Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mengejar Ketertinggalan Konektivitas Transportasi Publik

Ahmad Jayadi, Pranata Humas Ahli Muda Kementerian PUPRĀ 
11/2/2023 00:30
Mengejar Ketertinggalan Konektivitas Transportasi Publik
Ahmad Jayadi(Dok pribadi)

BEBERAPA waktu lalu jagat media sosial (medsos) tengah diramaikan oleh kritikan warganet dan sejumlah pengamat yang dilayangkan ke Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, terkait pembenahan transportasi publik di Bandung. Indonesia, di sejumlah kota besarnya memang tengah berbenah memperbaiki sarana transportasi publik. 

Hal itu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan kondisi transportasi publik dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang sudah jauh lebih baik, sekaligus juga sebagai upaya memecah persoalan kemacetan. 

Mobilitas yang tinggi di perkotaan menuntut tersedianya sarana transportasi umum yang handal. Mengutip pernyataan Presiden Kolombia Gustavo Francisco Petro Urrego, "Negara maju bukan tempat di mana orang miskin memiliki mobil. Negara maju adalah di mana orang kaya menggunakan transportasi umum."
 
Hal tersebut tentulah relevan karena jika dilihat di negara-negara maju, masyarakatnya mengandalkan transportasi umum sebagai moda untuk mobilisasi. Masyarakat hanya menggunakan kendaraan pribadi jika akan mengadakan perjalanan jauh atau untuk liburan bersama keluarga. Masyarakat di negara maju lebih memilih menggunakan transportasi umum karena sistem transportasi umum cepat, nyaman, bersih dan aman.

Persoalan transportasi berkaitan erat dengan pembangunan kota keberlanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Mengutip dari tulisan Kenworthy, Jeffrey R (2006) dalam bukunya yang berjudul The Eco-city: Ten Key Transport and Planning Dimensions for Sustainable City Development, dikatakan bahwa transportasi yang baik merupakan jantung dari kota keberlanjutan hingga ke tingkat global. Tentu saja hal tersebut sangat berkaitan erat, sebab dengan semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi, tentu semakin tinggi pula tingkat polusi di wilayah tersebut. 

Pembangunan transportasi massal di kota-kota besar di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak. Sistem transportasi di ibukota Jakarta sebagai cerminan bangsa Indonesia pun masih kalah dengan negara tetangga seperti Singapura yang telah membangun mass rapid transportation (MRT) sejak 1987. Bahkan itu menjadi sistem transportasi tertua kedua di Asia Tenggara setelah LRT di Filipina. Stasiun dan jalur-jalur MRT Singapura berada di bawah tanah dengan beberapa lapis tingkatan dan juga ada yang di atas  (skytrain). Selain itu memiliki sistem pelindung dari goncangan gempa dan bom, menjangkau hampir seluruh pelosok Singapura dari barat-timur hingga selatan-utara.

Indonesia bisa dibilang sangat terlambat dalam pengembangan tranportasi publik yang nyaman dan terintegrasi, yang ditandai dengan mulai beroperasinya TransJakarta yakni sebuah sistem transportasi bus rapid transit (BRT) yang beroperasi sejak 2004 di Jakarta. TransJakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibukota yang sangat padat sebagai pengganti bus Jakarta yang fenomenal yakni MetroMini dan Kopaja. 

Mengutip dari halaman web wikipedia, MetroMini diperkenalkan pada 1962 oleh Gubernur Soemarno di Jakarta atas instruksi Presiden Sukarno. Tujuan awal dioperasikannya bus ini adalah untuk kebutuhan transportasi peserta Pesta Olahraga Negara Negara Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Saat itu di Jakarta, moda transportasi massal baru beralih dari kereta listrik (trem) yang dioperasikan oleh Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) yang dihentikan di 1960. Bus pertama yang dioperasikan PPD adalah bermerek Leyland bantuan Australia pada 1956. Selain bus PPD, Jakarta tidak memiliki transportasi umum resmi, yang mana opelet adalah kendaraan angkutan massal selain bus PPD. 

Selama puluhan tahun MetroMini, Kopaja, bus PPD, dan angkot menghiasi wajah Ibu Kota dan menjadi primadona karena tarifnya yang murah. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya armada tersebut digantikan dengan TransJakarta yang lebih nyaman dan ramah lingkungan, ditambah dengan beberapa unitnya yang sudah mulai menggunakan penggerak listrik (electronic vehicle). 

Meskipun terlambat, namun Ibu Kota Jakarta terus berbenah dengan dimulainya pembangunan MRT. Rute pertamanya dari Bundaran HI-Lebak Bulus sepanjang 15,7 km mulai beroperasi sejak Maret 2019. Pembangunan MRT sebagai transportasi publik massal di tengah perkotaan Jakarta selain kereta bisa dibilang sudah sangat jauh terlambat dengan Singapura. 

Padahal ide tentang jalur kereta bawah tanah sebenarnya sudah muncul sejak masa Presiden Sukarno. Hal tersebut dapat dilihat dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 76 tahun 1964 tentang perubahan dan pemindahan lintas-lintas kereta api pengangkut barang dan penumpang dengan tujuan ke dan dari Jakarta Raya. Kemudian Keppres RI No. 77 tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Perubahan dan Pemindahan Lalu Lintas Kereta Api serta Pembangunan Jalur Kereta Bawah Tanah. Seandainya ide tersebut terealisasi sejak 50 tahun silam, mungkin transportasi publik Jakarta tidak akan kalah dari negara tetangga dan kemacetan bisa tidak separah saat ini. 

Pemerintah Pusat dalam hal mendorong peningkatan transportasi publik telah memberikan subsidi terhadap penyelenggaran transportasi umum di daerah, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum Perkotaan. Selain itu Pemerintah Pusat juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), yang menjadi acuan kerja Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Tercantum target penggunaan angkutan umum harus mencapai 60% dari total pergerakan orang. Target tersebut harus terpenuhi pada 2029.

Mengutip halaman bptj.dephub.go.id, salah satu hal yang membuat angkutan umum tidak nyaman adalah tidak adanya integrasi antarmoda. Ini membuat masyarakat harus mengeluarkan upaya ekstra, baik secara fisik maupun materi, untuk sampai ke lokasi tujuan. Kajian Kementerian Perhubungan pada 2020 juga menemukan bahwa belum terintegrasinya transportasi umum menjadi alasan tingginya penggunaan kendaraan pribadi.

Di samping itu, pembenahan transportasi umum lokal di kota-kota dalam wilayah Bodetabek yang masuk dalam Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten juga harus segera dilakukan. Layanan transportasi umum, seperti Trans Patriot (Kota Bekasi), Trans Pakuan (Kota Bogor), Trans Anggrek (Kota Tangerang Selatan) dan Trans Tangerang (Kota Tangerang). Pasalnya kota-kota satelit inilah yang menjadi penunjang kemacetan Jakarta jika para komuter masing-masing menggunakan kendaraan pribadi. 

Transportasi antarwilayah dan lokal di Bodetabek yang sehat akan menjadi model layanan baru transportasi umum  untuk mendukung Jakarta, sehingga kebijakan kepala daerah di Bodetabek membenahi transportasi umum sangat dinanti dan diharapkan.

Diharapkan dengan semakin berkembangnya transportasi publik di Jabodetabek, maka kota-kota besar lainnya dapat menjadikannya sebagai barometer. Pasalnya saat ini sejumlah kota besar di Indonesia masih hanya mengandalkan moda angkot atau bus untuk transportasi umum di dalam kotanya. 

Semua pengembangan transportasi publik yang dibahas di atas hanyalah pull factor atau upaya daya tarik sehingga angkutan umum ini bisa menarik masyarakat beralih ke kendaraan umum. Tidak kalah penting perlu adanya push policy/kebijakan mendorong masyarakat beralih ke kendaraan umum; seperti dimulai dengan kebijakan ganjil genap, rencana penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP), atau jika dimungkinkan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, dan berbagai kebijakan lainnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya