Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Solusi Simalakama Stagflasi

Deni Friawan Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
17/6/2022 05:05
Solusi Simalakama Stagflasi
Deni Friawan Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS)(Dok. MI)

ANCAMAN stagflasi-stagnasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi terhadap keberlangsungan pemulihan ekonomi Indonesia semakin kian nyata. Kasus covid-19 di dunia dan di Indonesia memang cenderung terus mengalami penurunan, tetapi risiko global malah terus mengalami peningkatan.

Goncangan permintaan dan penawaran yang diakibatkan pulihnya permintaan agregat, perang antara Rusia dan Ukraina, serta pembatasan ekspor bahan pangan dan barang tambang telah memicu kenaikan ekstrem harga-harga komoditas serta meningkatkan ancaman risiko inflasi global.

Pada saat bersamaan, tindakan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang mulai melakukan quantitative tightening dan secara agresif menaikkan suku bunga telah memperlambat laju ekspansi ekonomi global dan pelemahan pertumbuhan ekonomi di banyak negara di dunia.

Tanda-tanda pengaruh buruk dari perkembangan global tersebut telah tampak pada beberapa indikator makroekonomi utama Indonesia belakangan ini. Tingkat inflasi tahunan terus mengalami peningkatan, naik dari 2,18% pada Januari menjadi 3,55% pada Mei 2022. Walaupun ekspor pada Mei 2021 masih mengalami peningkatan 27% jika dibandingkan dengan tahun lalu, pertumbuhannya melambat dan secara bulanan mengalami penurunan sebesar -21.3%.

Perkembangan itu menghadirkan pertanyaaan bagaimana Indonesia dapat mengatasi ancaman stagflasi tersebut dan mampu menjaga pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19?

 

Simalakama: inflasi vs pertumbuhan

Stagflasi merupakan kabar buruk bagi perekonomian. Para ekonom sering menganalogikannya sebagai sebuah ‘badai yang sempurna’ (‘perfect storm’). Jika pada masa normal umumnya selalu ada berita baik dan buruk atas beberapa indikator makroekonomi, pada saat stagflasi tidak ada satu pun berita yang baik.

Stagflasi merupakan sebuah kondisi paradoks yang mana ketiga indikator utama makroekonomi yang umumnya menjadi perhatian ekonom, yakni produk domestik bruto (PDB), tingkat pengangguran, dan tingkat inflasi, semuanya berjalan ke arah yang salah.

Saat stagflasi, pertumbuhan total output nasional stagnan pada level yang rendah atau bahkan negatif. Kondisi tersebut akan meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja dan pengurangan upah yang mengarah pada menurunnya tingkat kepercayaan konsumen dan daya beli mereka.

Ketika pengeluaran konsumen berkurang, pertumbuhan ekonomi menjadi lebih randah lagi dan selanjutnya tingkat pengangguran pun semakin meningkat.

Namun, berbeda dengan resesi biasa. Saat stagflasi, pelemahan pertumbuhan ekonomi juga diiringi dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Saat stagflasi terjadi, pengeluaran yang berkurang akibat pengangguran yang meningkat akan semakin diperparah daya beli yang rendah akibat kenaikan harga-harga barang dan jasa.

Peningkatan inflasi akan semakin melemahkan tingkat kepercayaan konsumen di tengah kondisi perekonomian yang telah mengalami depresi. Karena itulah stagflasi tersebut sangat buruk dan berbahaya!

Stagflasi juga menghadirkan dilema bagi pengambil kebijakan. Bagi mereka, masalah ini bagai makan buah simalakama: dimakan ibu mati, tak dimakan ayah yang mati. Pengambil kebijakan mengalami kesulitan untuk menurunkan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan secara bersamaan karena adanya trade-off antara inflasi vs pertumbuhan ekonomi (dan pengangguran).

Jika pemerintah dan Bank Indonesia berupaya mengatasi inflasi dengan pengetatan moneter dan fiskal, kebijakan tersebut akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada resesi dan naiknya tingkat pengangguran.

Sebaliknya, jika kebijakan diarahkan untuk menjaga pemulihan dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pelonggaran fiskal dan moneter, tingkat inflasi akan makin tinggi. Oleh karena itu, pengambil kebijakan mungkin akan enggan untuk menarget tingkat inflasi ketika pertumbuhan ekonomi masih rendah seperti saat ini.

 

Kebijakan sisi penawaran

Bagaimana keluar dari kondisi simalakama stagflasi yang serbasulit ini? Sesungguhnya tidak ada jalan keluar yang mudah atas masalah yang didominasi gangguan sisi penawaran (supply-side shock) yang berasal dari kenaikan harga komoditas global ini.

Dalam jangka pendek, sayangnya mungkin tidak banyak yang dapat pemerintah dan Bank Indonesia lakukan. Terkadang cukup menerima bahwa simalakama tersebut memang nyata. Namun, pengambil kebijakan mungkin perlu menoleransi peningkatan inflasi sampai tingkat tertentu sambil tetap mengarahkan agar ekspektasi masyarakat terhadap inflasi tidak menjadi liar dan tak terkendali.

Di sini, kemampuan Bank Indonesia dalam memprediksi kinerja ekonomi jangka pendek dan jangka panjang serta melakukan pengaturan waktu (timing) yang tepat tentang kapan perlu ‘injak gas dan rem’ kebijakan moneternya menjadi sangat krusial.

Selanjutnya, pemerintah juga perlu mencoba memperingan dampak negatif yang ditimbulkan stagflasi melalui peningkatan anggaran perlindungan sosial untuk menjaga konsumsi masyarakat.

Untuk itu, kebijakan cash for work, seperti perbaikan irigasi dan infrastruktur desa, sebaiknya lebih diprioritaskan ketimbang sekadar bantuan yang bersifat derma saja. Kebijakan tersebut tidak hanya mencegah penurunan permintaan agregat, tapi juga membantu memperlancar produksi.

Selain itu, terdapat berbagai kebijakan sisi penawaran (supply-side policies) yang dapat diambil pemerintah. Pertama, perbaikan peraturan dan iklim usaha guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Kedua, peningkatan efisiensi sektor perusahaan negara melalui privatisasi atau korporatisasi, penghentian subsidi, dan penutupan BUMN-BUMN yang rugi dan tidak efisien. Ketiga, penguatan program pendidikan dan pelatihan prakerja guna membantu mengurangi pengangguran struktural dan membantu penciptaan lapangan kerja.

Terakhir, pemerintah perlu membatasi laju kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang tinggi yang jauh melebihi kenaikan produktivitas pekerja guna memutus rantai wage-price spiral inflation.

Beberapa kebijakan sisi penawaran tersebut mungkin akan sangat sulit dilakukan dan memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan dampaknya. Kebijakan-kebijakan itu sangat penting sebagai alternatif solusi untuk keluar dari ancaman simalakama stagflasi dan menyehatkan ekonomi nasional guna menjaga keberlanjutan pemulihan ekonomi pascapandemi covid-19.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya