KEBIJAKAN pendidikan nasional kembali disorot. Kini wacana marketplace guru yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) yang menjadi polemik. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI (24/5) Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menawarkan konsep marketplace guru sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan pengangkatan guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN) secara permanen.
Istilah atau konsep marketplace guru ini kemudian menuai kritik dari Komisi X DPR RI dan berbagai elemen pendidikan. Pasalnya, secara konseptual, gagasan yang ditawarkan tersebut pada dasarnya telah misleading terhadap hakikat guru itu sendiri. Guru sejatinya sebagai profesi terhormat yang bekerja di sektor publik dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan pendidikan nasional.
Istilah marketplace yang lazim digunakan dalam dunia bisnis, seakan-akan menempatkan guru sebagai komoditi dan barang dagangan. Oleh karena itu, alangkah lebih bijak jika istilah yang digunakan lebih mengangkat derajat, martabat, dan kehormatan guru. Bukan sebaliknya justru mendegradasikan kedudukan guru sebagai profesi terhormat.
Di samping kontoversi peristilahan tersebut, banyak pihak yang mempertanyakan dan bahkan menyangsikan apakah wacana kebijakan ini mampu menyelesaikan problematika guru secara fundamental, komprehensif, dan permanen. Beberapa pihak melihat bahwa wacana marketplace ini hanya menyelesaikan persoalan rekrutmen dan distribusi guru semata dan temporer. Padahal, akar problematika fundamental guru bukan menyangkut persoalan tersebut. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan mulai dari hulu sampai ke hilir terkait persoalan guru.
Akar persoalan
Dari hulu misalnya, kualitas dan kapasitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai institusi yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), untuk menyelenggarakan program pengadaan guru perlu ditingkatkan dan diperkuat kedudukannya.
Perlu adanya daya dukung anggaran dan sarana prasarana bagi peningkatan kualitas LPTK. Reformulasi kurikulum LPTK dalam pendidikan profesi guru pun perlu diperkuat dan evaluasi terhadap maraknya LPTK yang telah ada selama ini pun perlu dilakukan.
Secara yuridis, istilah LPTK pun keliru dan salah kaprah. Dalam Pasal 39 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) membedakan istilah pendidik dan tenaga kependidikan. LPTK sejatinya merupakan perguruan tinggi yang ditugaskan untuk mencetak pendidik, yakni guru profesional dan bukan tenaga kependidikan. Oleh karena itu, istilah LPTK perlu dirumuskan ulang menjadi lembaga pendidikan tinggi kependidikan.
Penyelenggaraan pendidikan profesi guru (PPG) yang berkualitas dan dibuka seluas-luasnya pun penting untuk dilakukan. Upaya ini penting guna memenuhi kebutuhan calon guru yang berkualitas. Apalagi, UUGD secara imperatif menegaskan bahwa syarat utama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu wajib memiliki sertifikat pendidik yang diperoleh setelah mengikuti PPG.
Pemerintah sendiri telah melenceng jauh dari amanat Pasal 82 UUGD bahwa pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik bagi para guru, harus sudah diselesaikan paling lama 10 tahun sejak berlakunya UUGD. Akan tetapi, sampai saat ini pun masih terdapat guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik D-IV atau S-1 dan belum memiliki sertifikat akademik sebagai bukti keprofesionalannya.
Persoalan kepastian dan kejelasan status, jenjang karier, kesejahteraan, dan perlindungan guru pun menjadi benang kusut tata kelola guru di Indonesia. Sebagai contoh terkait problematika jenjang karier, kini berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak bahwa syarat untuk menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, ataupun penugasan lain di bidang pendidikan, harus memiliki sertifikat guru penggerak. Di tengah pelaksanaan program guru penggerak yang belum optimal dan belum seluruh guru mengikuti program guru penggerak, persyaratan ini tentu berpotensi diskriminatif dan melangggar HAM.
Belum lagi dalam Pasal 6 huruf d Permendikbud-Ristek No 26 Tahun 2022 menyebutkan bahwa calon peserta pendidikan guru penggerak harus memenuhi persyaratan salah satunya ialah memiliki masa sisa mengajar tidak kurang dari 10 (sepuluh) tahun. Ketentuan ini tentu dapat mematikan proses pemelajaran, pengembangan keprofesionalan, dan jenjang karir guru.
Padahal berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) huruf g UUGD menyebutkan bahwa salah satu prinsip profesionalitas guru ialah memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, adanya batasan untuk mengikuti program guru penggerak sangat diskriminatif dan melanggar ketentuan UUGD.
Aspek kesejahteraan dan kejelasan status guru honorer melalui pengangkatan sebagai ASN pun masih menyisakan persoalan. Wacana Kemendikbud-Ristek untuk mengangkat satu juta guru sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) pun masih belum mencapai target secara optimal. Bahkan para guru yang telah lolos passing grade dalam seleksi PPPK di tahun sebelumnya pun masih banyak yang belum memperoleh penempatan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya agar proses rekrutmen guru menjadi ASN diperluas dan diperbanyak serta menjamin penempatannya setelah dinyatakan lulus atau lolos passing grade.
Solusi
Ke depan, alangkah lebih bijak jika Kemendikbud-Ristek menyelesaikan akar persoalan-persoalan di atas terlebih dahulu. Bukan sebaliknya menambah masalah-masalah baru melalui wacana kebijakan yang menuai kontroversi. Apalagi wacana marketplace guru berpotensi menimbulkan persoalan baru seperti bagaimana menjamin perekrutan guru langsung oleh sekolah berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif dan berintegritas.
Pasalnya tanpa adanya mekanisme yang jelas, dikhawatirkan proses perekrutannya berpotensi sangat bersifat transaksional dan menumbuhkan praktik kolusi dan nepotisme. Sekolah bisa saja mengangkat guru-guru yang dekat dan kenal secara personal dengan salah satu pihak di sekolah.
Begitu pun dengan wacana anggaran gaji dan tunjangan bagi guru ASN dari Dana Alokasi Umum spesifik bidang pendidikan, yang nantinya dialihkan dan dikelola oleh sekolah perlu diawasi secara ketat, transparan, dan akuntabel. Jangan sampai menimbulkan persoalan baru seperti praktik-praktik korupsi yang merajalela di institusi pendidikan.
Di samping itu, pembentukan grand design atau peta jalan tata kelola guru pun perlu segera dirumuskan. Upaya menyelesaikan problematika guru tidak bisa hanya sekadar menciptakan aplikasi-aplikasi semata. Perlu adanya roadmap sebagai kompas penunjuk arah guna menyelesaikan problematika guru secara sistematis, terukur, terarah, dan berkelanjutan.
Pendataan guru secara komprehensif dari setiap jenjang pendidikan, setiap daerah, dan bahkan setiap guru mata pelajaran pun penting untuk segera dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memetakan sebaran guru di berbagai daerah, berapa banyak guru yang akan pensiun, dan berapa banyak kebutuhan formasi guru yang nantinya akan diangkat.
Begitu pun dengan pembinaan dan pengembangan profesi guru setelah diangkat menjadi ASN pun perlu dilakukan secara berkelanjutan. Upaya ini penting guna meningkatkan kualitas dan kompetensi guru profesional. Jangan sampai hanya mengangkat satu juta guru sebagai ASN, tanpa ada rencana yang matang guna meningkatkan kualitas dan kompetensi guru secara berkelanjutan.
Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan mampu memberikan solusi permanen dan komprehensif bagi permasalahan guru di Indonesia. Dengan demikian, upaya mengatasi problematika guru tidak bisa dilakukan secara parsial dengan kebijakan-kebijakan yang tidak disusun secara sistematis dan berkesinambungan. Apalagi hanya mengandalkan aplikasi-aplikasi yang justru mendegradasikan harkat dan martabat guru sebagai pendidik terhormat.