Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Data Tengkes Mengapa Berbeda?

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB
12/5/2023 05:00
Data Tengkes Mengapa Berbeda?
(MI/Seno)

PADA lima tahun terakhir, angka prevalensi tengkes di Kabupaten Sumedang mengalami penurunan, dari 32,2% pada 2018 menjadi 8,27% pada 2022. Aplikasi berbasis teknologi yang dinamakan Sistem Pencegahan Tengkes Terintegrasi (Simpati) turut berkontribusi dalam penanganan tengkes di Sumedang. Melalui platform itu, seluruh pemangku kepentingan mampu memahami cara mengatasi tengkes.

Aplikasi tersebut menyajikan sejumlah data dan informasi yang jelas, seperti desa dengan angka prevalensi tengkes yang tinggi, data statistik anak yang terkena tengkes, hingga penyebab terjadinya tengkes di desa itu. Dengan data yang ada, penanganan tengkes di setiap desa akan berbeda sesuai dengan kendala yang dihadapi.

Pemangku kepentingan di Kabupaten Sumedang paham bagaimana menggunakan aplikasi Simpati karena setiap bulan penimbangan balita, posyandu menginput data lingkar kepala, berat badan, dan tinggi badan. Terobosan yang dilakukan Pemkab Sumedang menjadikan mereka model yang disarankan ditiru kabupaten/kota lain di Indonesia yang masih memiliki prevalensi tengkes tinggi.

Namun, sebagaimana diketahui, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang difasilitasi Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes menunjukkan Kabupaten Sumedang menjadi kabupaten dengan tingkat prevalensi balita tengkes tertinggi di Jawa Barat, yakni mencapai 27,6%. Angka tersebut berbanding terbalik dengan pendataan E-PPGBM (elektronik-pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat), yang menunjukkan prevalensi tengkes relatif rendah, yaitu 8,27%.

Ada beberapa persoalan yang harus dicermati dalam perolehan data E-PPGBM, yang umumnya menunjukkan prevalensi tengkes rendah. Harus dipahami bahwa dalam pengukuran status gizi balita di posyandu yang menjadi basis data tengkes E-PPGBM masih terdapat kelemahan-kelemahan menyangkut kurangnya ketersediaan alat ukur yang sahih (timbangan dan alat ukur tinggi badan atau stature meter). Sebagai contoh, di Kabupaten Bogor, posyandu yang memiliki alat ukur sesuai dengan standar hanya 18,9%.

Problem lainnya ialah kurangnya kemampuan atau keterampilan kader posyandu dalam mengukur tinggi badan karena tidak mendapatkan pelatihan rutin. Akibatnya, bila data status gizi yang diinput tidak akurat, prevalensi tengkes di suatu wilayah menjadi keliru dan tidak sesuai dengan realitasnya.

Data E-PPGBM menunjukkan status gizi anak balita berbasis populasi di suatu wilayah. Oleh sebab itu, jumlah data anak balita yang diinput, bila semakin mendekati populasi, akan semakin baik. Salah satu kelebihan data status gizi E-PPGBM ialah adanya informasi by name by address yang artinya alamat serta nama kedua orangtua balita yang terdeteksi tengkes bisa diketahui dengan mudah sehingga intervensi perbaikan gizi dapat dilakukan secara tepat sasaran.

Sebaliknya, data status gizi yang diperoleh dari SSGI ialah berdasarkan sampling sehingga jumlah balita yang dikumpulkan datanya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan data populasi. Namun, sepanjang proses sampling-nya benar, data SSGI dapat mewakili populasi anak balita di wilayah tersebut. Kelebihan data SSGI ialah proses pengukuran status gizi anak dilakukan tenaga gizi terlatih dengan alat ukur yang sahih. Itu sebabnya data SSGI relatif lebih dapat dipercaya.

 

Satu data Indonesia

Pemerintah telah menerbitkan Perpres No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Pernah ada anekdot yang mengatakan, di Indonesia segala macam data tersedia, tetapi yang sulit ialah mendapatkan data yang benar. Di dalam perpres tersebut dinyatakan bahwa upaya untuk mewujudkan keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan, perlu didukung dengan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan, serta dikelola secara saksama, terintegrasi, dan berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan perbaikan tata kelola data yang dihasilkan pemerintah melalui penyelenggaraan satu data Indonesia.

Sebenarnya, kita tidak perlu mempertentangkan data E-PPGBM versus data SSGI. Kedua jenis data tersebut bersifat saling melengkapi. Syaratnya ialah adanya perbaikan dalam standar alat ukur yang digunakan dan pelatihan kader posyandu dalam proses pengukuran status gizi. Kedua kelemahan itu yang disinyalir berkontribusi besar pada perbedaan prevalensi tengkes dari hasil data E-PPGBM dan SSGI.

Ada beberapa data tengkes di tingkat kabupaten. Pertama, data Riskesdas yang pengumpulannya lima tahun sekali. Riskedas terakhir diselenggarakan pada 2018. Karena prevalensi tengkes nasional berdasarkan data Riskesdas 2018 ialah 30,8%, tengkes dianggap problem gizi masyarakat yang harus dikurangi prevalensinya hingga di bawah 20%, tepatnya pemerintah Indonesia ingin menurunkan prevalensi tengkes menjadi 14% pada 2024.

Kedua, data tengkes yang dikumpulkan melalui E-PPGBM dilakukan melalui survei populasi setiap tahun bersamaan dengan bulan pemberian vitamin A dosis tinggi di posyandu. Ketiga, data tengkes dari SSGI yang pengumpulannya juga dilakukan setiap tahun melalui survei sampel (bukan populasi).

Adanya tiga jenis data itu jangan sampai membingungkan perumusan program di tingkat kabupaten untuk pengentasan rakyat dari problem tengkes. Untuk ketepatan sasaran program intervensi, sebaiknya digunakan data E-PPGBM, sedangkan untuk menilai efektivitas program jangka pendek (tahunan), digunakan data SSGI. Untuk mengevaluasi keberhasilan program jangka panjang (lima tahunan), digunakan data Riskesdas.

Konvergensi program penanggulangan tengkes terkadang menimbulkan kompleksitas di lapangan. Sebagaimana diketahui, tengkes bisa terjadi karena kemiskinan keluarga, pola asuh yang buruk, sanitasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kendala akses pangan, sosiobudaya, dll. Oleh sebab itu, tengkes bukan melulu tanggung jawab sektor kesehatan yang program-programnya (disebut program spesifik) antara lain imunisasi, pemberian makanan tambahan di posyandu, dan pemberian tablet besi untuk ibu hamil.

Ada program-program lain di luar sektor kesehatan (disebut program sensitif) yang mungkin lebih erat dengan persoalan kemiskinan semisal Program Keluarga Harapan (PKH), Program JKN, dan bantuan pangan nontunai (BPNT). Program-program nonkesehatan itu di tingkat desa tidak mudah diubah untuk berganti sasaran dari sasaran rumah tangga miskin menjadi rumah tangga tengkes. Oleh sebab itu, keinginan untuk mengikutsertakan rumah tangga tengkes ke dalam program-program nonkesehatan (program kemiskinan) memerlukan kebijakan harmonisasi data.

Tengkes merupakan problem gizi yang serius karena banyak penelitian yang telah menelaah dampak negatif tengkes terhadap kecerdasan anak. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh, tengkes bisa menjadi bom waktu bahwa Indonesia tidak akan mendapatkan banyak manfaat dengan adanya bonus demografi karena sumber daya manusia (SDM)-nya rapuh dan terkendala intelektualitasnya. Bonus demografi hanya akan diperoleh bila SDM kita sehat, status gizinya baik, cerdas, serta berpendidikan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya