Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
SEJAK Indonesia merdeka, Presiden Jokowi ialah presiden kedua yang mengunjungi Ende, Flores, NTT. Presiden sebelumnya ialah Soekarno. Ia berkunjung tahun 1951. Kerinduan rakyat Ende akan kedatangan presidennya terlihat dari lautan manusia yang menyemut di sepanjang jalan yang dilewati Jokowi (31/5). Mereka antusias dan ingin melihat Jokowi yang datang di kota yang dijuluki ‘sumber inspirasi lahirnya Pancasila’ itu.
Gegap gempita rakyat Ende menyambut Jokowi membuat aparat keamanan kewalahan membuat pagar betis agar iring-iringan rombongan presiden bisa lewat. Mereka tambah sibuk ketika Jokowi dan Ibu Iriana justru turun ke jalan, menyapa dan menyalami masyarakat yang histeris mengelu-elukannya. Seperti biasa, Jokowi sempat melayani mereka yang meminta ber-selfie. Bahkan, ia memanggil seorang suster biarawati yang menyambutnya di pinggir jalan agar mendekat ke mobilnya. Jokowi memberikan baju kepada suster itu.
Antusiasme masyarakat tak terbendung. Mereka ingin menyambut dan melihat presidennya. Maka ketika rombongan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Ende berniat melakukan aksi demo, kontan rakyat menghadangnya. Mobil komando yang disiapkan untuk berorasi dibelokkan keluar jalan utama. Netizens pun ramai mem-bully PMKRI. Padahal, menurut ketuanya, Siprianus Laka Ma’u, PMKRI Ende sekadar menyampaikan aspirasi dalam suatu aksi damai.
Kunjungan Jokowi ke Ende ialah untuk memimpin upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Lapangan Pancasila, 1 Juni 2022. Kenapa Ende yang dipilih? Menurut sejarah, di Endelah Bung Karno menggali butir-butir Pancasila. Kemudian Bung Karno mengumandangkan ideologi negara itu dalam pidatonya di depan BPUPKI, 1 Juni 1945. Pidato itu kemudian ditandai sebagai kelahiran Pancasila.
Pada mulanya, Bung Karno diasingkan ke Ende (1934-1936). Ia merasa kesepian karena rakyat takut berhubungan dengannya sebagai orang tawanan. Namun, Bung Karno beruntung karena mendapat sahabat. Mereka adalah para pastor yang tinggal di rumah SVD, yang ketika itu menjadi pusat misi. Rumah tempat pengasingan Bung Karno hanya sekitar 10 menit jalan kaki jauhnya dari rumah para pastor itu. Bung Karno sering bertandang dan berdiskusi dalam bahasa Belanda.
Mereka ialah Pater Gerardus Hujtink SVD, Pater J. Bouma SVD, dan Bruder Lambertus. Awal perkenalan, menurut cerita, Asisten Residen Ende meminta Pater Hujtink memeriksa dan menyensor naskah tonil (sandiwara) yang akan dipentaskan Bung Karno. Selama dalam pengasingan, Bung Karno mementaskan sandiwara di aula pastoran. Pater Hujtink tidak melakukan sensor sama sekali atas 12 naskah dari Kalimoetoe Toneel Club yang disusun Bung Karno. Salah satu judul naskah adalah Indonesia 45.
Pater Hujtink menjadi sahabatnya yang akrab. Misalnya, Bung Karno bebas membaca dan mempergunakan perpustakaannya setiap saat. Di akhir pekan, kalau ada tugas mengunjungi stasi di luar Kota Ende, Pater Hujtink selalu menitipkan kunci rumahnya, agar Bung Karno bebas masuk dan membaca buku koleksi perpustakaannya. Soekarno juga bersahabat dengan Bruder Lambertus, kepala bengkel kayu. Saat menjelang pementasan klub tonil Kalimoetoe yang dipimpinnya, ia dibantu Bruder Lambertus membuat dekor. Soekarno juga banyak bertukar pikiran dengan Pater Jan Bouma SVD. Ia menjadi mitra diskusi yang paling seru. Pater Bouma ketika itu menjadi Superior Regional SVD (1932-1947).
Mitra diskusi Bung Karno bertambah dengan kedatangan Pater M Van Stiphout SVD (1936), yang baru selesai studi doktoral di Roma bidang sejarah gereja. Ketika ia di Roma, Mussolini tengah berkuasa di Italia. Ia mengalami apa artinya hidup dalam fasisme. Bung Karno banyak berdiskusi soal kecenderungan meluasnya fasisme di dunia saat itu. Selain berdiskusi, Bung Karno juga berkesempatan membaca buku koleksi para pastor di biara. Mereka mendapat kiriman buku-buku baru tentang perkembangan dunia dan gereja.
Peneliti Daniel Dhakidae dalam Majalah Prisma edisi khusus Soekarno, Membongkar Sisi-sisi Hidup Putera Sang Fajar (Volume 32, Nomor 2 dan 3, 2003) menemukan beberapa pertanyaan dalam diskusi Bung Karno dan para pastor. Misalnya, “Dalam negara yang Anda cita-citakan itu, di mana kamu letakkan mamamu?” atau “Dalam negara yang Anda cita-citakan itu, di manakah kamu letakkan Flores?” Kedua pertanyaan itu berkaitan dengan agama dan kepercayaan, serta hak asasi yang dijamin negara (ibundanya dari Bali beragama Hindu, dan Flores mayoritas penduduk beragama Katolik). Apa jawab Bung Karno? “Mereka sama dan tidak dibeda-bedakan.” Dua pertanyaan itu disebut menyentuh hati Bung Karno karena menyangkut ibunya dan status Flores.
Bung Karno mendapat mitra diskusi yang setara dengan para pastor. Dari diskusi dan membaca buku koleksi para pastor itu, menurut Daniel Dhakidae, Bung Karno mendapat inspirasi ide sosialisme Katolik dari ensiklik Rerum Novarum (Zaman Modern) yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII, 15 Mei 1891. Pandangan ensiklik itu sejalan pemikiran Bung Karno yang mengritik kelemahan kapitalisme dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Selain itu, ia juga membaca Ensiklik Quadragesimo Anno yang dikeluarkan Paus Pius XI, 15 Mei 1931, sebagai peringatan 40 tahun Rerum Novarum. Ensiklik itu meneguhkan kembali ajaran sosial gereja bahwa keadilan sosial harus bertitik tolak dari konsep hak milik (ius proprietatis). Artinya, hak milik mengandung milik sesama. Seseorang harus mau berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Pandangan itu sebagai jawaban bahwa ‘tiadanya hak milik’ atau ‘kepemilikan kolektif’ ala komunisme sangat berbahaya.
Pandangan Rerum Novarum menginspirasi dasar keadilan sosial (iustitia socialis), yang kemudian diucapkan dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Ia menerjemahkannya dalam bahasa Belanda sociale rechtvaardigheid atau ‘keadilan sosial’. “Maka oleh karena itu jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingatkan dan mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid ini, ” kata Bung Karno. Dari gagasan pokok itu, akhirnya dirumuskanlah sila ‘Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia’. Bahkan dalam rumusan UUD RIS Pasal 26 berbunyi, “Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial”, sama seperti yang tercantum dalam ensiklik Rerum Novarum.
Dalam pengasingan di Ende, Bung Karno mengalami masa peralihan. Dari seorang aktivis politik, PNI yang didirikannya, menjadi seorang negarawan yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Selama di Ende, Bung Karno mendapat inspirasi dan menggali butir-butir Pancasila. Dikisahkan, Bung Karno suka merenung di bawah pohon sukun, yang kini berada di Taman Renungan Bung Karno.
Sebelum meninggalkan Ende untuk dipindahkan ke pengasingan di Bengkulu 1936, dalam diskusi dengan Pater Hujtink, Bung Karno meramalkan kemerdekaan RI akan terjadi tahun 1945. Pater Hujtink juga meramalkan bahwa Soekarno akan menjadi presidennya. Maka pada 1950, dalam kunjungannya ke Ende, dari atas podium, Bung Karno mencari sahabatnya, Pater Hujtink. Setelah Pater Hujtink menghadap, Bung Karno mengatakan bahwa dulu ia datang ke Ende sebagai tahanan, orang buangan. Ia mengaku banyak mendapat bantuan dari Pater Hujtink. Dalam kunjungan kala itu ia datang sebagai presiden. Ia menanyakan apa yang dimintanya. Pater Hujtink dengan singkat meminta kewarganegaraan Indonesia. Saat itu juga ia mengabulkan permintaan sahabatnya.
Jokowi, dalam kunjungan ke Ende kali ini, menyempatkan diri meninjau situs yang Bung Karno mendapatkan inspirasi dan menggali ideologi berbangsa dan bernegara itu. Ia melihat biara tempat Bung Karno pernah bersahabat dengan para pastor, berdiskusi, dan mendapat inspirasi untuk merumuskan butir-butir Pancasila. Ia meninjau “Beranda Bung Karno”, tempat Bung Karno berdiskusi dengan para pastor, dan perpustakaan biara tempat Bung Karno membaca buku, dan berbagai dokumen koleksi para pastor. Sejarah kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 yang dikumandangkan Bung Karno di depan BPUPKI tentunya tak lepas dari perenungan dan penggaliannya selama masa pengasingan di Ende.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved