Jumat 02 Juni 2023, 05:05 WIB

Makna Kemenangan Erdogan

Smith Alhadar Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) | Opini
Makna Kemenangan Erdogan

Dok. MI
Smith Alhadar Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)

 

SEBELUM pemilihan presiden dan pemilihan legislatif di Turki pada 14 Mei, umumnya lembaga-lembaga survei di sana mengunggulkan calon presiden Kemal Kilicdaroglu dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang mengusung ideologi Kemalisme. Kemalisme merujuk pada pendiri Republik Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk.

Menyusul kekalahan Khilafah Usmani dalam Perang Dunia I, Mustafa Kemal bergelar Attaturk (Bapak Orang Turki) membubarkan khilafah terakhir itu dan di atas puing-puingnya mendirikan negara Turki yang kita kenal sekarang, yang menjadikan Barat sebagai sumber inspirasi untuk mentransformasikan peradaban Islam Turki secara radikal.

Lawannya ialah Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang bercorak Islam. Seiring perubahan politik dan keamanan di Eropa pascakeruntuhan Uni Soviet (1991), yang berdampak pada berkurangnya signifikansi Turki sebagai anggota NATO, Erdogan mengubah posisi Turki dari pro-Barat menjadi negara independen, yang mengimbangkan kebijakannya terhadap AS, Uni Eropa, dan Rusia.

Demi mengejar ambisinya menjadikan Turki sebagai kekuatan regional, Erdogan aktif memainkan peran dalam perpolitikan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Tengah, kawasan yang dulu merupakan wilayah jajahan Khilafah Usmani. Demi menanamkan pengaruhnya di Dunia Arab, Turki mendukung perubahan terhadap status quo.

Maka ketika Arab Spring pecah di kawasan itu, Turki mendukung pemberontak, terutama Ikhwanul Muslimin. Dukungan terhadap Palestina diperkuat dengan membantu Hamas di Jalur Gaza dalam konfrontasinya dengan Israel. Turki juga bekerja sama erat dengan Iran, musuh Israel dan Barat, terkait kepentingan ekonomi dan geopolitik.

 

Suara mayoritas

Tidak sebagaimana prediksi lembaga-lembaga survei, ternyata Erdogan memenangi pilpres. Partainya dan parpol-parpol koalisinya juga meraup suara mayoritas di parlemen. Namun, pilpres harus berlangsung dua putaran karena pada putaran pertama, 14 Mei, tidak ada capres yang meraih suara lebih dari 50%. Erdogan meraup suara 49,50%.

Sementara lawannya, Kilicdaroglu, yang diprediksi akan menang ternyata hanya meraih 44,50% suara. Dus, pilpres harus diselenggarakan kembali pada 28 Mei. Hasilnya, Erdogan menang 52,2%. Kilicdaroglu hanya berhasil mengumpulkan 47,8% suara.

Lembaga-lembaga survei Turki memang tak dapat diandalkan karena telah dipolitisasi. Mereka tidak menyukai Erdogan yang dicitrakan sebagai ‘Putin lain’, seorang autokrat populis dan memecah-belah demi mengejar mimpi khilafahnya. Erdogan juga dikritik karena memimpin sistem nepotisme, ekonomi yang lemah, inflasi tinggi, dan devaluasi mata uang.

Terkait ekonomi, kinerja pemerintahan Erdogan memang payah dalam beberapa tahun terakhir. Selain karena pandemi covid-19, inflasi Turki hingga saat ini masih menyentuh lebih dari 50%. Nilai tukar lira juga merosot tajam. Belum lagi masalah ini teratasi, pada Februari lalu gempa bumi dahsyat di Turki menghancurkan nyaris semua kota di tenggara Turki, dan menewaskan lebih dari 50 ribu warga. Pada saat bersamaan, kehadiran jutaan pengungsi Suriah menciptakan kecemburuan sosial, di saat lapangan pekerjaan makin sulit diperoleh.

Kalau melihat fakta sosial-ekonomi ini memang sulit dipercaya Erdogan, yang telah memerintah Turki selama dua dekade, akan dipilih kembali untuk lima tahun ke depan. Tak heran, selama kampanye Kilicdaroglu fokus mengeksploitasi isu-isu ini. Berbeda dengan Erdogan, yang memberi opsi pengungsi Suriah untuk pulang kampung secara sukarela, Kilicdaroglu berjanji akan mendeportasi mereka secara paksa.

Toh, kini Suriah relatif aman setelah rezim Bashar al-Assad berhasil menduduki kembali wilayah-wilayah yang dulu diduduki pemberontak. Negara-negara Arab penentang Al-Assad pun kini telah berdamai dengannya. Dus, target Turki untuk mengenyahkan rezim Al-Assad telah kehilangan momentum sehingga berdamai dengannya untuk memulangkan pengungsi merupakan keniscayaan.

Hal lain yang mungkin akan memberi insentif elektoral kepada Kilicdaroglu ialah dukungan Barat kepadanya. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang konsensual, sederhana, dan bertanggung jawab yang akan memulihkan demokrasi dan menambal hubungan dengan Barat. Memang terkait Perang Rusia-Ukraina, Turki tak mengikuti kebijakan NATO yang membantu Ukraina habis-habisan. Padahal, Turki ialah anggotanya. Ketika NATO dan UE menjatuhkan sanksi ekonomi yang keras terhadap Rusia guna melemahkan kemampuan perangnya, Turki justru tetap membeli gas dari negara Beruang Merah itu.

Sebelumnya Turki telah bertikai dengan UE terkait demokrasi dan HAM Turki yang dipandang jauh dari standar UE, terutama pascakudeta gagal di Turki pada 2016. Barat melihat Erdogan memanfaatkan insiden itu untuk menggulung kaum oposisi tanpa memedulikan norma demokrasi dan penegakan hukum yang fair. Bagaimanapun, Turki melihat UE mencampuri urusan domestiknya dan memperlakukannya secara tidak adil. Kendati telah melamar menjadi anggota UE selama puluhan tahun, lamaran Turki belum diterima. Sebaliknya, negara-negara Eropa Timur yang dulu menjadi satelit Uni Soviet telah diterima sebagai anggota.

UE beralasan demokrasi dan HAM masih menjadi isu serius di Turki. Juga ketakutan UE atas kemungkinan besar kawasan mereka dibanjiri tenaga kerja Turki untuk mendapatkan upah yang lebih baik di sana. Namun, masyarakat Turki mencurigai sikap UE terhadap negaranya, lebih terkait dengan ras dan agama. Memang etnik Turki bukan ras Eropa. Berbeda dengan peradaban Barat yang dipengaruhi kristianitas, mayoritas populasi Turki beragama Islam.

Erdogan juga bertikai dengan AS yang masih mempertahankan persekutuan dengan milisi Kurdi di Suriah dalam perang melawan Islamic State (IS). Turki melihat milisi Kurdi itu sebagai kepanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) – pemberontak Kurdi di Turki. Lebih jauh, Erdogan tak menggubris tekanan AS agar Turki membatalkan pembelian sistem pertahanan udara S400 dari Rusia.

Dalam perspektif isu-isu keamanan, ekonomi, berakhirnya Perang Dingin, dan sikap ’diskriminatif’ Barat inilah, yang menjelaskan mengapa AKP pimpinan Erdogan bisa menjadi partai penguasa sejak 2002. Dengan melaksanakan politik luar negeri yang independen, sesungguhnya Erdogan mengangkat harga diri bangsanya. Bukan hanya itu. Harus diakui selama memimpin Turki, Erdogan berhasil melakukan industrialisasi strategis, yang bukan hanya mampu menyerap tenaga kerja Turki dalam jumlah besar, tetapi juga berhasil melipatgandakan pendapatan per kapita rakyatnya dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Artinya, kekayaan negara yang meningkat terdistribusi secara merata kepada rakyat Turki di perdesaan, yang umumnya muslim konservatif. Tak heran, buruh kecil perkotaan dan rakyat perdesaan inilah yang menjadi basis konstituen Erdogan dan partainya. Sementara, akses Turki terhadap ekonomi Barat yang terbatas terkompensasi oleh kerja sama ekonomi Turki dengan Rusia, Tiongkok, dan negara-negara Arab kaya.

Dengan postur seperti ini, Erdogan berhasil membangkitkan memori kolektif rakyat Turki akan kejayaan bangsa mereka di masa lalu. Kendati tetap mempertahankan negara sekuler, Erdogan mengembalikan simbol-simbol Islam yang dulu dilarang. Kini, menggunakan hijab di ruang publik dan di perkantoran dibolehkan. Masjid-masjid ikonik, seperti Masjid Aya Sofia di Istanbul, yang ditutup sejak era Attaturki kini difungsikan kembali.

Kilicdaroglu kalah karena ia ingin mengembalikan Turki ke tradisi Kemalisme di dunia yang telah berubah. Lebih dari itu, Erdogan telah mengubah Turki secara fundamental sehingga mengembalikan Turki ke masa lalu terlihat sebagai hal yang tak masuk akal. Dampak gempa Turki juga bisa dilihat sebagai blessing in disguise bagi Erdogan karena ia berkesempatan bersentuhan dengan para korban melalui bantuan sosial dan pembangunan kembali perumahan mereka.

Toh, gempa ialah bencana alam yang tak bisa dipertanggungjawabkan kepada seseorang. Karena skala kerusakan demikian besar, terlihat pemerintah lamban menanganinya. Namun, kehadiran Erdogan di tengah korban dan kerja kerasnya untuk membantu mereka justru menimbulkan simpati rakyat. Alhasil, kemenangan Erdogan atas Kilicdaroglu bermakna Kemalisme tak lagi menarik dan Erdogan berhasil menggantikan posisi Attaturk sebagai ‘dewa’ Turki. Ia memang politisi cerdas yang karismatik.

Baca Juga

MI/Ebet

Angeball Mencoba Goyang Emirates

👤Suryopratomo Pemerhati Sepak bola 🕔Sabtu 23 September 2023, 05:00 WIB
LUPAKAN sejenak Manchester United yang terbenam dalam tiga kali kekalahan...
Dok. Pribadi

Dari Makassar ke Arnhem Land; Jejak Keislaman Jalur Tripang Nusantara dan Australia

👤Maria Fauzi Penulis, Litbang Fatayat DIY dan Founder Neswa.id 🕔Sabtu 23 September 2023, 05:00 WIB
“INI ialah cerita orang-orang biasa.” Kalimat inilah yang pertama kali disampaikan oleh Dr Lily...
MI/Duta

TPPO, Antara Kepentingan dan Kegentingan bagi ASEAN

👤Ogiandhafiz Juanda Advokat, dosen, dan pengamat hukum internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute, master bidang hukum internasional dan keadilan global dari Universitas Sheffield, Inggris 🕔Jumat 22 September 2023, 05:10 WIB
PADA 2023 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (The Association of the Southeast Asian Nations/ASEAN) setidaknya sudah empat kali...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

MI TV

  • Presiden PKS Buka-Bukaan Soal Pasangan Amin

    Berikut petikan wawancara khusus wartawan Media Indonesia Ahmad Punto, Henri Salomo, Akhmad Mustain, dan Rifaldi Putra Irianto di kantor DPP PKS, Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Selengkapnya

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya