Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Konspirasi Penundaan Pemilu?

Khairul Fahmi, Dosen Departemen HTN, Fakultas Hukum, Universitas Andalas
03/3/2023 05:00
Konspirasi Penundaan Pemilu?
(MI/Seno)

SECARA mengejutkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum KPU sebagai tergugat dalam perkara No 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst untuk menunda pelaksanaan tahapan Pemilu 2024. Tepatnya, amar putusan tersebut berbunyi, ‘Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan, dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari’.

Sebuah putusan yang aneh sekaligus ajaib. Aneh karena masalah yang diperiksa dan diputus ialah terkait sengketa proses pemilu, tapi justru diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri (PN). Ajaib, karena objek yang dipersoalkan ialah perbuatan melawan hukum, tapi putusannya justru menunda pemilu.

Entah karena dangkal pemahaman perihal hukum pemilu, atau karena ada intervensi kelompok politik terhadap hakim, yang pasti putusan tersebut merupakan putusan lembaga peradilan yang amat jelek di era ini.

Sebelum ini, juga pernah muncul putusan peradilan dalam ranah pemilu dan pilkada yang sedikit aneh. Namun, hal itu dapat dimaklumi karena ia tidak sampai mengganggu kerangka konstitusional pemilu yang termuat dalam UUD 1945. Adapun putusan PN Jakarta Pusat ini jelas-jelas telah mengangkangi kerangka konstitusional periode penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Jika putusan ini dipelajari secara saksama, terdapat setidaknya tiga kekeliruan hakim dalam memosisikan dirinya dan menilai pokok perkara, yaitu kekeliruan menilai wewenang mengadili, kekeliruan menempatkan konsep perbuatan melawan hukum, dan kekeliruan dalam memutus penundaan pemilu.

 

Masalah wewenang mengadili

Dalam Putusan No 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst dapat dibaca bahwa KPU sebagai tergugat mengajukan eksepsi terkait kewenangan mengadili PN Jakarta Pusat. KPU mendalilkan bahwa objek gugatan yang diajukan merupakan bagian dari objek sengketa proses pemilu sehingga Bawaslu dan PTUN yang harusnya memiliki wewenang untuk memeriksa dan mengadili, bukan PN. Hanya saja, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menolak eksepsi tersebut. Tidak begitu jelas apa alasan penolakan itu karena tidak diuraikan kembali dalam putusan pokok perkara.

Penolakan atas eksepsi wewenang mengadili ini sudah patut jadi petunjuk bagaimana kualitas pemahaman majelis hakim terhadap objek perkara yang diperiksanya. Sesuatu yang secara pasti sudah diatur UU tentang siapa badan peradilan yang berwenang mengadili ditabrak begitu saja. Bila dibaca putusan tersebut, berkali-kali majelis hakim merujuk pada ketentuan UU No 7/2017, tetapi berkali-kali pula terlihat betapa hakim tidak memahami dengan baik ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang sengketa proses pemilu dalam UU Pemilu itu.

Kekeliruan dimaksud lebih jauh juga terkonfirmasi ketika hakim menilai perbuatan melawan hukum yang dituduhkan kepada KPU. Majelis hakim terlihat juga merumuskannya secara serampangan. Sangat mudah menjelaskan pernyataan ini. Pertama, subjek yang digugat dalam gugatan ini ialah institusi KPU, bukan perorangan ketua dan anggota KPU dalam kapasitas pribadi masing-masing.

Dengan demikian, yang menjadi subjek tergugat ialah KPU sebagai lembaga negara. Pada bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim pun menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum yang menjadi objek gugatan ialah perbuatan KPU dalam melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen persyaratan perbaikan parpol calon peserta pemilu. Jika demikian, kenapa yang dirumuskan bukannya perbuatan melawan hukum oleh penguasa?

Kedua, ketentuan Pasal 1356 KUH Perdata dengan segala unsur perbuatan melawan hukum yang diatur di dalamnya tidak ditempatkan sesuai konteks subjek yang menjadi tergugat. Karena yang menjadi tergugat ialah KPU sebagai lembaga negara, maka keputusan atau perbuatan KPU masuk kategori sebagai perbuatan hukum penguasa.

Jika dalam perbuatan hukum penguasa terdapat penyalahgunaan, badan peradilan yang berwenang memeriksa dan mengadili ialah PTUN, bukan PN. Hal itu juga telah ditegaskan dalam Peraturan MA No 2/2019, yang menyatakan bahwa perkara perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara. Lalu, kenapa hakim PN Jakarta Pusat sama sekali tidak mengindahkan hal itu, dan justru menilai diri berwenang untuk mengadili perkara yang bukan menjadi wewenangnya itu?

 

Perintah menunda pemilu

Setelah KPU dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, lembaga penyelenggara pemilu itu pun dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu. Sebuah amar putusan peradilan yang sangat menyedihkan. Hanya dalam kapasitas sebagai majelis hakim tingkat pertama, mereka begitu berani mengeluarkan perintah yang isinya menentang konstitusi.

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sesuai periodesasi pemilu, maka pemilu wajib dilaksanakan pada 2024. Jika perintah PN Jakarta Pusat ini dilaksanakan, sudah pasti langkah tersebut akan melanggar konstitusi.

Sebagaimana diberitakan, KPU telah menyatakan banding atas putusan itu. Pengadilan banding mesti melakukan evaluasi terhadap putusan ini, terutama mengenai wewenang mengadili dan perintah penundaan pemilu. Dalam proses ini sudah seyogianya pula MA mengawasi. MA jangan sampai lengah karena putusan aneh yang bertentangan dengan Perma dan UUD 1945 ini akan dapat menimbulkan kekacauan luar biasa bagi kehidupan ketatanegaraan kita.

Demikian pula dengan tahapan pemilu yang sedang berjalan, KPU tetap mesti melaksanakannya. Sebab, sama sekali tidak terdapat hambatan hukum bagi KPU untuk melanjutkan tahapan pemilu yang tengah berjalan. Bahkan, andai pun putusan ini akhirnya berkekuatan hukum tetap, sama sekali tidak ada kewajiban KPU dan siapa pun di Republik ini untuk mematuhi dan melaksanakannya.

Alasannya jelas, putusan ini bertentangan dengan konstitusi sebagai norma hukum paling tinggi, harus dikesampingkan. Selain itu, putusan seperti ini juga dapat dinilai sebagai putusan yang batal demi hukum sehingga tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya.

Sebagai catatan penutup, putusan ini seakan mengonfirmasi bahwa wacana penundaan pemilu ternyata bukanlah sekadar wacana. Namun, ia memang hendak diwujudkan. Sekalipun tidak mudah untuk membuktikan, dengan munculnya putusan aneh ini sulit untuk tidak mengatakan bahwa ia memiliki hubungan dengan konspirasi penundaan pemilu yang sudah digaungkan sebelumnya. Semoga Republik ini dilindungi Yang Mahakuasa dari segala potensi kekacauan akibat nafsu haus kuasa yang tak berbatas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya