Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
DI negara dengan tingkat literasi yang masih rendah seperti Indonesia, kita harus sangat hati-hati membaca segala berita tentang SARA. Fabrikasi informasi mengenai SARA, terutama ketika ia mendompleng event-event besar sering kali meleset, menyesatkan, dan berbahaya.
Seperti saat ini, ketika ramai berita berseliweran mengatakan bahwa Piala Dunia Qatar telah digunakan sebagai media dakwah agama tertentu. Informasi seperti ini, dalam skala tertentu dapat mengganggu pesan persatuan, toleransi, dan inklusifitas yang justru ingin dikirim Qatar kepada masyarakat dunia.
Bukan piala dunia biasa
Qatar, ialah negara Arab dan muslim pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sejak awal terpilih, Qatar ingin membuktikan kepada dunia bahwa negara Arab dan muslim mampu menyelenggarakan event sekaliber Piala Dunia. Tidak hanya Piala Dunia, Qatar juga berambisi menjadi ibu kota olahraga dunia. Oleh karena itu, bagi Qatar, Piala Dunia bukanlah akhir, ia justru awal bagi ketuanrumahan turnamen besar berikutnya seperti Olimpiade.
Keterpilihan Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia sendiri, bukannya tanpa dibayangi kontroversi dan guncangan. Sejak diumumkan menjadi tuan rumah Piala Dunia 12 tahun yang lalu, Qatar telah menghadapi masa-masa yang tidak mudah.
Setidaknya dua guncangan besar menghantam Qatar. Pertama ialah blokade oleh negara tetangga Qatar seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Blokade dari darat, laut, dan udara tersebut telah memaksa Qatar untuk memutar otak guna memenuhi segala kebutuhan, baik infrastruktur maupun noninfrastruktur yang tentunya menjadi jauh lebih mahal dalam rangka persiapan Piala Dunia.
Guncangan kedua, tentu saja ialah badai covid-19. Pandemi ini jelas menyebabkan kontraksi dalam perekonomian Qatar. Pemerintah juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatan para pekerja yang terdampak covid-19.
Namun, jika ada “cobaan” paling berat yang dirasakan Qatar selama persiapan dan penyelenggaraan Piala Dunia, barangkali itu ialah sikap hipokrit dan standar ganda yang ditunjukkan negara-negara Barat.
Selama ini, negara-negara Barat terus merundung Qatar dengan menceramahi Qatar soal hak asasi manusia, tanpa mereka pernah berkaca, mengutip kata-kata Presiden FIFA Gianni Infantino, apa yang telah mereka lakukan selama ratusan tahun kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia (termasuk Arab), dan Amerika Latin.
Meski dirundung kanan kiri, Qatar terus melaju. Qatar ingin memberi pesan kuat, bahwa bangsa Arab dan muslim mampu baik secara politik, ekonomi, maupun budaya untuk menyelenggarakan turnamen sepak bola terbesar di planet bumi. Pesan kesetaraan, inklusifitas, dan persatuan inilah yang coba dikirim Qatar untuk dunia.
Akal sehat beragama
Di Indonesia, sepertinya pesan tersebut salah ditangkap. Dalam banyak kabar yang berseliweran, justru disebutkan bahwa Qatar ingin menggunakan Piala Dunia sebagai ajang dakwah Islam. Padahal, yang ingin disampaikan Qatar sekali lagi ialah pesan persatuan, inklusifitas, dan toleransi, tentu tanpa harus kehilangan jati diri dan karakternya sebagai bangsa Arab dan muslim.
Saya sendiri tidak melihat, setidaknya secara terstruktur, bahwa Qatar akan dan sedang menjadikan Piala Dunia untuk melempangkan misi agama tertentu. Yang diinginkan Qatar, justru Piala Dunia mampu mempersaudarakan semua manusia, terlepas dari agama yang mereka anut.
Bahwa kemudian, karena interaksi dengan orang dan budaya lokal, ada pendatang asing yang tertarik Islam, maka itu hal yang lumrah. Sama lumrahnya, misalnya ketika Piala Dunia suatu saat dilaksanakan di Italia atau India, kemudian ada orang yang tertarik pada Christianity atau Hinduism.
Maka, ketika Ghanim al Muftah, seorang disabilitas melantunkan Surah Al Hujurat ayat 13, saya tidak menangkap bahwa itu merupakan gejala “islamisasi” Piala Dunia. Bahkan, saya yang saat itu hadir dalam stadion tidak melihat adanya keterangan baik dalam running text maupun layar TV yang tersedia, bahwa apa yang dilantunkan Ghanim ialah ayat Al-Qur’an. Panitia membiarkannya mengalir dan penonton menikmati pesan kemanusiaan tersebut tanpa (perlu) sadar bahwa itu ialah potongan ayat Al- Qur’an.
Tentu kita senang jika Islam dalam citra yang positif semakin dikenal dunia melalui Piala Dunia Qatar. Namun, euforia “spiritual” tersebut tidak boleh mengalahkan akal sehat dan kewarasan kita dalam beragama. Akal sehat kita harus memverifikasi dengan ketat, apa pun yang masuk bejana informasi kita. Termasuk misalnya, tentang kabar bahwa ribuan orang telah masuk Islam selama gelaran Piala Dunia.
Kemajemukan dalam bingkai kemanusiaan
Dalam pidato pembukaan Piala Dunia di Al Bayt Stadium, Minggu (20/11), Amir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al Thani menyebut bahwa usaha besar dan panjang yang telah dilakukan Qatar dalam mempersiapkan Piala Dunia ialah bagian dari investasi negara ini untuk kemanusiaan.
Dengan Piala Dunia, Qatar ingin membuktikan bahwa nilai-nilai di Qatar, Arab, dan Islam juga dapat berkelindan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang “universal” tanpa harus mengabaikan kemajemukan budaya, agama, dan tata moral di setiap bangsa.
Di masa ketika umat manusia demikian egoistis dan merasa peradabannya sebagai yang paling superior, pesan kemanusiaan sekaligus kemajemukan itu penting kita dengar. Seperti diungkapkan sejarawan Yuval Noah Harari, kesalahan umat manusia (terutama dalam sejarah nation-state), ialah kita sering merasa bahwa kitalah pusat dari segalanya, centre of universe. Padahal nyatanya tidak. Peradaban manusia akan tercegah dari kepunahan hanya ketika kita mampu menghargai keberagaman. Piala Dunia Qatar sedikit banyak ingin menunjukkan itu.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved