Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
DI era digital yang semakin berkembang, media sosial (medsos) telah menjadi wadah yang dominan dalam memengaruhi wacana publik. Para politikusdan partai politik telah beramai-ramai memanfaatkan kekuatan media sosial untuk melancarkan kampanye politiknya. Walaupun media sosial berperan efektif dalam menyampaikan informasi politik dan membangkitkan partisipasi masyarakat, sayangnya media ini kerap disalahgunakan sebagai alat penyebaran disinformasi politik atau berita hoaks.
Dalam dua pemilu terakhir, 2014 dan 2019, politik Indonesia telah mengalami banyak kasus disinformasi. Pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat adanya 486 kasus dugaan pelanggaran kampanye di media sosial, termasuk penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian (Tirto.id, 2019).
Di samping itu, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) juga mengungkapkan peningkatan jumlah berita hoaks tentang isu politik dan pemilu sepanjang 2019 yang mencapai 2.350 kasus (CNBC Indonesia, 2019). Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat bahwa dari September hingga Desember 2020 terdapat sekitar 1.200 kasus berita hoaks (Kompas.com, 2020).
Disinformasi politik di media sosial dapat berdampak negatif dengan menyebabkan, antara lain, konflik sosial dan instabilitas politik. Berita palsu mendorong orang-orang cenderung memercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, menciptakan 'ruang gema' yang menguatkan keyakinannya itu dan pada akhirnya menghasilkan perpecahan di masyarakat.
Berita palsu yang berkaitan dengan pemilu juga dapat memicu instabilitas politik. Sebagai contoh, pada Pemilu 2019 lalu, berkembang hoaks mengenai kotak suara berbahan kertas antiair dan isu DPT 17,5 juta suara bermasalah yang dituduhkan untuk kecurangan kandidat tertentu. Kedua isu tersebut telah menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat dan mengancam integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu.
Menjelang Pemilu 2024, dampak buruk disinformasi politik merupakan tantangan berat yang harus diatasi. Berita palsu dan ujaran kebencian masih bertebaran di media sosial sehingga dapat melemahkan tatanan demokrasi dan menodai kredibilitas hasil pemilu. Kita tentu tidak menginginkan disinformasi politik kembali menjadi sumber masalah yang dapat menggerus kualitas demokrasi negara ini. Oleh karena itu, beberapa upaya harus diambil guna meminimalisasiefek negatif yang ditimbulkan disinformasi politik.
Pertama, semua pihak harus berkomitmen melawan berita palsu dengan penguatan literasi media kepada masyarakat. Peningkatan literasi media dapat dicapai dengan mengintegrasikan materi literasi media ke dalam kurikulum berbagai lembaga pendidikan. Dengan demikian, para siswa/mahasiswa tidak hanya mengakses atau mengonsumsi berbagai informasi di media sosial, tetapi juga memiliki kemampuan mengevaluasinya secara kritis dan etis. Mereka kemudian dapat didorong menjadi agen dalam meningkatkan literasi digital di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, pemerintah perlu secara konsisten menyelenggarakan kampanye tentang kesadaran publik akan bahaya disinformasi politik. Sebenarnya Kemenkominfo telah mencanangkan program literasi digital nasional (LDN) dengan target 50 juta warga yang terliterasi digital pada 2024. Namun, program tersebut diharapkan dapat terlaksana secara berkelanjutan dan menyasar target-target secara substantif sehingga warga benar-benar teredukasi dalam mengenali berita palsu dan menyikapi secara bijak konten-konten politik yang bersifat sensitif.
Dengan begitu, warga akan lebih siap menangkal disinformasi dan membuat keputusan yang rasional selama proses Pemilu 2024. Tidak terpengaruh oleh provokasi bermotif SARA dan bahkan dapat secara aktif melawan narasi berita palsu di media sosial.
Terakhir, kita mengapresiasi upaya pemerintah yang telah bekerja sama dengan perusahaan platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram untuk membantu mengidentifikasi dan menyaring konten palsu dan melawan hukum. Namun, upaya tersebut harus diimbangi dengan komitmen menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan berekspresi. Jangan sampai tindakan-tindakan untuk mengeliminasi disinformasi politik malah menjadi alasan untuk membungkam kritik atau berbagai ekspresi yang tidak sejalan dengan kepentingan politik pihak tertentu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved