Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
TIGA hari Jumat, Sabtu, dan Ahad tanggal 27, 28, dan 29 Mei 2022 ialah hari-harinya Buya Syafii Maarif: Buya. Hampir semua isu hangat dan aktual tenggelam dan ditenggelamkan oleh peristiwa meninggalnya Buya. Isu UAS yang ditolak masuk Singapura, isu capres, isu utang negara, apalagi isu reshuffle kabinet: semuanya tergeser dan tergusur.
Semua koran nasional edisi Sabtu, 28 Mei 2022 menggeser dan menggusur headline penting yang dipersiapkan sebelumnya untuk digantikan dengan berita duka wafatnya Buya. Empat koran nasional terbesar menghitami halaman pertama sebagai simbol duka dengan foto dan tulisan tentang Buya. Hanya ada Buya di halaman muka semua surat kabar negeri ini.
Televisi dan radio nasional semuanya menayangkan berita duka wafatnya Buya. Mereka menggelar talkshow berjam-jam tentang jejak langkah dan pemikiran Buya, dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang dipandang paling otoritatif untuk mencandra Buya dari seluruh sisinya. Para tokoh, pemimpin politik, budayawan, dan para aktivis nasional semuanya memberikan testimoni dan komentar tentang Buya.
Para penulis bebas (freelance) menuangkan tulisan-tulisan tentang Buya, yang dikirim ke berbagai media cetak dan online. Masyarakat luas pengguna media sosial mem-posting ungkapan belasungkawa, lengkap dengan gambar Buya di Instagram, Twitter, Facebook, Linkedin, dan lain-lainnya.
Takziyah virtual melalui zoom digelar oleh PP Muhammadiyah dan kelompok-kelompok lainnya tiga hari berturut-turut, dan masih berlanjut sampai sekarang dengan peserta ribuan orang. Salat gaib dan doa untuk Buya digelar bersama di mana-mana. Komunitas lintas agama dipimpin oleh para rohaniwan masing-masing juga memanjatkan doa untuk Buya.
Apalagi, sahabat-sahabat dan anak didik Buya yang memiliki relasi istimewa dan kedekatan dengan Buya: mereka mem-posting gambar-gambar dan foto-foto kebersamaan mereka dengan Buya. Mereka saling menceritakan bukan hanya kedekatannya dengan Buya, melainkan juga sisi-sisi kehidupan Buya yang sangat menarik, yang selama ini tersembunyi dan belum diketahui oleh publik. Tokoh-tokoh yang selama ini kurang bersetuju dengan pikiran-pikiran dan langkah Buya tersentak oleh wafatnya dan tiba-tiba merasakan kehilangan yang luar biasa.
Buya: sang magnet
Tiga hari itu benar-benar hari-hari Buya. Buya ialah magnet, yang memiliki daya dan gaya tarik serta gaya pesona yang kuat. Memang dalam bahasa Inggris ada kosakata mirip kata magnet, yaitu a magnate yang berasal dari bahasa Latin magnas atau magnus yang artinya great, yakni besar atau hebat. Kata magnas atau magnus artinya a great man (orang besar), yakni seorang ningrat (bangsawan, aristokrat) atau seseorang yang berada pada posisi sosial yang tinggi, yang diperoleh karena kelahiran, kekayaan, atau kualitas tertentu. Buya menjadi magnet dan magnate karena kualitasnya. Buya menjadi orang besar bukan karena dia tuan tanah (landowner), panglima perang (warlord), pangeran (earl), atau adipate (duke), atau apalagi Baron (baronage). Buya menjadi orang besar karena capaian (achievement).
Hari-hari itu membuktikan secara kasatmata, bahwa Buya adalah orang besar. Buya adalah a great man of Indonesia. Lagi-lagi, tanah Minang menyumbangkan putra-putra terbaiknya untuk menjadi orang besar milik bangsa dan negara ini. Buya ternyata sangat bisa disandingkan dengan Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan Agus Salim. Buya, meski tidak ingin menjadi orang besar, apalagi berobsesi ke sana, adalah satu di antara orang-orang besar Tanah Air. Singkatnya, meski bagi orang-orang dekatnya tampak biasa, Buya adalah orang besar!
Thomas Carlyle, seorang filosof sejarah, dalam On Heroes, Hero-Worship and the Heoic in History, mengatakan bahwa, “No great man lives in vain. The history of the world is but the biography of great men.” Tidak ada orang besar yang hidup sia-sia. Sejarah dunia seringkali adalah dan hanyalah sejarah orang besar. Tak heran, jika sejarah isinya seringkali adalah orang-orang besar belaka: apa yang disebut dengan sejarah sama dan sebangun dengan sejarah orang-orang besar. Singkatnya, sejarah adalah biografi orang besar. Dilihat secara saksama nyatanya memang peran orang besar (great man), sangatlah besar dan menentukan dalam sejarah.
Tidak harus melalui presiden
Apa yang terjadi pada Buya mengajarkan kepada generasi muda, bahwa untuk menjadi orang besar seseorang tidak harus menjadi raja, sultan, kaisar, presiden, atau pejabat tinggi negara lainnya. Memang dengan menjadi raja, sultan, atau presiden dengan sendirinya disebut orang besar. Namun, untuk menjadi orang besar orang tidak harus menjadi itu semua. Menjadi orang besar tidak harus melalui Istana. Orang bisa menjadi besar tanpa istana dan jabatan kenegaraan. Sejarah orang besar tidak melulu sejarah politik, melainkan bisa melalui sejarah sosial.
Memang tidak semua orang mempunyai keinginan menjadi orang besar. Namun, banyak orang yang ingin menjadi orang besar, bahkan ada pula yang berobsesi menjadi orang besar. Setidaknya, menjadi pembuat sejarah. Bukankah menurut ilmu psikologi setiap orang memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievment), dan dihargai atau diakui (need for recognition)? Setiap orang juga memiliki keinginan untuk menjadi pengukir sejarah. Juga faktanya, sejarah seringkali diukir hanya oleh orang-orang besar, dan mungkin karena itu, sejarah sangat bakhil melahirkan orang besar.
Namun, perlu ditekankan bahwa menjadi orang besar tidak harus melalui istana. Tidak menjadi penghuni istana tidak berarti tidak bisa menjadi orang besar. Buya Syafii telah membuktikannya. Pasti, Buya tidak secara sengaja menginginkan menjadi orang besar, apalagi punya obsesi ke sana. Buya adalah orang yang sederhana: sederhana hidupnya, sederhana cita-citanya, dan sederhana mimpinya. Namun, zaman telah membesarkannya. Buya menjadi besar lebih karena paksaan zamannya.
Kini nama Buya Ahmad Syafii Maarif tersimpan dalam sebuah monumen yang indah. Monumen untuk orang besar bukanlah dalam bangunan dari pualam, granit, atau perunggu yang indah gemerlapan; atau bangunan yang disakralkan, dimitiskan, dan dimistiskan yang dipenuhi dengan aura khurafat. Monumen sejati bagi orang besar, yang sejati berupa ‘monumen’ kebaikan-kebaikannya, tindakan-tindakannya, jejak langkahnya, cintanya, dan kasih sayangnya kepada kemanusiaan yang universal. Di monumen seperti itulah kebesaran Buya tersimpan.
Kita mengenang Buya bukan untuk memperpanjang kesedihan. Apalagi, sebaliknya, mengenangnya untuk mengapitalisasi kematiannya untuk tujuan-tujuan duniawi. Bukan! Kita mengenang kematiannya untuk belajar hidup yang baik dan berguna. Kita perlu belajar dari Buya. Meninggalnya Buya cukup untuk menjadi nasihat dan peringatan (wa’idh) bagi kita, khususnya generasi muda Muhammadiyah.
Saya optimistis, bahkan yakin, akan lahir ‘Buya-Buya Baru’ dari rahim bangsa Indonesia, rahim umat, dan siapa tahu dari rahim Muhammadiyah lagi. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Kita yakin akan hal itu. Insya Allah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved