Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Proses Perdamaian Kolombia

Lathifa Al Anshori Mediator
16/7/2016 00:20
Proses Perdamaian Kolombia
(AFP/ Javier Cassela)

TANPA banyak diketahui masyarakat Indonesia, negara Kolombia sedang dalam proses perdamaian pascakonflik antara pemerintah dan kelompok gerilya selama lebih dari setengah abad. Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia/FARC) memulai perlawanan pada 1964 untuk menjatuhkan pemerintahan Kolombia demi menerapkan ideologi marxisme. Amerika Serikat memasukkan FARC ke list teroris mereka. Pergerakan itu dimulai karena masalah manajemen tanah dan sumber daya alam di Kolombia. FARC ialah gerakan pemberontakan tertua dan terbesar di Amerika Selatan sekaligus salah satu grup teroris terkaya sejauh ini. FARC menggunakan perdagangan narkotika dan penculikan untuk membiayai pergerakan mereka selama lebih dari 50 tahun.

Berita baiknya, sejak November 2012, pemerintah Kolombia dan FARC memulai pembicaraan untuk proses perdamaian yang memberikan harapan kepada seluruh rakyat Kolombia. Semestinya, pemerintah Kolombia dan FARC sudah menandatangani dokumen perjanjian perdamaian final pada 23 Maret 2016 lalu. Namun, pembicaraan mengenai korban konflik memakan waktu yang lebih banyak di pihak FARC untuk akhirnya menentukan posisi. Selama konflik, 220 ribu orang tewas dan 80% ialah warga sipil. Lebih dari tujuh juta warga Kolombia telah terdaftar di Unit Korban yang diorganisasi negara.
Total korban itu tidak hanya disebabkan FARC, tetapi juga oleh gerakan paramiliter yang semula dibentuk untuk melawan FARC tiga dekade lalu. Presiden Juan Manuel Santos tidak ingin memburu deadline karena tidak ingin menandatangani perjanjian perdamaian yang tidak matang.

Beberapa aktor penting dalam proses perdamaian itu ialah Ekuador, Venezuela, Cile, Brasil, Kuba, dan Norwegia yang berperan sebagai penjamin perdamaian. Pembicaraan yang dilakukan di Kota Havana, Kuba, telah mengerucut ke beberapa poin akhir yang akan ditandatangani 20 Juli 2016 mendatang. Kolombia sedang menyongsong era baru dalam sejarah modern mereka. Pihak Presiden Juan Manuel Santos dan FARC menegosiasikan empat perkara utama, yaitu reformasi agraria, partisipasi politik, perdagangan narkotika, dan transisi hukum. Reformasi agraria difokuskan pada perkembangan sosio-ekonomi kepada petani-petani miskin di daerah terpencil. Pascaperjanjian perdamaian ditandatangani, FARC menginginkan hak partisipasi di kancah politik Kolombia.

Kedua pihak juga menyetujui untuk mengeliminasi produksi dan perdagangan narkotika illegal. Proses transisi hukum difokuskan pada pemberian amnesti kepada pemberontak, kecuali mereka yang telah melakukan kejahatan kriminal berat.
Selain itu, poin-poin terakhir yang dibicarakan ialah gencatan senjata bilateral sekaligus penyerahan senjata berapi oleh gerilyawan ke pihak negara. Kondisi damai ialah hal esensial untuk membawa sebuah negara lebih maju. Tercapainya perjanjian damai antara pemerintah Kolombia dan FARC sangatlah penting untuk rakyat Kolombia demi mengakhiri perang berkepanjangan yang memakan ratusan ribu korban, jutaan pengungsi, dan kesedihan juga trauma warga Kolombia karena kehilangan sanak saudara mereka karena diculik pemberontak.

Dalam proses perdamaian itu, sudah ada beberapa gerakan yang dilakukan untuk menunjang perkembangan sosial dan ekonomi Kolombia. Pada 15 Mei 2016, FARC setuju untuk membebaskan tentara anak-anak dari tahanan pemberontak. Proses itu akan dikawal UNICEF. Kemudian 10 Juni lalu, FARC setuju untuk melakukan substitusi penanaman tumbuhan koka (bahan dasar kokain) dengan tanaman alternatif seperti kopi dan markisa. Proyek yang melibatkan 450 keluarga di Briceno itu dijadwalkan untuk dimulai pada 10 Juli 2016. Perjalanan proses perdamaian di Havana itu tidaklah juga mulus. Mantan Presiden Kolombia Alvaro Uribe mengumpulkan tanda tangan masyarakat untuk membatalkan referendum Kolombia yang akan menjadi fondasi perjanjian perdamaian tersebut. Pihak Uribe berargumentasi bahwa meskipun warga Kolombia menginginkan perdamaian, mereka tidak ingin FARC bebas begitu saja.

Apabila perjanjian perdamaian itu tidak tercapai, Kolombia kembali ke titik nol di saat negara itu harus melanjutkan konflik bersenjata yang telah berlangsung selama lima dekade terakhir, yang mana itu juga berarti berlanjutnya produksi dan perdagangan narkotika illegal. Selain FARC, ada beberapa kelompok bersenjata lain di Kolombia. Tentara Pembebasan Nasional (Ejercito de Liberacion Nacional/ELN) ialah grup sayap kiri yang dibentuk pada 1964. Grup itu telah bergabung dalam pembicaraan perdamaian dengan pemerintah Kolombia setelah mereka melepaskan seorang tawanan berkewarganegaraan Kanada, yang berprofesi sebagai eksekutif di perusahaan pertambangan, pada Agustus 2013--sembilan bulan setelah FARC setuju untuk berunding di meja damai. Pasukan Pertahanan Diri Kolombia Bersatu (Autodefensas Unidas de Colombia/AUC) muncul pada 1997 sebagai suatu kesatuan yang melawan penculikan dan penyiksaan.

AUC berakar pada grup paramiliter yang diinisiasi mafia narkoba pada 80-an. Kelompok kriminal lain ialah kelompok-kelompok baru yang menjadi ancaman baru bagi keamanan Kolombia. Kelompok itu tidak memiliki agenda politik, memproduksi kokain, dan menyelundupkannya dengan kekerasan. Namun, perdamaian di Kolombia tidak serta-merta terjamin dengan ditandatanganinya pakta damai tersebut. Agar sustainable, ada banyak pekerjaan rumah yang perlu Kolombia lakukan pascakonflik terlama di sejarah modern Amerika Selatan itu. Kolombia perlu merancang proses rekonsiliasi dan rekonstruksi pascakonflik yang realistis dan terukur agar demobilisasi pejuang gerilya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sipil. Di masa depan, isu gender mungkin akan timbul ke permukaan karena belum adanya poin tentang hak dan peran perempuan di Kolombia.

Cepat atau lambat, pemerintah Kolombia harus memberikan peran lebih kepada perempuan di sektor-sektor selain domestik.
Mengetahui adanya konflik setengah abad di belahan dunia lain ini sebaiknya membuat kita, sebagai warga Indonesia, menyadari bahwa konflik tidak hanya sedang terjadi di Suriah dan Yaman, tetapi juga di negara Amerika Latin seperti Kolombia. Sebagai masyarakat yang pernah mengalami hal yang mirip dengan Kolombia ketika pemerintah Indonesia berkonflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada baiknya bila kita memberikan moral support kepada masyarakat Kolombia yang sedang menyongsong perjanjian perdamaian.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya