Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Diplomasi Kemerdekaan Kemerdekaan Diplomasi

Darmansjah Djumala Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad
19/8/2022 05:00
Diplomasi Kemerdekaan Kemerdekaan Diplomasi
(MI/Seno)

TUJUH puluh tujuh tahun sudah Indonesia merdeka. Perayaan rutin tahunan diadakan di mana-mana, di kampung dan di kota. Di kelurahan dan di istana. Di tengah keriaan hari kemerdekaan, tak salah jika kita sejenak mengilas balik sejarah seputar diplomasi kemerdekaan. Sejarah mencatat, salah satu hal yang pertama dilakukan para pemimpin di awal kemerdekaan ialah mendapatkan pengakuan (recognition) dari negara sahabat. Untuk itu, dilakukanlah diplomasi kemerdekaan. Perjuangan diplomasi kemerdekaan dilakukan melalui dua jalur: perjuangan pengakuan kemerdekaan dari negara sahabat dan perundingan dengan Belanda.

Pertama, untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan, beberapa tokoh berkunjung ke negara sahabat. Hasilnya, beberapa negara mengakui kemerdekaan Indonesia.

Dalam kurun waktu 1945-1950, tidak kurang 7 negara mengakui kemerdekaan de facto Indonesia, yaitu Mesir, Suriah, Libanon, Yaman, Arab, India, dan Vatikan. Ada konsideran politik menarik dari diplomasi kemerdekaan Indonesia. Coba tengok, mayoritas negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia paling awal ialah negara kawasan Arab Timur Tengah. Itu tak lepas dari pertimbangan kedekatan sosial budaya antara Indonesia dan negara kawasan yang mayoritas Islam. Pengakuan kemerdekaan oleh Vatikan juga tak jauh dari konsideran sosial budaya dan agama.

Indonesia, sejak awal kemerdekaan masyarakatnya sudah majemuk dalam takaran etnik, suku, dan agama. Pengakuan dari Vatikan--sebagai pusat Gereja Katolik sedunia--menegaskan citra Indonesia sebagai negara yang menghormati keberagaman dan perbedaan. Itu menjadi pemantik simpati negara Barat, dalam melihat perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia.

Diplomasi kemerdekaan ke India tak kurang menariknya. Syahdan kala itu, pada 1946 India sedang mengalami krisis pangan dan bahaya kelaparan serius. Indonesia baru merdeka. Tentu tidak kaya (untuk tidak mengatakan sangat miskin). Namun, atas inisiatif Perdana Menteri Sutan Syahrir, Indonesia mengirim 500.000 ton beras untuk India. Dalam kasatmata, bantuan beras dinilai sebagai solidaritas kemanusiaan Indonesia terhadap India yang sedang kesusahan. Namun, di balik itu, ada motivasi politik. Dalam keadaan susah, bantuan beras itu sangat berarti bagi India. Tatkala merasa terbantu, muncul simpati. Bisa jadi karena simpati akibat diplomasi beras itulah India mengakui kemerdekaan Indonesia pada September 1946.

Kedua, diplomasi kemerdekaan vis a vis Belanda dilakukan melalui serangkaian perundingan. Perundingan pertama Indonesia-Belanda, dilakukan dalam kisaran Maret-April 1946, masing-masing dilakukan di Jakarta dan Hoge Veluwe (Belanda). Gagal. Kemudian, dilanjutkan dengan serangkaian perundingan di Linggarjati (15 November 1946), Perjanjian Renville (17 Januari 1948), Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949), Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949).

Konferensi Meja Bundar tercatat sebagai puncak dari rangkaian perundingan Indonesia-Belanda, dengan diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Semua ikhtiar diplomasi kemerdekaan ini berkulminasi pada diterimanya Indonesia sebagai anggota PBB yang ke-60 pada 28 September 1950.

 

Harus cerdas dan cermat

Keanggotaan di PBB menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia setelahnya. Keanggotaan di PBB membuka ladang pengabdian dan partisipasi Indonesia dalam penanganan masalah internasional. Sebagai republik muda yang terlahir dari rahim Perang Dunia II dan mulai tumbuh di tengah tarikan kepentingan ideologis negara besar, tidak mudah bagi Indonesia untuk menempatkan diri. Di tengah suasana batin Perang Dingin di antara dua blok ideologi yang hegemonik, Indonesia harus cerdas dan cermat dalam menentukan kebijakan politik luar negerinya.

Bagaimana posisi Indonesia dalam tarikan rivalitas dua blok ideologi dunia? Bung Hatta punya jawaban jitu. Di dalam pidato beliau di depan Sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), 2 September 1948, Bung Hatta memetaforakan politik luar negeri Indonesia sebagai mendayung di antara dua karang. Bung Hatta mengiaskan kapal Indonesia harus selamat mengarungi samudra meski harus melalui dua karang menghadang di muka, kiri dan kanan. Lahirlah prinsip politik luar negeri Indonesia: bebas-aktif. Prinsip ini, tetap relevan dan masih dipegang sebagai pedoman dalam melaksanakan hubungan dan politik luar negeri hingga kini.

Pada titik ini, dapat dilihat penggalan benang merah sejarah diplomasi Indonesia: dari diplomasi kemerdekaan, menjelujur ke rangkaian perundingan untuk kedaulatan, dan akhirnya menambat pada prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Prinsip bebas-aktif, sejatinya diinspirasi jiwa Mukadimah UUD 45. Jelas termaktub dalam Mukadimah kalimat ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’. Kalimat itu menitahkan Indonesia harus mampu berkontribusi terhadap upaya perdamaian dunia dengan prinsip kemerdekaan. Frasa ‘ikut melaksanakan’ mengandung konotasi berpartisipasi secara aktif. Dari frasa inilah kata ‘aktif’ dalam prinsip bebas-aktif berasal.

Bagaimana cara Indonesia berpartisipasi dalam masalah dunia? Tidak ada lain, kecuali dengan ‘prinsip kemerdekaan’, yang bermuara pada sikap merdeka dalam membuat keputusan. Keputusan dengan siapa Indonesia berteman dan bagaimana modalitas pertemanan itu, semua itu ditentukan sendiri oleh Indonesia. Bukan karena tekanan dan dikte negara lain. Ketika Indonesia bebas dan merdeka menentukan garis kebijakan hubungan luar negerinya, sesuai dengan kepentingan nasional, sejatinya Indonesia menjalankan kemerdekaan diplomasi.

 

Kemerdekaan diplomasi

Kemerdekaan diplomasi Indonesia termanifestasi dalam cara Indonesia menyikapi berbagai isu internasional. Kurang dekat apa Indonesia dengan AS? Namun, ketika negara adidaya itu melanggar kedaulatan dan kemerdekaan Irak (2003), Libia (2011), dan Suriah (2018), Indonesia mengecam serangan itu. Pun terhadap Rusia. Indonesia bersahabat dengan Rusia. Namun, ketika Rusia menginvasi Ukraina, apa pun alasannya, Indonesia mengecam tindakan itu karena melanggar hukum internasional.

Memang sikap Indonesia terhadap konflik Rusia-Ukraina itu sama dengan posisi AS. Itu tidak berarti Indonesia mengekor AS. Namun, lebih karena isi Resolusi PBB yang mengecam tindakan Rusia itu sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia dalam konflik Rusia-Ukraina. Tak ada yang menyangkal kedekatan hubungan Indonesia dan Tiongkok di bidang ekonomi. Namun, kedekatan itu tak membuat Indonesia rikuh bersikap tegas manakala kapal Tiongkok mencuri ikan di wilayah ZEE Indonesia.

Kerja sama ekonomi yang erat dengan Tiongkok, tidak menjadi penghalang bagi Indonesia untuk mengadakan latihan militer bersama dengan AS. Dengan laku diplomasi seperti itu, hubungan Indonesia dengan ketiga negara (AS, Rusia, dan Tiongkok) tetap baik-baik saja. Itulah sejatinya kemerdekaan Indonesia dalam berdiplomasi.

Ketika baru merdeka, diplomasi kemerdekaan yang berlangsung di tengah rivalitas blok ideologi membuahkan prinsip bebas-aktif. Sebuah prinsip yang memberi ruang bagi Indonesia merdeka menjalankan diplomasi. Setelah 77 tahun merdeka, apa hikmah kemerdekaan bagi diplomasi? Dulu, pemimpin kita melakukan diplomasi kemerdekaan. Kini, para diplomat Indonesia menjalankan kemerdekaan diplomasi. Dirgahayu Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya