Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Ketertiban Umum dan Keselamatan Publik

Suryopratomo Anggota Dewan Redaksi Media Group
07/10/2022 05:00
Ketertiban Umum dan Keselamatan Publik
(MI/Seno)

TRAGEDI sepak bola yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, terus menjadi pembicaraan masyarakat dunia. Sejak tragedi di Cile pada 1964, peristiwa mengenaskan pekan lalu itu merupakan jumlah korban meninggal terbesar dalam sejarah sepak bola.

Masyarakat di seluruh dunia menyayangkan terjadinya peristiwa yang mengenaskan itu karena pertandingannya sendiri berjalan lancar dan hanya ditonton pendukung Arema FC. Sepak bola yang seharusnya menciptakan kegembiraan dan kesenangan justru berakhir dengan kemalangan.

Lebih dari 125 orang harus merenggang nyawa, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka. Penggunaan gas air mata untuk menghalau penonton yang masuk ke tengah lapangan setelah pertandingan, menyebabkan kepanikan dan penonton pun saling dorong, serta injak untuk terhindar dari asap yang membuat mata perih dan kesulitan bernapas.

Begitu banyak nyawa yang melayang akibat pertandingan sepak bola. Tahun ini saja, setidaknya ada dua kali tragedi yang terjadi. Sebelumnya di Kamerun terjadi peristiwa tragis, penonton terjepit karena saling dorong saat hendak masuk ke stadion menjelang pertandingan semifinal Piala Afrika.

 

Panitia pertandingan

Tragedi umumnya terjadi karena kemampuan panitia yang tidak sesuai standar. Saat terjadi musibah di Stadion Olembe, Kamerun penyebabnya ialah panitia yang menutup secara tiba-tiba pintu masuk ke stadion saat penonton masih banyak berada di luar, sementara pertandingan sudah dimulai.

Para pendukung tuan rumah, yang tidak ingin ketinggalan menyaksikan tim kesayangan mereka tampil, memaksa untuk masuk. Mereka tidak peduli pintu masuk sudah dikunci dan akibatnya mereka yang berada paling depan terjepit antara pagar dan ribuan orang yang mendesak maju ke depan.

Saat pertandingan final Liga Champions antara Real Madrid melawan Liverpool musim lalu, insiden serupa hampir terjadi di Stade de France, Prancis. Pendukung Liverpool tertahan di depan gerbang stadion karena ditahan petugas keamanan dengan alasan tiket yang mereka pegang palsu.

Para pendukung Liverpool memaksa untuk masuk karena merasa tiket yang dimiliki asli. Ketika terjadi keributan, polisi Prancis melepaskan gas air mata. Akibatnya, situasi menjadi kacau-balau karena penonton yang terkena gas air mata berlarian secara liar. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam insiden itu.

Polisi menggunakan pendekatan yang keliru dalam menangani penonton sepak bola. Karena doktrin yang dipegang ialah menciptakan ketertiban umum (public order), tindakan yang dilakukan membubarkan kerumunan. Namun, akibatnya yang dikorbankan ialah keselamatan publik (public safety).

Owen West, pengajar ilmu kepolisian pada Edge Hill University, Inggris, menilai cara penanganan yang berlebihan seringkali menyebabkan musibah yang lebih besar. Apalagi, petugas keamanan seringkali sudah dibekali dengan perlengkapan untuk menangani kerusuhan. “Begitu sering tindakan yang dilakukan polisi justru memicu keadaan semakin buruk. Penyebabnya karena polisi dilengkapi dengan berbagai peralatan penanganan kerusuhan sehingga justru menciptakan self-fulfilling prophecy. Seharusnya, public order diterapkan bersamaan dengan public safety,” kata West kepada The New York Times.

 

Harus berubah

Tragedi di Kanjuruhan tidak cukup diselesaikan dengan menghukum mereka yang dianggap bertanggung jawab. Yang tidak kalah penting harus dilakukan ialah membenahi secara keseluruhan ekosistem sepak bola dan pengelolaan pertandingan di Indonesia.

Setelah Tragedi Hillsborough 1989 yang menewaskan 97 pendukung Liverpool, FIFA melarang penggunaan stadion tanpa kursi yang menggunakan nomor. Semua dilakukan agar jumlah tiket yang dijual sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia.

Dalam kasus di Stadion Kanjuruhan, jumlah penonton mencapai 42 ribu orang. Padahal, kapasitasnya hanya 38 ribu penonton. Artinya, jumlah penonton yang hadir Sabtu malam itu 10% di atas kapasitas yang tersedia. Mereka pasti tidak dalam posisi duduk, tetapi berdiri.

Hal yang kedua ditetapkan dalam penyelenggaraan pertandingan ialah petugas di dalam stadion tidak boleh lagi polisi apalagi tentara. Petugas pertandingan di lapangan harus dilakukan oleh penyelenggara pertandingan yang besertifikat karena dibekali cara untuk mengendalikan emosi penonton.

Para petugas pertandingan, harus ditempatkan di antara penonton dan juga mengawasi di sekitar lapangan. Setelah tragedi di Sheffield, seluruh stadion di Inggris dilarang memasang pagar pembatas di pinggir lapangan. Sebagai penggantinya, petugas lapangan harus berjejer sepanjang lapangan dan menghadap ke arah penonton. Mereka harus menghentikan setiap ada penonton yang mencoba lompat ke tengah lapangan.

Para pendukung setiap klub diminta bertanggung jawab untuk mengedukasi anggotanya dan mengatur perilaku anggotanya. Mereka yang tidak memenuhi aturan main yang disepakati dicoret dari keanggotaan klub. Bahkan kalau terus berbuat onar, Federasi Sepak Bola bisa menjatuhkan sanksi melarang pendukung itu untuk bisa menyaksikan pertandingan sepak bola seumur hidupnya.

Sistem tiket yang dijual juga harus menggunakan barcode. Setiap penonton tidak mungkin bisa melewati pintu elektronik kalau tidak menggunakan tiket yang memiliki barcode. Bahkan, beberapa stadion sudah menerapkan face recognition untuk menepis para pembuat onar bisa masuk ke stadion.

Saat menjelang putaran final Piala Dunia 2022, Pemerintah Qatar menugaskan lembaga penelitian RAND untuk membuat kajian bagaimana menghindarkan terjadinya kerusuhan pada penyelenggaraan pesta sepak bola November mendatang. Kajian khusus dilakukan agar segala kebutuhan untuk keamanan dan kenyamanan penonton bisa dipersiapkan, termasuk, tata cara untuk masuk ke dalam stadion. Para penonton harus melewati sedikitnya dua kali pemeriksaan sebelum bisa mendekati stadion tempat pertandingan. Petugas keamanan melakukan pemeriksaan mulai dari tiket hingga barang-barang yang dilarang dibawa ke dalam stadion termasuk minuman di dalam botol.

Petugas keamanan membantu mengelola arus penonton ketika datang dan hendak pulang agar tidak terjadi kerumunan. Semua orang diminta untuk meninggalkan lokasi stadion sesegera mungkin setelah pertandingan. Untuk itu, angkutan umum frekuensinya diperbanyak agar penonton bisa langsung kembali ke tempat tinggalnya.

Pendukung dari setiap kesebelasan pun diatur keluar stadion dalam waktu yang berbeda. Sejak 15 menit sebelum pertandingan berakhir, panitia penyelenggara mengumumkan melalui pengerah suara pendukung tim mana yang boleh keluar stadion lebih dulu, dan mana yang harus tinggal lebih lama.

Sepak bola tidak bisa lagi dikelola secara asal-asalan, termasuk juga penyelenggaraan pertandingannya. Tanpa ada sistem yang baik, tanpa ada infrastruktur yang memadai baik di dalam stadion maupun di sekitar stadion, serta sistem transportasi yang menunjang, memang tinggal menunggu waktu terjadinya musibah. Pengelolaan sepak bola Indonesia sudah tertinggal lebih dari tiga dekade. Tragedi di Kanjuruhan harus menjadi momentum untuk perombakan secara total.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya