Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
UNTUK apa kita mudik? Sekadar tren tiap tahun pulang kampung atau mudik, bermohon doa restu orang terdekat khususnya orangtua, kemudian mengupdate suntikan psikologis atas salah dan kurang kita selama ini dengan praktik ujung atau saling minta dan memberi maaf, atau implementasi politik balas budi, selayaknya ingin membahagiakan ayah ibu atau balas jasa kepada desa yang telah memberi daya hidup?
Bekerja di luar daerah atau di kota-kota besar acap disebut perantau (boro) yang tak pernah mudik, hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat desa asalnya. Karena mereka tak bisa berbagi kisah kala musim Lebaran tiba. Saat para perantau bisa pulang, menempuh terjalnya perjalanan hingga kampung halamannya menjadi kemenangan yang tidak saja bagi diri perantau tapi telah menjadi kemenangan seluruh warga desa.
Bagi perantau yang berkantong tebal, mudik tidak menjadi masalah. Menjadi persoalan ketika sudah tahunan merantau tapi kesulitan biaya untuk pulang kampung. Maka kemudian, meskipun dengan cara pinjam dana secara online, pinjam kawan, pinjam di koperasi atau bank konvensional ditempuh, asal bisa kembali ke desa dan berkumpul keluarga raya.
Memang menjadi perantau itu tak gampang dan tidak ringan. Bagaimana tidak? Perantau itu sudah pasti menjadi segenap tumpuan harapan. Menjadi orang sukses, mapan, punya jabatan, memiliki usaha dan bisa menarik kerabatnya untuk bekerja di Kota, dan sebagainya. Pendeknya perantau itu saat mudik di kampung harus baper (membawa perubahan) bagi warga desa, memberi daya hidup bagi desa.
Sedikitnya bisa menjadi mentor bagi kawan-kawan di desa untuk punya mental baja dalam merintis usaha, optimistis, semangat dan tetap mencintai dan merasa memiliki desa. Perubahan-perubahan itu adalah ragam nilai produktif, seperti dari individu ke gotong royong, konsumtif ke produktif, malas ke rajin, konvensional ke digital, dari buruh menjadi bos, sekaligus kebangkitan ekonomi desa, dan seterusnya.
Pertama, transfer of knowledge. Salah satu kelemahan desa kita selama ini adalah miskinnya pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap juga teknologi. Itulah kemudian menjadi tugas dan kewajiban bagi pemudik yang telah moncer di kota dengan segala profesi dan usaha maupun bisnisnya sangat dinanti kerja-kerja invisible hand, dengan melakukan transfer of knowledge dalam aspek luas.
Barangkali ada tips-tips jitu dalam politik dagang. Mudik itu bukan zamannya pamer harta dan kemewahan, tapi mesti pamer kreasi dan inovasi atas kebaruan pemikiran, teknik dan matematika kehidupan. Dilarang patah arang, berjejaring menjadi lagu wajib dalam domain strategis ini.
Kedua, membeli produk UMKM desa. Membalik desa dari kemiskinan dan kemurungan menjadi desa yang berdikari dan berani mengambil keputusan untuk mengubah nasib serta masa depannya. Jawa Tengah masih ditempa dengan 17 daerah dengan kemiskinan ekstremnya. Salah satu hal bisa dan layak dilakukan dengan cara para pemudik membeli aneka produk UMKM desa, produk BUMDes, produk lokal.
Nampaknya desa bisa membuat semacam edaran imbauan dan atau ajakan kepada warga yang mudik untuk membelanjakan, nglarisi produk tetangga, produk lokal setempat. Praktiknya, bisa melalui berbelanja di warung-warung kampung, bazar desa, pameran produk desa, kuliner desa, suvenir desa, wisata desa, home stay desa, dan lainnya.
Ketiga, menjadi marketing desa. Setelah menularkan virus pengetahuan dan skill, belanja produk UMKM desa, tiba saatnya pemudik juga turut terlibat dan turun tangan menjadi marketing desa. Era digitalisasi, segala potensi dan keunikan desa bisa kita pasarkan. Viralkan dengan aneka agenda event budaya, misalnya atau pembuatan vido pendek maupun film-film dokumenter yang menarik orang datang, singgah dan belanja di desa. Pemudik bisa membantu bikin akun medsos misalnya instagram untuk marketing desa, sekaligus menularkan virus positif kewirausahaan.
Keempat, kolaborasi asosiasi dan diaspora desa. Agar tidak berat dan ada temannya, maka penting dilakukan kolaborasi asosiasi perantau di seluruh Indonesia maupun asosiasi diaspora desa di luar negeri. Harapannya, perdesaan kita semakin maju dan sejahtera. Termasuk kontribusi APDESI, PAPDESI, dan sebagainya. Maka kemudian, mudik bisa menjadi space yang memastikan berkelanjutannya pembangunan di desa, sekurangnya lewat pasokan dana bantuan yang mengalir dari para pemudik.
Terakhir, crazy rich, kenapa tidak? Kisah dan kiprah crazy rich yang bermuasal dari desa kemudian hidup kaya di kota tak sedikit. Crazy rich itu ada pada Joko Suranto, pengusaha properti asal Grobogan yang telah memperbaiki jalan desanya yang rusak. Bahkan ia menggelontorkan dana pribadi sebesar Rp2,8 miliar untuk membangun kembali jalanan tersebut. Inilah kiprah intelektual profetik.
Yang juga penting kemudian, jangan sampai pemudik ini membawa pengaruh buruk bagi kaum muda desa, seperti narkoba, radikalisme maupun praktik ekonomi underground lainnya. Jangan sampai juga pemudik ini mengeklaim dirinya paling berjasa dan tertinggi kelasnya.
Itulah bagian suka sedih, cita-cita maupun mimpi desa dan pemudik. Mudik, sudah saatnya kembali ke desa, tiba waktunya membangun desa dan momentum kebangkitan ekonomi desa. Mari kita gotong royong, membuat desa tetap bersenyum, berspirit, berpengharapan tanpa berair mata. Inilah, bagian cara kita merawat nasib dan masa depan desa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved