Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PADA Selasa (11/10) di suatu kawasan di Tangerang selatan, digelar diskusi soal pangan. Dalam diskusi itu, terungkap fakta yang bagi saya cukup mengejutkan. Indonesia, kata salah seorang pembicara dalam acara tersebut, merupakan negara ketiga di dunia setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat yang paling banyak menghambur-hamburkan makanan. Tindakan mubazir itu terjadi, baik saat mengonsumsi maupun distribusi. Istilah asingnya, food loss dan food waste. Mengutip data Bappenas 2021, Dewi Fatmaningrum, agen Ketahanan Pangan dan Nutrisi Badan Pangan dan Pertanian FAO yang menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi itu, menuturkan food loss dan food waste di Indonesia selama 2000-2019 mencapai 150-184 kg per kapita per tahun. Jumah itu, kata dia, seharusnya bisa memberi makan 30%–40% populasi di negara ini.
Untuk diketahui, food loss atau susut pangan merupakan bahan pangan yang terbuang dalam rantai pasok dari petani ke pasar. Ini bisa terjadi akibat distribusi dan pengemasan yang tidak baik sehingga membuat bahan pangan rusak dan tidak bisa dijual. Sementara itu, food waste atau limbah pangan terjadi di tingkat pasar retail hingga konsumen. Pangan yang terbuang percuma itu akibat tidak laku ataupun penyia-nyiaan di rumah tangga.
Fakta tersebut sungguh ironis, terlebih di tengah potensi ancaman krisis pangan, sebagai dampak konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina serta pengaruh iklim seperti saat ini. Pada pertemuan para menteri keuangan dan menteri pertanian G-20 dalam Forum Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (11/10), Menkeu Sri Mulyani pun mewanti-wanti terkait hal itu.
Jika melihat kondisi global saat ini, dunia memang tampak suram. Belum lagi ditambah krisis iklim, energi, dan moneter atau keuangan. Para pakar bahkan menyebutnya sebagai badai panjang yang sempurna. Lantas, apa yang harus kita perbuat agar selamat dari krisis ini? Kuncinya ialah inovasi dan kolaborasi. Dalam soal pangan, misalnya, mungkin kita harus belajar lagi pada kearifan lokal yang ada di Nusantara. Sejak kecil kita bahkan telah diajarkan orangtua untuk tidak menyia-nyiakan makanan. “Nanti nasinya nangis, lo, kalau dibuang,” begitu sering yang kita dengar dulu. Begitupun dongeng tentang Dewi Sri, dewi kesuburan.
Narasi semacam itu merupakan bagian dari tradisi lisan, kearifan lokal yang banyak dijumpai di berbagai kebudayaan yang ada di Tanah Air dengan beragam bentuknya. Memang kedengarannya seperti mitos, tapi poinnya ialah kita disuruh menghargai jerih payah petani dan orangtua kita yang telah bekerja keras mencari uang untuk membeli beras. Dalam masyarakat tradisional agraris, bertani bukan sekadar kebutuhan mengisi perut. Ada dimensi spiritual di dalamnya. Oleh karena itu, di banyak daerah, menanam, merawat, dan memperlakukan padi tidak boleh sembarangan. Bahkan, panen pun ada ritualnya yang harus dirayakan pada hari tertentu.
Persoalan pangan memang selalu berkaitan erat dengan kearifan lokal. Mulai perlakuan terhadap komoditas tanaman hingga tata cara bercocok tanam ataupun irigasi. Jika Anda googling, ada banyak studi akademis terkait hal itu. Sebagai salah satu contoh, kita mungkin bisa melihat pada fungsi lumbung atau leuit dalam masyarakat Baduy di Banten. Fungsi utamanya ialah untuk menjaga ketahanan pangan agar tidak kelaparan. Cara bercocok tanam dengan sistem tumpang sari ialah amsal lainnya. Begitu pula dengan sistem pengairan subak di Bali. Jika disebut, tiap daerah tentu punya kearifan lokalnya masing-masing. Hal itu sebagai bentuk inovasi dan kolaborasi mereka dalam mencukupi kebutuhan dan menjaga ketahanan pangan.
Dengan bantuan riset dan teknologi, sejumlah kearifan lokal itu bisa menjadi inovasi yang sangat relevan untuk situasi di tengah ancaman krisis pangan seperti sekarang. Kita, sebagai anggota masyarakat, mungkin bisa ikut memulainya dari rumah dengan tidak boros menghamburkan dan menyia-nyiakan makanan. Apalagi banyak sebagian dari saudara kita yang kekurangan makanan. Selamat Hari Pangan.
Berkat prestasi itu, para Army (sebutan untuk fan BTS) membandingkan musikus idola mereka dengan band legendaris Inggris, The Beatles.
BEBERAPA hari lalu, seorang kawan membagikan video di akun Facebook-nya.
Resesi adalah kondisi pertumbuhan ekonomi minus di dua kuartal berturut-turut. Sejumlah negara, termasuk Singapura, malah sudah terjerembap lebih dulu.
SEJAK tiga bulan terakhir, saya jadi sering nonton Youtube, tapi bukan gosip atau talk-show politik. Berat dan membosankan.
IA hanya sehelai kain. Dilengkapi dua tali pengikat, ukurannya cuma pas untuk menutupi hidung hingga dagu.
SAYA senyum-senyum sendiri ketika membaca salah satu laporan di New York Times yang diunggah pada 19 Oktober 2020
Saat ini lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak (5-19 tahun) mengalami obesitas.
SEKTOR Pertanian ternyata yang paling mampu bertahan, bahkan berlebih di masa pandemi covid-19. Pandemi ini kiranya menjadi momentum memperkuat ketahanan pangan kita.
Donasi 100 ribu kotak susu cair akan diberikan kepada anak-anak yang membutuhkan di 17 daerah di seluruh Indonesia.
Hari Pangan Sedunia mulai ditetapkan lewat Konferensi FAO ke-20 di Roma pada November 1976.
Gerakan tanam bibit buah-buahan tersebut diinisiasi anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) IX Jawa Tengah, Dewi Aryani bekerja sama dengan para kades di seluruh Kabupaten Tegal.
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan FAO mengembangkan industi UKM sagu yang dipusatkan di Sulawesi Tenggara.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved