang menampilkan wali kota dan sejumlah anggota jamiyah NU. Video itu diputar di sudut-sudut strategis Kota Taipei.

Ketika Sinchung Halal for Taiwan hendak ekspor ke Indonesia, PCI NU menghubungkannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar produk perusahaan ini mendapatkan sertifikat halal. Di samping itu, PCI NU juga memberikan saran dan masukan kepada restauran, hotel, dan tempat wisata, yang berniat menyediakan produk halal dan ruangan khusus salat. Hasilnya, di sektor kuliner misalnya, jumlah restoran halal kini mencapai 250 unit di seluruh Taiwan.

Pertambahan jumlah fasilitas ramah muslim di berbagai tempat telah menjadikan umat Islam semakin mudah beribadah. Selain di dua masjid yang sudah berdiri di Taipei, umat Islam juga bisa salat di musala yang tersedia di stasiun, terminal, pusat perbelanjaan, kampus, perpustakaan, serta sejumlah tempat wisata seperti Taipei 101 dan Chiang Kai-shek Memorial Hall.

Keberadaan semua fasilitas ramah muslim itu berdampak positif terhadap pandangan masyarakat lokal Taiwan terhadap Islam. Jika dulu Islam umumnya kerap diidentikkan dengan terorisme dan radikalisme, kini Islam sangat lekat dengan keramahan. Masyarakat lokal Taiwan semakin mengenal dan memahami Islam sebagai agama yang cinta damai. Tak jarang pula, masyarakat lokal Taiwan ikut terlibat dalam agenda dakwah yang dijalankan PCI NU. Bahkan, berbagai komunitas lokal berkunjung ke kantor PCI NU untuk berdiskusi tentang Islam dan Indonesia.

Dalam penyelenggaraan salat Idul Fitri pada 23 April 2023, pemerintah Kota Taipei mengizinkan PCI NU menggunakan ruang publik di pusat kota. Salat yang diadakan di depan halaman Museum Nasional Taiwan itu didukung oleh Global Workers Organization (GWO), sebuah organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang pemberdayaan pekerja migran. Dilaksanakan dalam enam gelombang, aktivitas ibadah itu diikuti oleh sekitar 15.000 orang yang mencatatkan rekor jumlah jemaah terbanyak sepanjang sejarah penyelenggaraan salat Id oleh PCI NU.

Berkumpulnya ribuan orang di ruang terbuka dengan menampilkan gerakan salat menjadi perhatian tersendiri masyarakat Taiwan. Bagi warga lokal, itu adalah hal baru. Dengan sendirinya, mereka mengenal Islam dan tentunya Indonesia. Pengenalan itulah yang lantas mendorong orang Taiwan untuk lebih memahami Islam.

PCI NU mewadahi rasa ingin tahu tersebut dan bahkan memfasilitasi warga yang ingin memeluk Islam. Hampir setiap pekan selalu ada warga yang mengucapkan dua kalimat syahadat di kantor PCI NU ataupun di 12 ranting lainnya. Dalam prosesnya, PCI NU menyiapkan segala hal administratif terkait status mualaf dan melakukan pembimbingan keagamaan secara intesif bersama dengan WNI yang juga membutuhkan. Langkah itu merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang tidak terbatas pada WNI saja, tetapi juga terhadap warga lokal Taiwan.

 

Pemberdayaan WNI

Di antara hampir 300 ribu WNI di Taiwan, yang tercatat secara resmi dalam data terkini imigrasi Taiwan adalah 256.008 orang. WNI yang tidak terdaftar bisa jadi memiliki permasalahan keimigrasian dan kebanyakan di antaranya ialah pekerja migran. Mayoritas pekerja migran Inodnesia bekerja di sektor rumah tangga. Mereka seringkali berada dalam posisi lemah ketika berhadapan dengan majikan dan sistem ketenagakerjaan. Karena itu, pemberdayaan dan perlindungan WNI sangat penting dilakukan.

Mengingat mayoritas WNI di Taiwan ialah pekerja migran, sasaran program pemberdayaan masyarakat PCI NU difokuskan pada kelompok sosial ini. PCI NU secara rutin menyelenggarakan pengajian dan pelatihan keterampilan kerja. Bagi pekerja migran, pelatihan sangat penting untuk meningkatkan kualitas kerja sesuai standar kinerja yang dipatok majikan. Masalah kadang muncul jika hasil kinerja tidak sesuai ekspektasi. Jika hal itu terjadi, PCI NU juga menyediakan advokasi.

Advokasi itu dijalankan oleh satgas yang dibentuk KDEI untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi pekerja migran Indonesia. Meskipun bertugas melindungi WNI, KDEI tidak bisa berkerja sendirian menangani persoalan pekerja migran. Dalam hal inilah anggota NU dibutuhkan untuk menopang tugas KDEI. Melalui jaringan akar rumput yang dimiliki, PCI NU selalu sigap dalam menyelesaikan permasalahan WNI yang tersebar di banyak tempat.

Salah satu bentuk kesigapan itu adalah langkah strategis NU Care-Lazisnu dalam memobilisasi dana bantuan sosial. Lembaga ini secara aktif dan kolektif mengumpulkan donasi dari WNI di Taiwan dan lantas menyalurkannya kepada yang membutuhkan, baik di Taiwan maupun di Indonesia. Ketika wabah Covid-19 merebak dan mencapai puncaknya, NU Care-Lazisnu menyalurkan bantuan kepada WNI yang sakit. Aksi sosial itu terus berlanjut hingga sekarang.

Dalam hal ini, PCI NU sesungguhnya memainkan fungsi diplomatik dalam perlindungan WNI. Di Taiwan, diplomasi NU adalah diplomasi dakwah yang yang langsung mendekat dan berdampak ke publik. Di tengah aneka tantangan ke depan, model diplomasi semacam ini perlu terus dilestarikan demi citra positif Islam dan Indonesia yang ramah dan penuh kedamaian.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya