Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
JAKARTA dalam beberapa pekan terakhir mengalami polusi udara terburuk di dunia alias tidak sehat. Berdasarkan data situs IQAir Rabu (14/6) pukul 07.00 WIB, kualitas udara di Jakarta mencapai 159 AQI (indeks kualitas udara) dan menduduki peringkat pertama polusi udara terburuk di dunia.
Meski Jakarta sudah memiliki banyak peraturan terkait untuk mengendalikan polusi udara, tampaknya belum berhasil. Mulai UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 42/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Perda No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Selain itu, Pergub No 52/2006 tentang Pedoman Pengendalian Kualitas Udara dalam Ruangan, Pergub No 31/2008 tentang Ambang Batas Gas Buang Kendaraan Bermotor, Pergub No 54/2008 tentang Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruangan. Juga, Pergub No 131/2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Kepgub No 670/2000 tentang Penetapan Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak di Provinsi DKI Jakarta, Kepgub No 551/2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta, Ingub No 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) DKI Jakarta harus segera melakukan pengendalian polusi udara, seperti menginventarisasi profil emisi dan pelaporan penurunan emisi gas rumah kaca, memantau kualitas udara dan tingkat kebisingan, mengkaji standardisasi PM 2.5, melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor, melaksanakan evaluasi kualitas udara perkotaan.
Selain itu, memantau kualitas lingkungan udara hari bebas kendaraan bermotor (HBKB), membina bengkel pelaksana uji emisi kendaraan bermotor, mengadakan alat pemantau kualitas udara tetap atau bergerak di lokasi strategis kota, memelihara dan merawat Stasiun Pemantau Kualitas Udara, serta merencanakan pengelolaan dan pemanfaatan landfill gas di TPST Bantar Gebang.
Kedua, pada TomTom Traffic Index Ranking 2021, Jakarta menempati urutan ke-46 (indeks kemacetan 34%) dari 404 kota yang diukur dari 58 negara di 6 benua. Namun, pada 2022, peringkat kemacetan Jakarta naik ke posisi 29 dari 389 kota di 56 negara di 6 benua. Jakarta berada di posisi 29 kota termacet dunia dengan waktu rerata perjalanan dalam 10 kilometer ialah 22 menit 40 detik. Waktu tempuh itu meningkat sekitar 2 menit 50 detik jika dibandingkan 2021, yakni Jakarta berada di posisi ke-46 dalam TomTom Traffic Index.
Indek Lalu Lintas TomTom mencatat waktu perjalanan untuk memeringkat tingkat kemacetan kota berdasarkan waktu rerata yang diperlukan untuk berkendara sejauh 10 kilometer di dalamnya. Waktu tempuh di berbagai kota merupakan hasil dari faktor kuasi statis seperti infrastruktur jalan (kategori jalan, kapasitas, batas kecepatan) dan faktor dinamis seperti kemacetan lalu lintas dan perubahan arus. Faktor statis menentukan waktu perjalanan yang optimal di sebuah kota, sedangkan faktor dinamis memberikan perubahan arus lalu lintas dan jumlah keduanya memberikan waktu tempuh.
Ketiga, hasil dari Indeks Lalu Lintas TomTom dapat membantu pemerintah kota, perencana kota dan transportasi, pengeloa transportasi publik, dalam membuat keputusan mengatur mobilitas dan aksesibilitas yang tepat. Dinas Perhubungan DKI Jakarta dapat menerapkan pembatasan pergerakan kendaraan pribadi (penyebab 46% polusi udara), seperti perluasan penerapan ganjil-genap baik wilayah kawasan ataupun jenis kendaraan (dan jenis bahan bakarnya), penutupan titik putaran di jalan padat kendaraan, pelurusan arus pada persimpangan padat antrean kendaraan, serta mengizinkan kembali aturan belok kiri boleh langsung untuk menghindari antrean kendaraan di persimpangan.
Selain itu, pengenaan parkir elektronik progresif (semakin mahal ke pusat kota pada jam sibuk di hari kerja), mengevaluasi raperda jalan berbayar elektronik yang sempat mendapat penolakan warga, meniadakan parkir liar dan parkir tepi jalan, juga menerapkan kewajiban pemilik kendaraan bermotor untuk memiliki garasi sendiri atau komunal.
Keempat, Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (Perpres No 5/2018), mensyaratkan pergerakan orang dengan menggunakan angkutan umum harus mencapai 60% dari total pergerakan orang. Waktu perjalanan orang rerata di dalam kendaraan angkutan umum ialah satu jam 30 menit pada jam puncak dari tempat asal ke tujuan.
Kecepatan rerata kendaraan angkutan umum pada jam puncak minimal 30 kilometer/jam, serta cakupan pelayanan angkutan umum mencapai 80% dari panjang jalan. Simpul transportasi perkotaan didukung infrastruktur pejalan kaki dan fasilitas parkir pindah moda, jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter dan dalam satu kali perjalanan maksimal tiga kali, serta akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter.
Selain itu, pemerintah harus berani menghentikan bertahap dan beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan diesel (penyebab 31% polusi udara) ke energi terbarukan (surya, bayu, hidro, gelombang laut), demi tersedianya udara sehat kota.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved