Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Kredibilitas MK untuk Pemilu 2024

Idul Rishan Pengajar Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Anggota CALS (Constitutional and Administrative Law Society)
10/2/2023 05:15
Kredibilitas MK untuk Pemilu 2024
(Ilustrasi)

TIDAK berlebihan kiranya, jika publik sampai pada satu titik persepsi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sejak medio 2020 silam, mahkamah terjebak pada pusaran politik Perubahan Ketiga Undang-Undang (UU)-MK. Tahun 2021, secara kontroversial mahkamah memutus perkara pengujian perubahan UU-MK yang substansi putusannya sarat dengan konflik kepentingan para hakim konstitusi.

Tahun 2022, DPR kemudian melakukan intervensi politik secara sepihak, dengan memberhentikan hakim Aswanto dari masa jabatannya. Tahun 2023, MK diterpa isu dugaan skandal perubahan ‘frasa’ pada salinan Putusan MK dalam perkara pengujian perubahan ketiga UU-MK.

Empat peristiwa di atas, akan berkorelasi dengan kredibilitas mahkamah di tahun 2024. Di satu sisi, MK akan mengambil andil besar dalam memeriksa dan mengadili sengketa hasil atas perhelatan Pemilu 2024. Di sisi lain, mahkamah sedang menghadapi ujian kredibilitas yang menyasar pada tiga prinsip universal kekuasaan kehakiman yaitu independensi, imparsialitas, dan akuntabilitas. Tiga prinsip utama itu, perlu diberikan garis penebalan untuk ditangani secepat mungkin, terukur dan proporsional.

 

Independensi

Dalam praktik negara-negara demokrasi yang mengadopsi peradilan konstitusi, prinsip independensi menjadi poin penting tegaknya kredibilitas MK. Isu independensi, masih menjadi ancaman terbesar mahkamah saat ini. Betapa tidak, masuknya perubahan keempat UU-MK dalam prolegnas prioritas di tahun ini, akan kembali membuka kotak pandora pelemahan independensi MK.

Kristalisasi pengaturan evaluasi jabatan hakim konstitusi di setiap lima tahun berjalan oleh masing-masing lembaga pengusul, akan dijustifikasi pada perubahan keempat UU-MK. Klausul ini, akan kembali membuka ruang yang besar bagi pemerintah dalam memberhentikan hakim-hakim konstitusi dengan alasan sepihak, laiknya pemberhentian hakim Aswanto.

Dalam kondisi demikian, peran partai politik (parpol) menjadi sangat penting untuk menjaga independensi mahkamah. Di dalam tiga tahun terakhir, parpol tidak hadir menopang independensi MK sebagai pilar penting negara hukum. Wiratraman (Mahkamah Kartel, Harian Kompas, 12 Des/22) bahkan menukilkan, bahwa minimnya keberpihakan partai atas penguatan elemen negara hukum tak dapat dipisahkan dari kekuatan politik kartel yang perlahan-lahan menyegregasi independensi MK menjadi ‘Mahkamah Kartel’.

Ada tiga hal yang dapat dilakukan terhadap bentangan empirik di atas. Pertama, mengoptimalkan peran Ketua MK dalam menjaga origanisasi mahkamah agar tidak mudah diintervensi secara politis oleh rezim. Dalam pencopotan Aswanto, sikap militansi itu yang tak terlihat dari ketua MK. Padahal, secara kelembagaan, Ketua MK memiliki posisi tawar untuk melakukan komunikasi politik kepada Presiden dan pemerintah agar menghormati kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 UUDN RI.

Kedua, parpol seharusnya bisa dituntut untuk bersikap dan berperan aktif dalam mencegah pelemahan elemen negara hukum. Pasal demi pasal dalam draf perubahan keempat UU-MK perlu disusun dengan cermat untuk memitigasi pelemahan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Upaya ini perlu dilakukan guna mencegah masuknya personalisasi kepentingan atau ‘pasal titipan’ terhadap hakim-hakim tertentu dalam UU MK.

Ketiga, penting juga untuk mengedukasi masyarakat, agar tidak memilih partai yang tidak taat terhadap supermasi konstitusi dan penguatan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Kondisi ini harus berjalan simultan agar partai-partai peserta pemilu di 2024 teridentifikasi sikap dan keberpihakannya terhadap penguatan pilar-pilar negara hukum.

 

Imparsialitas

Prinsip kedua ialah imparsialitas hakim konstitusi. Yang paling utama dari pemberlakuan prinsip ini ialah menjaga agar hakim-hakim netral, dan tidak berpihak pada kepentingan kelompok tertentu. Upaya ini penting agar tidak terjadi polarisasi ditubuh MK itu sendiri. Polarisasi atau pengutuban kerap terjadi pada peradilan konstitusi, yang mengakibatkan hakim-hakim tak dapat bersikap imparsial dalam memeriksa dan mengadili perkara.

Kita perlu mengambil pelajaran penting dari pembonsaian MK di Hungaria di bawah pemerintahan Orban. Penambahan jumlah hakim konstitusi dari 9 menjadi 15, kemudian melahirkan pengutuban yang tajam antara hakim konstitusi loyalis Orban dan hakim konstitusi oposisi Orban. Hal yang sama tentu akan juga di alami oleh MK. Proses seleksi dan pengangkatan (9) hakim konstitusi oleh masing-masing DPR-Presiden dan MA tidak boleh melahirkan pengutuban di kalangan hakim MK sendiri.

Sembilan hakim konstitusi terpilih, tidak dalam kapasitas mewakili dan mengakomodasi kepentingan lembaga pengusul. Kondisi ini, kemudian akan melahirkan pengutuban antara loyalis pemerintah dan oposisi pemerintah di MK. Logikanya, ketika hakim konstitusi terpilih telah dilantik oleh Presiden, hubungan hukum antara hakim konstitusi dan lembaga pengusul secara alamiah kemudian terputus.

Pemenuhan atas prinsip imparsial bagi hakim-hakim konstitusi hanya bisa dilakukan ,jika proses seleksi dan pengangkatannya memiliki standar definitif dan objektif dari masing-masing lembaga pengusul. Mekanisme seleksi ini, yang secara faktual masih sangat longgar bagi masing-masing lembaga pengusul. Sehingga, kerap melahirkan ‘bargain’ antara lembaga pengusul dan figur calon hakim tertentu. Perbaikan itu, setidaknya perlu dilakukan dalam draft perubahan keempat UU-MK. Terlabih dua hakim konstitusi dari unsur DPR dan MA akan memasuki usia pensiun.

 

Akuntabilitas

Prinsip yang terakhir ialah akuntabilitas. Baik secara etika dan hukum, perbuatan hukum mahkamah harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Pada poin ini, pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) guna merespons adanya dugaan pengubahan redaksi dalam salinan putusan perlu disambut baik. Upaya ini merupakan bagian integral dari prinsip akuntabilitas peradilan.

Tujuan baik ini perlu dikawal oleh publik agar MKMK dapat bekerja secara independen tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun, termasuk kelembagaan MK sendiri. Proses dan hasilnya kemudian perlu dibuka ke publik, termasuk langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan jika dugaan tersebut terbukti melanggar kode etik profesi. Ujian kredibilitas ini tentu tidak hanya berdampak pada soal kesiapan menghadapi pemilu di 2024, tetapi juga soal reputasi dan kepercayaan publik terhadap MK.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya