Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PEKAN ini, ruang publik kita diramaikan warta ihwal ACT (Aksi Cepat Tanggap). Sebuah majalah mingguan dengan detail melakukan investigasi. Hasilnya amat mencengangkan. Bagaimana elite lembaga filantropi yang menghimpun dana umat itu digaji dengan sangat fantastis, difasilitasi kendaraan mewah. Sebuah pemandangan yang bukan hanya tragis, melainkan juga sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Seperti mudah diterka agama, acapkali tampil sekadar atas nama. Agama menjadi isu paling ampuh untuk “menipu” seseorang dalam meraih kekuasaan dan ekonomi. Di depan kuasa dan benda “agama” dibajak dan diperlakukan mengenaskan. Benar apa yang dibilang Umar bin Khattab, “Uang adalah alat paling potensial untuk menguji iman seseorang.”
Jauh sebelum ACT mencuat, Yusuf Mansur yang kadung dipanggil ustaz, harus berurusan dengan umat (dan pengadilan). Yusuf Mansur lewat senarai pidatonya yang bertemakan Kekuatan sadaqah lagi-lagi menjadikan agama sebagai alat penghimpun dana masyarakat.
Dua kejadian tersebut seharusnya menjadikan umat lebih cermat dalam melihat fenomena sosial, politik, dan keagamaan. Bisa jadi, niat penyumbangnya tulus, tetapi amat disayangkan apabila ketulusan itu kemudian disalahgunakan bahkan untuk kegiatan yang membahayakan negara, oleh elite pengelolanya yang tidak bertanggung jawab. Tidak amanah dan jauh dari nilai-nilai keagamaan.
Spirit kurban
Sebentar lagi 10 Zulhijah 1443 H tiba, salah satu peristiwa yang patut direnungkan dan sangat relevan dengan persoalan kita ialah “pengorbanan” atau kurban. Peristiwa kurban menjadi momen berharga sebagai kritik sosial atas tata kehidupan beragama kita.
Spiritualisme kurban mengantarkan kita jumpa pada cerita Nabi Ibrahim. Sosok Nabi yang menjadi garis titik temu tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam), sekaligus pribadi yang telah mencapai level religius dalam tipologi yang ditulis Soren Aabye Kierkegaard.
Dalam telaahnya, Soren Aabye Kierkegaard (Zainal Abidin, 2000) membubuhkan tiga tafsir atas tahapan eksistensi manusia. Pertama, estetis. Tahap orientasi manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan fisik.
Pada tahap ini manusia dikendalikan naluri-naluri seksual (libido) dan prinsip-prinsip kesenangan hedonistik kebendaan. Don Juan disimpulkan Kierkegaard sebagai simpul manusia estetis. Don Juan tidak mempunyai passion dalam menyikapi dan menindaklanjuti suatu persoalan, tidak ada cinta, dan tidak ada perkawinan. Atas nama kesenangan dan kepentingan pribadi semua dianggap sahih dilakukan.
Kedua, tahap etis. Memilih hidup dalam tahap ini berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi etis. Tahap ini ditandai dengan hadirnya “pertobatan,” individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral, dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Membuka diri untuk melakukan penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang diyakininya. Prinsip hedonistik dan naluri seksual tidak lagi diproyeksikan langsung dalam petualangan dengan perempuan, tetapi disublimasikan untuk tugas-tugas kemanusiaan.
Socrates, ialah model manusia yang telah mencapai tahap kedua ini. Socrates bersedia mengorbankan dirinya dengan meminum racun demi mempertaruhkan keyakinannya mengenai kemanusiaan. Dengan kata lain, ia ialah sosok yang sadar akan peran dan otonomi individu, subjek, atau “aku” dalam menerima kebenaran. Berdasarkan keyakinan pribadinya, ia menolak setiap sistem kekuasaan yang dianggapnya bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ketiga, tahap religius. Inilah yang sebut Kierkegaard sebagai tahap tertinggi. Pada tahap ini manusia melakukan “lompatan iman,” meleburkan diri dalam realitas ketuhanan. Pada tahap ini, nilai-nilai kemanusiaan yang tadinya pada tahap etis bersifat objektif (universal) sehingga ada rujukan yang bisa diterima baik secara rasional maupun common sense. Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif-transenden, sehingga acapkali manusia religius dicap “tidak masuk akal” (irasional).
Lompatan dari tahap etis ke religius jauh lebih sulit daripada “pertobatan” dari estetis ke etis. Dalam lompatan yang pertama tidak lagi dibutuhkan pertimbangan ilmiah rasional, yang diperlukan hanyalah keikhlasan subjektif berdasarkan keyakinan (iman). Sementara itu, “pertobatan” dari estetis ke etis lebih mudah karena di sini hanya mengandaikan adanya pertimbangan-pertimbangan segala konsekuensi yang mungkin kita hadapi.
Mengelola kesabaran
Spiritualisme kurban bukan hanya terkait dengan religiositas Ibrahim, melainkan juga terhubung dengan kesanggupan anaknya, Ismail AS, dalam mengelola kesabaran. “Ayah lakukanlah apa yang diperintahkan! Ayah, kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat wajahku, ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan baginya, lakukanlah ayah.”
Etik esabaran ini tidak ada sangkut pautnya dengan sikap pasif, “menunggu untuk”, tapi justru kesabaran ala Ismail adalah kesabaran sebagai buah yang diolah dari harapan (hope/raja’), dan keyakinan (feith/iman). Kesabaran total yang bikin para pelakunya terjaga dalam kesadaran kemanusiaan (insasniah) dan ketuhanan (ilahiah).
Di titik ini sebenarnya kurban tampil sebagai cara kita terlibat di dunia, Tuhan dihadirkan dalam sejarah. Allah tidak dicari secara asketik (lari dari dunia fisik), tetapi mencari dan mencintai Allah, berarti sepenuhnya terlibat dalam dunia yang Tuhan ciptakan, seperti dengan sangat bagus diilustrasikan Iqbal, “Bila citra jiwa telah disempurnakan di dunia/melihat sesama adalah melihat Tuhan/manusia yang dirahmati, adalah yang satu tarikan napasnya/menyebabkan sembilan langit mengitari dirinya.”
Tentu semangat kurban seperti ini jangan sampai kemudian dimanfaatkan elite umat untuk kepentingan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan spiritualisme perngorbanan atau hospitalitas sebagaimana diperagakan elite ACT.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved