Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
PERJALANAN panjang pasar modal di Indonesia, yang telah mencapai 70 tahun menjadi isu menarik. Tidak hanya terkait dengan keperilakuan investor, tetapi juga ancaman risiko yang ada. Oleh karena itu, saat Presiden Soekarno membuka kembali pasar modal Indonesia pada 3 Juni 1952 secara tidak langsung memberikan harapan terhadap pemenuhan pendanaan di semua sektor. Hal ini menjadi penting karena memang kebutuhan pendanaan cenderung semakin meningkat, selaras dengan keberagaman kebutuhan pembangunan. Di satu sisi, tidak bisa dimungkiri bahwa alokasi anggaran negara cenderung semakin terbatas. Namun, di sisi lain, kebutuhan pembangunan semakin besar sehingga hal ini menuntut adanya ruang untuk mengakomodasi kedua kepentingan tersebut.
Pasar modal memang memungkinkan terjadinya interaksi, antara pihak yang butuh dana dan pihak lain yang ingin menginvestasikan kelebihan dananya. Sinergi ini menjadi nilai cuan yang memberikan keuntungan, terutama dalam bentuk capital gain. Meski di sisi lain ada juga risiko yang harus dihadapi misalnya capital loss. Investor tentu berharap mendapat keuntungan profit dalam bentuk capital gain. Oleh karena itu, mereduksi risiko menjadi tantangan bagi investor, dan hal ini sejatinya bisa dipelajari, meski juga tidak bisa terlepas dari keperilakuan dalam mencermati pergerakan harga saham. Artinya, penutupan IHSG juga menarik dicermati, setidaknya untuk meraih gain dan mereduksi risikonya.
Fakta
Data IHSG sepekan terakhir menunjukkan tren peningkatan, misalnya penutupan pada 23 Mei IHSG mencapai 6.831,99, lalu pada 24 Mei menjadi 6.933,84, dan pada 25 Mei turun di 6.883,78. Namun, pada 26 Mei naik menjadi 7.014,65 dan pada 27 Mei menjadi 7.037,56. Hal ini menunjukkan adanya sentimen positif terhadap geliat bursa pascapandemi yang mengarah kepada optimisme endemi. Keyakinan dan optimisme bursa juga dipengaruhi faktor eksternal, misalnya The Fed yang pasti akan mengambil langkah-langkah jitu untuk menjaga stabilitas moneter, termasuk juga komitmennya menjaga inflasi.
Terkait dengan ini ada juga keyakinan bahwa tidak akan ada kenaikan suku bunga yang rentan memicu kepanikan publik terutama investor karena ini berdampak signifikan terhadap ekonomi, baik secara global maupun nasional. Bagaimanapun juga laju inflasi dan tingkat suku bunga memang sangat rentan terhadap gejolak fiskal dan moneter sehingga ini sensitif terhadap geliat bursa, tidak hanya di lingkup regional, tapi juga global.
Penguatan harga saham pastinya dipengaruhi oleh fundamental internal dan juga imbas dari faktor eksternal. Oleh karena itu, menjaga kepastian pasar menjadi salah satu aspek penting untuk membangun kepercayaan dan optimisme investor. Terutama, pemburu cuan dan rente dari geliat pasar modal. Hal ini memang dibenarkan karena memang investor selalu berharap mendapat profit – cuan terbesar yang sekaligus mampu mereduksi risiko yang ada dari semua derivatif dan portofolio dalam investasinya.
Hal yang juga menarik dari pergerakan saham sepekan terakhir ialah sektor ritel, yang mendapat dorongan tentang rencana Inggris untuk meningkatkan aktivitas ekonomi. Terkait dengan ini, Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak menegaskan bahwa pemerintah Inggris berusaha keras untuk dapat mengatasi krisis, termasuk imbas dari perang yang terjadi. Apa yang dilakukan Inggris diyakini akan ditindaklanjuti sejumlah negara lain. Termasuk dari Tiongkok, sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi sehingga pengaruhnya cukup besar.
Keyakinan pasar terhadap bursa menjadi stimulus investor untuk melantai dan tentu bisa berharap mendapat cuan dan profit dari bursa.
Fakta menunjukkan bahwa pandemi justru menjadi alasan masuknya sejumlah investor terutama dari kalangan kaum muda milenial, dan tentu ini menjadi sangat menarik untuk dikaji. Temuan menunjukkan bahwa hadirnya kaum muda milenial menjadi bukti bahwa pandemi yang penuh ketidakpastian menjadi muara dari semakin sadar dan aspek meleknya kaum muda milenial untuk berinvestasi. Realitas menegaskan bahwa pilihan investasi sejatinya sangat beragam dan pasar modal menjadi salah satu alternatif pilihan yang paling rasional. Meski, tetap harus cermati untuk dapat mereduksi semua risikonya, termasuk misalnya risiko capital loss.
Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia, hingga Maret 2022, jumlah investor pasar modal mencapai 8,39 juta investor, atau naik 12,13% jika dibandingkan dengan akhir 2021 yang sebanyak 7,49 juta investor.
Bandingkan dengan 2019, yaitu 2.484.354 orang dan pada 2020 sebanyak 3.880.753 investor. Kumulatif investor tersebut terdistribusi dalam investasi reksadana sebanyak 7.737.334 investor, atau naik jika dibandingkan dengan 2021, yaitu 6.840.234 investor. Sementara itu, pada 2019 hanya 1.774.493 dan pada 2020 sebanyak 3.175.429 investor.
Data lain investor surat berharga negara pada Maret 2022 mencapai 672.242 investor, atau naik dari 2021 sebanyak 611.143 orang, dan pada tahun 2019, yaitu 316.263 investor dan pada 2020 sebanyak 460.372 orang. Investor pada saham per Maret 2022 mencapai 3.747.346 investor, atau naik dari 2021 sebanyak 3.451.513 orang. Bandingkan pada 2019, yaitu 1.104.610 investor dan pada 2020 sebanyak 1.695.268 investor.
Yang juga menarik dicermati, ternyata keberagaman perilaku investor bisa dilihat terkait dengan pendapatannya. Data menunjukkan investor berpenghasilan antara Rp10 juta-Rp100 juta justru mendominasi, yaitu mencapai 50,88% dengan total aset investasi Rp172,82 triliun. Lalu, pendapatan kurang Rp10 juta mencapai 37,81% dengan total aset investasi Rp149,76 triliun. Selanjutnya, pendapatan Rp100 juta-Rp500 juta yang memiliki aset investasi Rp227,96 triliun, sedangkan yang berpendapatan Rp0,5 miliar-Rp1 miliar hanya 1,44% dengan total aset mencapai Rp164,87 triliun dan pendapatan investor lebih dari Rp1 miliar, yaitu 0,53% jumlah aset mencapai Rp206,38 triliun. Data ini mencerminkan sebaran perilaku investor di bursa.
Kepastian
Terlepas keperilakuan investor yang beragam, pastinya pasar modal menjanjikan peluang dan kesempatan untuk mendapatkan cuan, meski di sisi lain juga ada risiko yang harus diminimalkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak melantai di bursa, dan fakta bahwa 6 dari 10 investor di pasar modal Indonesia ialah kelompok anak muda milenial berusia di bawah 30 tahun menjadi catatan yang sangat menarik.
Artinya, kesadaran dan melek investasi sudah tertanam di persepsian kaum muda milenial, dan tentu hal ini bisa menjadi muara untuk edukasi dan literasi secara sistematis dan berkelanjutan. Pasti ada banyak manfaat di balik keterlibatan kaum muda milenial ketika berinvestasi, dan realitas ini menjadi stimulus yang sangat baik, untuk prospek pasar modal ke depannya.
Prospek pasar modal bisa dilihat dari data 5 tahun terakhir, dan fakta investasi pada pasar modal mulai menjadi tren. Terutama, bagi instrumen saham sehingga saham mulai banyak dilirik investor domestik. Pada 2020, terjadi peningkatan transaksi saham sebesar 58,48% jika dibandingkan dengan 2015. Sebagai perbandingan, misalnya 2021, Kementerian Investasi/BKPM menyebutkan realisasi investasi triwulan II 2021 naik 16,2% jika dibandingkan dengan periode yang sama 2020 (Rp191,9 triliun). Capaian investasi pada periode Januari–Juni menyumbang 49,2% terhadap target yang telah direvisi, menjadi Rp900 triliun dan menyerap tenaga kerja Indonesia sebanyak 311.922 orang.
Realitas ini menjadi acuan bahwa pasar modal memang menjanjikan bagi pendanaan pembangunan dan imbas bagi penyerapan tenaga kerja, terutama yang bersifat padat karya. Selain itu, ketertarikan dari kaum muda milenial terhadap geliat bursa ini juga menjadi sentimen positif bagi edukasi, dan literasi secara sistematis dan berkelanjutan sehingga daya tarik bursa kian prospektif, meski tetap harus memperhatikan semua ancaman risiko yang ada. Setidaknya, akan bisa mereduksi ancaman risiko dari tawaran investasi bodong.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved