Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
DALAM beberapa bulan terakhir mengunjungi beberapa daerah, terutama di luar Jawa, ditemukan setidaknya dua fakta politik menarik di lingkup warga (jemaah) Muhammadiyah. Pertama, ada kesadaran dan dinamika politik di lingkup jemaah Muhammadiyah, terutama, di kalangan kaum muda, bahwa politik kekuasaan itu penting dan dinilainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari misi dakwah amar makruf nahi munkar. Maka itu, tak ada pilihan kecuali harus terlibat aktif di dalamnya dan merebutnya.
Kesadaran bahwa politik itu penting, dinamikanya tidak atau belum sama antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa disebut sebagai dua wilayah di Jawa yang dinamikanya cukup tinggi. Wilayah lainnya yang termasuk dinamis ialah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat. Di luar Kalimantan, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku Utara, Sumatera Utara, dan Sumatra Selatan, juga termasuk cukup dinamis.
Kedua, terkait diaspora politik, ada wajah politik yang sedikit berbeda antara jemaah Muhammadiyah di Jawa dan luar Jawa. Wajah diaspora politik jemaah Muhammadiyah di luar Jawa jauh lebih nyata dan dinilai berhasil bila dibandingkan dengan diaspora politik yang terjadi di Jawa.
Partai Amanat Nasional masih tetap menjadi pilihan utama jemaah Muhammadiyah. Namun, di banyak daerah sudah mulai ditemui kader-kader Muhammadiyah yang berhasil melakukan diaspora politik dengan aktif menjadi mengurus di banyak partai, baik yang lolos parlemen di Senayan maupun tidak. Menariknya lagi, bukan sekadar berdiaspora. Dalam proses politik di partai-partai politik tersebut, jemaah Muhammadiyah berhasil menempati jabatan-jabatan strategis, bukan hanya di partai politik, melainkan juga di eksekutif maupun legislatif.
Politik yang berubah
Munculnya kesadaran bahwa politik kekuasaan itu penting, yang di antaranya ditandai dengan terjadinya diaspora politik, tentu patut mendapat apresiasi yang tinggi. Realitas politik saat ini sangat berbeda dan bahkan kontras dengan realitas politik yang terjadi di era Orde Lama, baik era demokrasi parlementer maupun demokrasi terpimpin. Juga berbeda dengan era politik di masa Orde Baru dan awal-awal era reformasi.
Realitas politik saat ini tengah berada di titik nadir. Praktik politik berlangsung sangat liberal, yang tergambar dari pemilihan yang serbalangsung, suara terbanyak, dan berbiaya sangat mahal yang salah satunya ditandai oleh praktik politik uang secara demonstatif serta cenderung ahistoris. Kekuasaan politik (dan tentu juga ekonomi) hanya dikuasai segelintir orang (kaum oligark). Meskipun demikian, realitas politik itu tetap saja harus disikapi secara bijaksana oleh jemaah Muhammadiyah. Caranya tentu dengan tetap terlibat dalam proses politik yang ada saat ini sembari terus berikhtiar untuk sebisa mungkin melakukan perbaikan-perbaikan.
Membangun kesadaran kepada jemaah Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya bahwa politik itu penting untuk direbut. Bukan sebaliknya, dengan bersikap naif dan mencoba menjauh dari politik. Itu bukan pilihan sikap politik yang cerdas sebab semakin menjauh dari politik, realitas politik yang ada saat ini akan semakin tidak bersahabat.
Perkuat sinergi jam’iyah dan jemaah
Adanya kesadaran berpolitik di lingkup jemaah Muhammadiyah, khususnya di kalangan kaum muda, bahwa politik itu penting dan harus direbut merupakan hal yang positif. Tentu kesadaran politik saja tak cukup. Perlu ditopang dengan strategi yang baik, yang salah satunya dengan membangun sinergitas yang baik antara Muhammadiyah sebagai organisasi (jam’iyah) dengan Muhammadiyah sebagai jemaah.
Sebagai jam’iyah, melekat dalam dirinya wajah Muhammadiyah yang serbaprosedural, cenderung kaku, dan strukturalis. Sebaliknya, sebagai jemaah, wajah Muhammadiyah tentu lebih lentur, fleksibel, dan kulturalis. 'Dua wajah' tersebut secara politik akan fungsional kalau saling bersinergi dengan baik.
Sebagai jam’iyah, Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. Muhammadiyah tak dibenarkan terlibat dalam politik dukung-mendukung kandidat atau partai politik tertentu. Selama ini, positioning ini sudah dijalankan secara tepat oleh Muhammadiyah. Garis Khittah 1912 tetap menjadi pedoman fundamental Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik. Sebagai jam’iyah, Muhammadiyah tetap pada pendiriannya sebagai organisasi keagamaan.
Sementara itu, sebagai jemaah, Muhammadiyah merupakan kumpulan orang-orang yang mempunyai hak-hak politik yang pada dirinya dibenarkan untuk tampil dan menduduki jabatan-jabatan politik. Tak ada larangan untuk aktif di partai politik atau institusi-institusi politik lainnya. Tak ada larangan pula pada dirinya untuk terlibat dalam politik dukung-mendukung.
Disayangkan, pertama, selama ini Muhammadiyah hanya pandai merawat wajah jam’iyah-nya saja, sementara wajah jemaahnya tidak dirawat dengan baik. Akibatnya, seperti anak ayam kehilangan induknya, dalam hal politik misalnya, jemaah Muhammadiyah cenderung bergerak dan berjuang nafsi-nafsi. Di lingkup jemaah sendiri juga minim tradisi untuk saling support dan membangun kohesivitas yang baik. Karena itu, tidak tampak sebagai jemaah yang solid dan agenda politiknya pun tak jelas pula. Seperti buih di lautan, jemaah Muhammadiyah terombang-ambing, bergerak tanpa arah, dan tujuan yang jelas.
Jam’iyah Muhammadiyah tak sering menyapa jemaah Muhammadiyah, terlebih terhadap mereka yang terlibat aktif di wilayah politik (kekuasaan). Bukan hanya tak sering disapa, melainkan juga bahkan cenderung diasingkan. Sebagian penghuni jam’iyah bahkan masih sering memosisikan jemaah Muhammadiyah yang terlibat aktif di ranah politik secara nista.
Kedua, jam’iyah Muhammadiyah terlalu kaku dalam memosisikan diri dan berelasi dengan politik (kekuasaan). Perspektifnya masih memakai perspektif lama yang konservatif dan cenderung monoperspektif, yaitu dengan memosisikan Muhamamdiyah hanya sebagai jam’iyah dan cenderung mengabaikan posisinya sebagai jemaah. Padahal, Muhammadiyah itu jam’iyah sekaligus juga jemaah. Akibatnya, jam’iyah Muhammadiyah sering gagap dan gugup dalam berelasi dengan politik kekuasaan.
Kegagapan dan kegugupan itu sebenarnya tak perlu terjadi kalau Muhammadiyah mampu bersikap proporsional dalam berelasi dengan kekuasaan. Untuk bersikap proporsional, hanya dibutuhkan satu hal, yaitu mampu mendudukkan secara baik antara peran Muhammadiyah sebagai jam’iyah dan peran sebagai jemaah. Peran-peran politik Muhammadiyah sebagai jam’iyah yang berwajah kebangsaan harus bersinergi dengan peran-peran politik jemaah Muhammadiyah yang (sebagian) berwajah politik kekuasaan, sesuatu yang tak mungkin dan mampu dilakukan oleh jam’iyah Muhamadiyah.
Sinergi politik itu sangat penting. Terlebih di era politik yang serbaliberal dan cenderung ahistoris, yang dalam praktiknya dominan diukur berdasarkan kalkulasi-kalkulasi elektoral yang cenderung mengabaikan nilai-nilai normatif dalam politik. Sinergi politik ini akan saling mendukung, menutupi, dan melengkapi celah-celah yang bolong di antara kalkulasi elektoral dengan nilai-nilai normatif dalam politik.
Apa yang secara politik tidak mungkin bisa dilakukan jam’iyah Muhammadiyah akan ditutupi dan dilakukan jemaah Muhammadiyah. Pun sebaliknya, yang tak mungkin dilakukan jemaah Muhammadiyah bisa ditutupi dan dilakukan jam’iyah Muhammadiyah. Di sinilah letak pentingnya sinergi politik dan elite jam’iyah Muhammadiyah harus menyadari pentingnya sinergi tersebut. Kalau tidak, kegagapan dan kegugupan Muhammadiyah dalam berelasi dengan politik akan selalu terjadi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved