Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kesejahteraan Petani dan Populisme Ekonomi Kerakyatan

Fajar B Hirawan Ketua Departemen Ekonomi CSIS Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia
28/4/2023 05:00
Kesejahteraan Petani dan Populisme Ekonomi Kerakyatan
(MI/Seno)

PERJALANAN mudik tahun ini terasa sangat spesial ketika melewati wilayah bagian timur Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Hamparan padi yang terbentang luas terlihat menguning sempurna, yang menandakan dimulainya musim panen perdana pada 2023. Semangat para petani pun tecermin dari daya tahan mereka di tengah teriknya panas sinar matahari saat memotong padi dan memasukkannya ke dalam mesin pemotong padi (thresher). Perpaduan sistem pertanian tradisional dan modern tampak begitu apik dipandang mata.

Gambaran di atas menunjukkan perkembangan yang terjadi di sektor pertanian saat ini. Sektor tersebut masih memiliki peran strategis dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan pasar ekspor. Seiring dengan adanya transformasi struktural, sektor pertanian di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Peningkatan produktivitas dan diversifikasi produk pertanian, penggunaan teknologi modern, pengembangan bibit yang unggul, dan peningkatan nilai tambah produk pertanian merupakan beberapa perkembangan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. 

 

Kesejahteraan petani

Meskipun begitu, perkembangan yang terbilang positif tersebut tampaknya belum terlalu berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan petani. Banyak permasalahan dan tantangan yang perlu diantisipasi, seperti perubahan pola konsumsi masyarakat, perubahan iklim, serta masalah sosial ekonomi lainnya. Kesejahteraan petani menjadi penting karena sektor pertanian masih menjadi sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 35-40 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Jumlah itu porsinya sekitar 30% dari total penduduk yang bekerja.

Indikator kesejahteraan petani tidak hanya dilihat dari aspek pendapatan, tetapi juga dari aspek lainnya, seperti akses terhadap sumber daya ekonomi serta layanan kesehatan dan pendidikan. Permasalahan kompleks sering kali menghalangi perwujudan kesejahteraan petani. Di antaranya, ketidakpastian atau rendahnya harga komoditas pertanian, keterbatasan akses terhadap pembiayaan dan teknologi, serta kebijakan pendukung sektor pertanian dan petani yang masih minim dari sisi kualitas dan keberlanjutannya. 

Upaya peningkatan kualitas dan produktivitas pertanian dengan membuka akses terhadap teknologi, pembiayaan, dan pelatihan masih perlu dilakukan dan dijaga keberlanjutannya. Sementara itu, pembangunan infrastruktur pertanian juga perlu dievaluasi secara berkala terkait efektivitasnya. Dari aspek harga produk pertanian dan rantai pasoknya, perlu adanya pengembangan pasar agar sektor tersebut lebih berdaya saing. Yang tidak kalah penting ialah terkait aspek sosial ekonomi yang perlu diperbaiki, seperti akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, kesetaraan gender dalam pengelolaan pertanian, serta tingkat partisipasi petani dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan pertanian.

 

Populisme ekonomi kerakyatan

Pembahasan terkait kesejahteraan petani sepertinya tidak dapat terlepas dari semangat ekonomi kerakyatan yang sering kali digaungkan sebagai kunci mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi kerakyatan selalu menjadi topik yang populer dalam diskusi ekonomi politik di Indonesia, khususnya menjelang pesta demokrasi atau pemilu. Banyak politikus yang menyoroti pentingnya mengembangkan ekonomi kerakyatan. Namun, ekonomi kerakyatan yang dimaksud tampaknya masih dibayangi populisme, dari konsep hingga implementasinya.

Populisme ekonomi kerakyatan ialah gagasan memperkuat ekonomi masyarakat dan mempromosikan pengembangan sektor yang dekat dengan masyarakat, khususnya sektor pertanian. Gagasan itu berusaha meningkatkan akses dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan ekonomi. Populisme ekonomi kerakyatan memandang bahwa kesejahteraan sosial tidak dapat dicapai hanya dengan mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga bersifat inklusif dengan menciptakan lapangan kerja yang layak dan mengurangi ketimpangan ekonomi.

Di era pemerintahan Joko Widodo, populisme ekonomi kerakyatan ditekankan dalam konsep Nawacita pada periode 2014-2019. Salah satu fokus Nawacita ialah memperkuat ekonomi kerakyatan dengan meluncurkan program seperti kredit usaha rakyat dan desa mandiri. Kredit usaha rakyat memberikan akses pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah, termasuk di sektor pertanian. Sementara itu, desa mandiri mendorong desa-desa untuk mengembangkan potensinya. Pertanyaannya ialah seberapa efektifkah program-program yang mengusung ekonomi kerakyatan tersebut dalam menyejahterakaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di sektor pertanian.

 

Langkah ke depan

Populisme ekonomi kerakyatan menjadi sorotankarena masih adanya mispersepsi yang perlu diluruskan. Salah satunya ialah kecenderungan melihat ekonomi kerakyatan sebagai alternatif yang lebih baik dari ekonomi pasar. Padahal, pasar justru sangat berperan dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan.

Selain itu, kebijakan yang didasarkan atas populisme ekonomi kerakyatan memiliki risiko jika pemangku kepentingan, khususnya pemerintah, tidak mampu menjalankan kebijakan ekonomi secara tepat. Karut-marut program bantuan subsidi pertanian yang rentan terjadi penyalahgunaan serta kebijakan proteksionisme yang pada akhirnya membatasi akses pasar dan memicu gejolak harga pangan merupakan beberapa kondisi yang perlu diwaspadai. 

Pada akhirnya tahun politik menuju pergantian kepemimpinan nasional 2024 perlu dijadikan momentum bagi masyarakat, khususnya masyarakat di sektor pertanian, untuk belajar dari apa yang pernah mereka alami dan rasakan selama rezim pemerintahan terdahulu. 

Jangan sampai terbuai dengan calon pemimpin yang senang mengumbar janji pada masa kampanye dan memiliki rekam jejak yang gemar menawarkan kebijakan ekonomi yang populis yang biasanya hanya sebatas gimik belaka demi menjaga popularitas. 

Idealnya, implementasi ekonomi kerakyatan mampu membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Petani, buruh tani, nelayan, pedagang, pengusaha, dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia harus dipastikan terjamin kesejahteraannya dan memperoleh akses yang lebih baik terkait pembiayaan, teknologi, pelatihan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta pelayanan sosial ekonomi lainnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya