Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Diaspora Nahdiyin dan Penyebaran Islam Inklusif

Sukron Ma’mun Nahdiyin di Sydney, Australia, sedang menyelesaikan program doktor di Western Sydney University
28/5/2022 05:00
Diaspora Nahdiyin dan Penyebaran Islam Inklusif
(MI/Duta)

MENJELANG seabad usianya, Nahdlatul Ulama menggaungkan pesan damai untuk peradaban dunia dengan tema Merawat jagat, membangun peradaban. Tema ini menyiratkan banyak pesan bahwa NU ingin memiliki kontribusi yang positif bagi perkembangan peradaban umat, yang tentu saja bukan hanya muslim di Indonesia, tapi juga seluruh jagat.

Semangat tersebut tentu bukan hal yang berlebihan, mengingat peradaban masyarakat dunia yang damai tentu menjadi harapan bagi seluruh umat manusia. Damai dalam artian ketenangan hidup, tercukupinya kebutuhan dan kenyamanan religi. Pada konteks kenyamanan dan kepentingan religi inilah yang acap kali menjadi sumbu awal munculnya permasalahan. Meskipun tentu saja kecukupan kebutuhan hidup, meliputi sandang, pangan, dan tempat tinggal tetap menjadi pokok persoalan yang tidak kalah pelik, dan kadang sumber utamanya.

Hubungan antarumat dalam masyarakat multikultur dan plural acap kali menimbulkan dinamika kehidupan yang cenderung destruktif. Kasus yang kadang muncul ialah gesekan antarumat beragama ataupun antaretnik. Di Indonesia, kasus ini sering kali terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa. Hal demikian juga terjadi dalam masyarakat di negara lain.

 

Memahami keberagaman dan masalahnya

Bagi masyarakat Indonesia diaspora, perlu kiranya kita belajar memahami keberagaman dan persoalan yang timbul. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini mungkin keberagaman beragama pada masyarakat muslim di Australia. Posisi paling tinggi dalam persentase masyarakat beragama di Australia diduduki oleh agama Kristen (22,2%), Islam (2,6%), Buddha (2,4%), Hindu (1,9%), Sikh (0,5%), Yahudi (0,4%), lainnya (0,4%), dan tanpa agama (30,1) (ABS Census 2016).

Islam menduduki posisi kedua masyarakat beragama setelah Kristen dengan berbagai sektenya. ‘Sekte’ agama Islam pun juga sangat beragam, meskipun tampaknya Sunni paling dominan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai asal negara kaum muslimin, juga berbagai aktivitas keagamaan yang diselenggarakan di Islamic center ataupun masjid-masjid yang ada di Australia.

Namun, bukan berarti kehidupan antarumat beragama di Australia sangat ideal dalam konteks pluralitas, meskipun sejauh ini tidak banyak kasus yang melibatkan retak sosial karena agama. Potensi konflik sosial tentu saja tetap ada sekecil apa pun, khususnya yang menyangkut hubungan antarumat beragama. Bahkan sejarah antarumat beragama yang kurang menyenangkan juga acap kali terjadi, seperti diskriminasi, kekerasan, dan pembatasan imigran hanya untuk orang Eropa (White Australian Policy) (Edwards, 2018).

Dalam kehidupan sosial-agama hingga saat ini, mungkin masih tersisa kecurigaan dan kebencian terhadap Islam (Islam phobia). Misalnya, musala kampus menjadi target kebencian, seperti kasus pembuangan sampah di Universitas Sydney, pembuangan kepala babi di Universitas Western Australia (Kembrey 2016), serta pada 2018 ada mahasiswi Indonesia berjilbab yang diserang sekelompok orang (Whyte, 2019).

 

Keberagamaan masyarakat diaspora

Masih dalam kasus yang sama, muslim Australia berangkat dari berbagai negara, seperti Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan benua lainnya. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki tradisi dan budaya yang berbeda, tentu saja dalam ‘berbudaya’ Islam. Ada yang sangat religius, moderat, ataupun tidak peduli dengan keislamannya.

Kelompok masyarakat agama yang religius dan cenderung fanatik beranggapan bahwa agama harus disebarkan, atau minimal nilai keagamaannya harus diperkuat.

Hal ini yang kemudian menumbuhkan kesadaran ‘berlebihan’ terhadap agama. Keinginan ‘berlebih’ inilah yang tidak jarang memicu fanatisme buta, serta mengabaikan situasi sosial budaya di sekelilingnya. Fanatisme buta justru akan menumbuhkan cara pandang dan perilaku yang intoleran. Muncul kelompok-kelompok agama fanatis yang dapat menjadi tantangan bagi masyarakat multikultur.

Dalam masyarakat digital saat ini, masifnya arus informasi bukan tidak menutup kemungkinan saling memberikan dampak, baik positif maupun negatif. Kelompok agama fanatik menjadi semakin kuat fanatismenya boleh jadi karena gesekan dengan media atau guru (murrabi) yang juga fanatik. Problem ini, meskipun belum menimbulkan persoalan serius di negara seperti Australia atau belum ada data valid dari penelitian, patut mendapatkan perhatian.

Kelompok ini memungkinkan membangun kesadaran beragama dan berafiliasi dengan kelompok yang senada. Lebih jauh, bisa saling memberikan pengaruh kepada kelompok lain di negara yang berbeda, khususnya negara asalnya. Bangunan kesadaran agama yang ‘rapuh’ menumbuhkan sikap dan bertindak dalam beragama yang rapuh pula. Efek domino selanjutnya, kadang menyalahkan pihak lain yang tidak ‘seiman’ dengan keyakinannya sebagai sesuatu yang sesat dan zalim. Masyarakat diaspora yang memiliki komunitas banyak dari asal negaranya memungkinkan memiliki problem demikian.

 

Spirit nahdiyin

Fanatisme buta dapat menimbulkan persoalan yang serius dalam kehidupan sosial, beragama, dan bernegara. Salah satunya perilaku intoleransi. Lantas, bagaimana persoalan tersebut harus diatasi? Tentu caranya tidak mudah dan membutuhkan proses, sama halnya dengan bagaimana munculnya fanatisme dan intoleransi tersebut disemai.

Dalam masyarakat multikultur dan sekuler, upaya menumbuhkan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati orang lain perlu diupayakan dengan membentuk habitus. Habitus bukan hanya persoalan kebiasaan, tapi juga terkait kesadaran pengetahuan, persepsi, cara menyikapi, dan mengambil tindakan (Bourdieu 1997). Seseorang memiliki habitus toleran dan damai dengan orang lain, bukan hanya sebatas ia dibiasakan, tapi juga hasil serapan pengetahuan, memersepsi orang lain, bersikap dan bertindak toleran. Faktor subjektivitas dan objektivitas sangat memengaruhi dalam proses tersebut.

Dalam kasus di atas, misalnya, bagaimana tumbuhnya kelompok islamis fanatik. Hal demikian muncul karena ada pengetahuan yang diserap, persepsi yang dibangun, sikap yang ditunjukkan, dan lingkungan yang memengaruhi. Dengan begitu, dari mana ia belajar akan memengaruhi persepsi terhadap kondisi yang dihadapi. Situasi dan pergaulan juga akan menentukan tindakan seseorang. Seseorang yang belajar dari orang yang fanatik akan melahirkan cara pandang yang sempit. Pergaulan dengan kelompok yang eksklusif menumbuhkan sikap yang tertutup pula. Demikian halnya situasi yang mengitarinya, akan semakin menguatkan cara padang dan membentuk sikap.

Diaspora muslim Indonesia di Australia, misalnya, adalah fenomena yang luar biasa dan telah menumbuhkan cara beragama yang beragam pula. Meskipun belum ada penelitian terkait muslim Indonesia di Australia, kelompok-kelompok pengajian yang terbentuk merepresentasikan cara mereka beragama dan cara mereka bersikap dalam kehidupan sosial, agama, dan bernegara. Tentu saja, beragam dan menarik untuk dilihat lebih dalam. Namun, hal yang perlu diantisipasi ialah tumbuhnya sikap keagamaan yang eksklusif karena hal demikian berpotensi memberikan ancaman bagi keutuhan masyarakat beragama, bukan hanya di negara rantau, tetapi juga di dalam masyarakat dalam negeri.

Masyarakat ‘rantau’ ke negara-negara Barat sering kali menjadi representasi ‘kesempurnaan’ dalam pengetahuan dan pengalaman sehingga memiliki potensi untuk menjadi panutan sekembalinya ke Tanah Air, atau bahkan sebelum mereka kembali. Terlebih, dalam dunia digital yang semakin terbuka saat ini, bukan tidak mungkin saling memengaruhi lintas negara akan sangat terbuka. Pertukaran informasi akan mempercepat proses pembentukan masyarakat. Artinya komunitas luar negeri bisa dengan cepat memberikan pengaruh kepada komunitas dalam negeri, atau juga sebaliknya.

Meski demikian, harapan terbentuknya komunitas yang inklusif dengan habitus damai juga sangat dimungkinkan terjadi. Komunitas muslim inklusif juga sebaliknya harus tidak segan menularkan habitus toleran dan damai kepada masyarakat multikultur. Warga nahdiyin, yang dikenal dengan cara pandang dan sikap inklusifnya dengan segala elemennya baik secara formal maupun kultural, harusnya dapat mengambil peran dalam proses hal ini.

Bagi nahdiyin, tema Merawat jagat, membangun peradaban seharusnya mampu diartikulasikan dalam segala ranah dan wilayah. Tentu bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia, mengingat tujuan besar dari cita-cita tersebut ialah menyebarkan benih-benih kehidupan umat Islam yang mampu mengayomi dan menerangi peradaban masyarakat dunia.

NU telah melakukannya sejak organisasi ini berdiri, dan dunia telah menyaksikannya. Namun, masyarakat dunia perlu merasakan spirit NU tersebut hadir dalam komunitasnya. Ide besar itu telah diajarkan dan diwariskan oleh para ulama, baik secara organisatoris maupun secara kultural. Hadirnya warga nahdiyin di berbagai belahan dunia seharusnya mampu memberikan percikan spirit tersebut, khususnya melalui pengurus cabang istimewa (PCI). Setidaknya, saat ini telah terdapat lebih dari 35 PCI NU yang tersebar di berbagai belahan dunia. Ini menunjukkan potensi yang besar menyebarkan spirit Islam insklusif yang dapat menjadi rahmat bagi masyarakat dunia.

Kaum nahdiyin perlu menumbuhkan habitus insklusif dalam beragama melalui berbagai media yang dikuasai. Misalnya, penyebaran pengetahuan melalui pengajian yang dibuat, cara membawa diri yang mampu menunjukkan pribadi muslim dengan peradaban tinggi, juga cara menyikapi masyarakat multikultur dan plural. Beberapa komunitas muslim di Australia, misalnya, memberikan apresiasi yang positif terhadap komunitas nahdiyin karena cara pandang dan sikap keagamaan yang dibawakannya. Cara pandang yang terbuka dan sikap yang santun menjadikan kelompok Islam phobia memiliki wawasan baru tentang Islam.

Spirit Islam inklusif dan habitus damai umat Islam sebagai karakter muslim Indonesia harus terus digaungkan dan dikembangkan kaum nahdiyin di mana pun. Karena, yang demikian merupakan salah satu cara merawat jagat dan membangun peradaban umat manusia. Tentu, NU dengan pengurus cabang istimewanya, sudah atau sedang merumuskan secara taktis dan strategis bagaimana hal tersebut dapat terwujud.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya