DUA fraksi DPR, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS, menyatakan penolakan terhadap Perppu No 02 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang baru saja diluncurkan pemerintah. Ada banyak alasan yang mendasari penolakan tersebut, antara lain ketiadaan ruang bagi partisipasi publik dalam proses kelahirannya.
Meski dengan alasan berbeda, kelompok masyarakat sipil, akademisi, buruh, praktisi hukum, dan masih banyak lagi menyatakan sikap serupa. Bagi mereka, Perppu Cipta Kerja merupakan kado pahit yang membuat tahun 2023 terasa semakin suram. Pemerintah dinilai kurang memiliki sensitivitas terhadap kegetiran nasib rakyat. Sebaliknya, Perppu Cipta Kerja dinilai menjadi ‘karpet merah’ bagi kelompok elite, terutama pemilik modal, dalam mengembangkan gurita bisnisnya.
Penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Proses penyusunan undang-undang yang terkesan terburu-buru, dengan mengabaikan partisipasi publik, menjadi landasan MK untuk menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Tambahan lagi, saat penyusunannya, begitu sulit bagi publik untuk mengakses berbagai konten sehingga ruang partisipasi terkunci rapat.
Mudah dipahami jika kini beberapa pihak mengajukan uji formil dan materiel terhadap Perppu Cipta Kerja. Tulisan ini hendak mendiskusikan secara khusus pentingnya partisipasi sebagai inti dari demokrasi.
Substansi, bukan aksesori
Putusan MK terkait UU Cipta Kerja mengejutkan banyak pihak. Yang baru dari putusan ini ialah penegasan bahwa partisipasi merupakan isu penting bahkan substansi, bukan sekadar aksesori. Partisipasi rakyat yang konkret, langsung, dan intensif menjadi napas demokrasi. Di sinilah pengakuan paling konkret atas daulat rakyat. Atas dasar itu, partisipasi harus dijalankan secara bersungguh-sungguh dan konsisten.
Sulit diingkari bahwa UU Cipta Kerja tidak dipersiapkan dengan baik. Dalam laporan yang disampaikan Ketua Badan Legislasi DPR Suparman Andi Agtas, UU Cipta Kerja disahkan setelah melalui 64 kali pembahasan di DPR. Perinciannya ialah 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus.
Terlihat di sini tidak ada laporan terkait partisipasi publik. Kalaupun dibuat, biasanya sekadar formalitas. Ini menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja dibuat semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan elite. Hal itu terkonfirmasi dalam berbagai survei yang memperlihatkan bahwa pada umumnya rakyat merasa aspirasinya tidak terwakili dalam undang-undang ini.
Pentingnya partisipasi diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peundang-undangan (UUP3). Pasal 96 undang-undang ini menyatakan bahwa (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi, dsb.
Soal partisipasi juga diatur secara jelas dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 3 undang-undang ini menyatakan bahwa tujuan undang-undang ini ialah: (a) menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik; (b) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Selanjutnya, (c) meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik, dan (d) mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan. Juga, (e) mengetahui alasan pembuatan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.
Berbagai ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah dan DPR telah menyiapkan kerangka hukum yang menggaransi lahirnya kebijakan yang benar-benar berakar pada aspirasi rakyat. Untuk itu, partisipasi tidak boleh diabaikan, melainkan mesti dijalankan secara konsisten dan ditumbuhkan sebagai budaya yang mampu merawat dan memperkuat demokrasi di masa depan.
Melawan otoritarianisme
Demokrasi memang bukan sistem terbaik, apalagi sebagai solusi instan untuk berbagai persoalan kebangsaan. Filsuf besar Socrates, misalnya, cenderung menolak demokrasi karena sistem ini memungkinkan sebuah negara dipimpin orang-orang dungu. Dasar pilihan rakyat biasanya didorong oleh faktor kesukaan karena kesamaan suku, agama, budaya, penetrasi modal, atau tampilan fisik. Sialnya, orang yang disukai dan dipilih rakyat tidak selalu sosok yang memiliki ketajaman dan keluasan pengetahuan sehingga mampu mengubah nasib rakyat.
Kritikan ini tak sepenuhnya valid untuk era modern. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, merupakan salah satu pembela sekaligus penganjur demokrasi. Dalam sebuah wawancara dengan Nihon Keizei pada 1997, Sen dengan yakin mengatakan bahwa peristiwa terpenting abad ke-20 ialah demokrasi. Baginya, demokrasi memang bukan sistem terbaik (the best), tetapi dapat dipastikan sebagai (the least bad) alias yang paling sedikit buruknya (Kleden, 2001).
Pendirian Sen didasarkan pada dua hal. Pertama, demokrasi memberi ruang bagi aktualisasi kebebasan secara luas. Pada derajat kecerdasan tertentu, rakyat yang dewasa akan mampu mengambil prakarsanya sendiri. Titik pijak demokrasi ialah kehendak kolektif yang terungkap melalui bentuk-bentuk komunikasi rasional dan berkualitas.
Kedua, demokrasi mendorong lahirnya proses yang lebih terbuka, yang memungkinkan rakyat mengetahui secara dini dan ikut merumuskan kebijakan publik. Implikasinya, ruang pengambilan keputusan harus dibuka luas. Tak boleh lagi ada individu atau kelompok yang mendominasi, apalagi menentukan keputusan di ruang-ruang gelap yang membuat demokrasi tersandera.
Pada titik ini, keluarnya Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah tanpa melalui proses publik yang terbuka patut dipersoalkan. Mengabaikan partisipasi publik merupakan embrio otoritarianisme, sesuatu yang harus dilawan. Selain menegakkan dominasi elite, otoritarianisme juga meniscayakan tumbangnya rakyat sebagai tumbal kemajuan.