Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PERTANYAAN berikutnya, tentu saja ‘Siapa yang akan menang?’ Siapa di sini mencakup negara sekaligus pemain terbaik, Argentina atau Prancis dan Lionel Messi atau Kylian Mbappe. Menjadi semakin menarik karena keduanya sama-sama merumput di klub Prancis yang sama, Paris Saint-Germain (PSG).
Lusail Stadium di Qatar akan menjadi saksi serta jutaan penonton di seluruh dunia, pertarungan di antara dua filosofi sepak bola, yakni sepak bola atraktif versus sepak bola efektif. Itu secara kategoris berdasar pada pandangan, sepak bola Eropa lebih berhaluan efektivitas ketika sepak bola Amerika Latin berhaluan atraktif.
Pergeseran filosofi
Namun, interaksi puluhan tahun, terutama dengan ratusan atau bahkan ribuan pemain Amerika Latin merumput di liga-liga Eropa, telah terjadi ragam pergeseran. Ditambah lagi, sejak teknologi media—terutama televisi—dan kini teknologi informasi, telah memungkinkan akses timbal balik antartradisi sepak bola.
Orientasi efektivitas secara perlahan mengalahkan orientasi attractiveness, sesuatu yang sering kali disayangkan pecandu sepak bola. Itu karena pertandingan sepak bola, bagaimanapun pada akhirnya ialah soal menang-kalah. Dalam kemenangan terdapat insentif-insentif: piala, hadiah uang, bonus, popularitas, kue iklan, dan seterusnya. Percuma ‘main indah’ kalau tidak menang, demikian ungkapan yang sering kita dengar.
Salah satu contoh paling jelas, bagaimana Dunga menangani tim Brasil, sebelum digantikan Tite. Secara tegas (dan mungkin keras) dia memastikan efektivitas tim yang dibuktikan dengan kemenangan ialah hal utama. Fokusnya ialah permainan tim yang efektif, bukan aksi tarian individual. Sebagai pelatih dia berhasil membawa Brasil memenangi Copa America 2007 dan Piala Konfederasi FIFA 2009, tetapi gagal dalam Piala Dunia 2010.
Di sisi lain, orientasi efektivitas tim-tim Eropa semakin diperkaya dan dibuat menarik oleh tradisi sepak bola Amerika Latin, dan belakangan oleh tarian-tarian pemain yang berdarah Afrika. Klub-klub sepak bola Eropa menjadi warna-warni sehingga menjadi lebih enak ditonton dan tentu saja lebih marketable.
Fenomena yang paralel dengan ini ialah bagaimana tim-tim negara Eropa dalam Piala Dunia juga berubah. Tim-tim Eropa, yang memenangi Piala Dunia dalam tiga dekade belakangan ini—Italia, Jerman, Spanyol, dan Prancis—juga tim-tim yang belum berhasil seperti Belanda, Belgia, Swiss, dan Swedia, diisi beberapa atau bahkan banyak pemain yang tidak lagi murni berdarah Eropa.
Selain keatraktifan yang bersumber dari latar belakang tradisi sepak bola ataupun kultur mereka, para pemain itu juga membawa passion, kegairahan hidup, dan bermain baru, sekaligus bumbu-bumbu sosiokultural. Dalam kacamata industri sepak bola, semua ini menjadi ramuan yang dikelola atau diolah sehingga sepak bola tetap menjadi olahraga yang paling banyak diminati dan ditonton di seluruh dunia.
Argentina
Bagaimana dengan Argentina, sebagai representasi sepak bola Amerika Latin? Mereka pada dasarnya juga sudah mengalami pergeseran atau pengayaan filosofi. Seperti halnya Brasil, efektivitas telah menjadi orientasi yang tak bisa ditawar. Namun, dalam darah para pemain mereka tetap mengalir sepak bola sebagai seni, sebagai kultur yang berdasar keindahan.
Evolusi permainan Argentina dalam satu dekade ini sebagai contoh, menunjukkan hal ini. Pertama-tama kita bisa melihat bagaimana mereka memenangi Copa America 2021 di Brasil. Selanjutnya, kita bisa mengamati bagaimana mereka memenangi pertandingan demi pertandingan setelah sempat keok di tangan Arab Saudi di pertandingan awal babak penyisihan.
Dengan pola bermain 4-4-2, barisan pertahanan, tengah, dan depan bekerja rapi dan simultan. Dalam pertandingan terakhir melawan Kroasia, kerja sama tim yang kukuh dan efektif menjadi kunci. Kroasia, yang berhasil menahan Brasil di perempat final dengan bermain efektif, gagal mengulangi kesuksesan mereka karena berhadapan dengan soliditas dari lini ke lini Argentina. Dalam pola dan ritme berbasis soliditas itu, serangan-serangan yang dilakukan mengurangi risiko mendapat serangan balik.
Kemampuan individual dalam menguasai bola dan menyerang menjadi kunci berikutnya. Argentina, dari waktu ke waktu selalu memiliki pemain tengah dan penyerang yang efektif sekaligus atraktif. Sedikit kesempatan lebih saja dalam bermanuver akan menjadi kesempatan emas untuk menyarangkan gol bagi para penyerangnya. Dalam hal ini, sejauh pemain tengah atau bahkan pemain belakang jeli melihat atau kreatif membuka peluang, striker seperti Messi Atau Alvarez akan mudah memanfaatkannya.
Oleh karena itu, sejauh soliditas lini per lini berhasil dibangun dan dipertahankan Argentina, yang tidak perlu diragukan lagi kemampuan individual pemainnya, mereka akan bisa paling kurang menahan gempuran Prancis.
Prancis
Seperti disampaikan di atas tentang evolusi sepak bola Eropa, Prancis ialah salah satu contoh paling sahih tentang keberhasilan filosofi eklektik dalam sepak bola. Negara yang bangga sekali dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite ini, seolah juga berhasil menerapkannya dalam sepak bola.
Tarian para pemain yang berlatar multiras dan kultural dipadu dengan sepak bola efektif ala Eropa, telah melahirkan sepak bola khas yang membuat mereka menang dalam Piala Dunia pertama kali pada 1998, nyaris mengulangi lagi pada 2006, dan menang kedua kalinya pada 2018. Apa yang dicapai Zinedine Zidane dan kawan-kawan menjadi salah satu representasi yang tak terbantahkan dalam hal itu.
Menghadapi Argentina di final Piala Dunia pada Minggu, 18 Desember, Didier Deschamps tentu punya ambisi menjadi seorang pemain sekaligus pelatih yang mampu meraih piala. Secara strategi, dengan melihat permainan Prancis di sepanjang Piala Dunia 2022 ini, Argentina terutama perlu mewaspadai keterorganisasian dan konsistensi permainan tim Eropa itu.
Untuk mencuri dan kemudian menambah gol, Prancis kemungkinan besar akan memanfaatkan kelengahan atau kesalahan pemain tengah dan belakang Argentina, terutama ketika mereka asyik menyerang. Meskipun serangan yang rapi dan terukur juga akan menjadi alternatif Prancis, mengingat komposisi pemain mereka yang juga bagus.
Terakhir, kecerdasan dan kematangan emosional pemain kedua tim akan menjadi penentu. Selain perkara mengatasi tekanan untuk menang, egosentrisme pemain bintang berpeluang menjadi bumerang. Baik bagi Argentina maupun Prancis, potensi blunder emosional itu menurut saya sama besarnya sehingga kejelian pelatih dan kepala dingin kapten tim akan menjadi salah satu faktor penentu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved