Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
MEMIMPIN adalah menderita. Menelusuri sumber asal kalimat ini tidaklah susah. Namun, dua kata utama--memimpin dan menderita--dulu pada zaman perjuangan menuju revolusi kemerdekaan bangsa menyatu padu. Siapa pun yang bersedia memimpin harus siap menderita.
Namun, dalam konteks kekarut-marutan belantika politik Indonesia, kesatuan dua kata itu sudah sangat jarang dijumpai. Keduanya seolah terpisah bak minyak dan air. Kini, semakin susah menemukan sosok pemimpin politik yang mau menderita. Kebanyakan, kalau tak mau disebut semuanya, hanya mau tahu manisnya kursi kekuasaan dan tak mau tahu bahwa sebagai pemimpin, merasakan pahit dan getir adalah sesuatu yang lumrah.
Banyak pemimpin yang haus akan puja dan puji. Mereka semakin berjarak dengan rakyat. Mereka tidak lagi dapat menghayati amanat penderitaan rakyat. Mereka lebih senang menerima 'duli tuanku' ketimbang menginsafi diri sebagai pelayan rakyat. Dalam keadaan ini, mereka hanya tampil dekat dengan rakyat manakala amat membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.
Patut disyukuri, makna dari memimpin adalah menderita masih mudah dijumpai dalam kepemimpinan organisasi sosial dan keagamaan. Tipologi kepemimpinan semacam ini masih ada. Sebut saja, pejuang-pejuang kemanusiaan di organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah. Sekalipun tanpa sorotan kamera atau liputan media massa, mereka tetap mau memimpin sekaligus menderita dengan membangun ruang didik, merekrut, atau menjadi pendidik dan menunjukkan aksi-aksi kemanusiaan dengan disertai cucuran keringat, bahkan air mata.
Ketangguhan mental kader-kader pendidik dan pejuang kemanusiaan Muhammadiyah itu dapat disaksikan ketika mereka memimpin aksi-aksi kemanusiaan dalam membantu korban bencana alam. Barangkali, sudah banyak yang tahu para petugas kesehatan persyarikatan ini pontang-panting ikut menangani pandemi covid-19, dan tak sedikit di antaranya yang kehilangan nyawa.
Pionir dan unggulan
Makna memimpin itu menderita juga tecermin pada laku para pemimpin Muhammadiyah mulai ranting sampai pusat. Juga pejuang Muhammadiyah yang menggawangi amal usaha ormas yang lebih dulu hadir dari Republik ini. Sekadar mengingatkan, sejak Indonesia belum merdeka, Muhammadiyah telah bergiat di tiga sektor utama, yakni pendidikan, kesehatan, dan ranah kesejahteraan sosial. Tak terhitung jumlah sekolah mulai SD hingga perguruan tinggi, rumah sakit, atau lembaga-lembaga sosial seperti panti jompo, panti asuhan yatim, dan balai latihan dan keterampilan yang dinaungi persyarikatan ini. Mereka yang menggawangi lembaga-lembaga itu tak jemu-jemu berjibaku menguatkan kebajikan dan keadaban di tengah-tengah publik. Mereka amat paham bahwa memimpin itu harus menderita.
Semua daya dan upaya para pejuang kemanusiaan Muhammadiyah tak dapat dilepaskan dari kehadiran gerakan-gerakan angkatan muda Muhammadiyah, IPM, IMM, Nasyiatul Aisyiyyah, dan Pemuda Muhammadiyah, sejak berdiri hingga kini. Angkatan muda Muhammadiyah itu tak habis-habis menyuplai para pejuang baru persyarikatan. Sebab itu, batin angkatan muda itu harus tumbuh dari nur iman yang mencerahkan dan berkemajuan.
Seperti dikutip Yudi Latif (2014), Bung Karno yang juga tokoh Muhammadiyah dalam peringatan Isra Mikraj 7 Februari 1959 mengatakan, ”Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin mikraj—kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).”
Jika boleh penulis selaraskan ungkapan Bung Karno itu dalam konteks persyarikatan ini, sesuai dengan pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada satu kesempatan, ia menekankan bahwa angkatan muda Muhammadiyah harus menjadi pionir dan unggulan dalam memajukan persyarikatan ini dan bangsa. Syaratnya, mereka harus mempunyai pergaulan luas, tetap menjaga muruah diri, memahami roh ajaran Islam dan karakter Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah yang mencerahkan, yang memberi ruang pada ijtihad, tajdid, dan visi Islam yang reformis dan modern. Haram bagi angkatan muda Muhammadiyah bersikap konservatif, apalagi fanatik, yang langkah-langkahnya tidak mencerminkan kemajuan. Mutlak bagi angkatan muda Muhammadiyah mempunyai mental berkemajuan dalam berjuang di ranah pendidikan, kesehatan, sosial, dan bahkan di ranah politik.
Sebagai panduan sikap mental berkemajuan, para tokoh Muhammadiyah dapat dirujuk. Teladan mental berkemajuan dari tokoh-tokoh Muhammadiyah pernah ditulis Abdul Kohar dalam koran ini, judulnya 'Mental Muhammadiyah'. Di kolom yang sama Abdul Kohar (2020) juga pernah menulis tentang 'Memimpin itu Menderita'. Menurutnya, tidak ada pemimpin hebat yang lahir di zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat yang tumbuh dari zona nyaman. Bahkan, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul 'Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita' (Prisma No 8, Agustus 1977).
Demikianlah, semoga catatan penulis ini dapat ditimbang menjelang diselenggarakan Tanwir II Pemuda Muhammadiyah 4-6 Maret di Jambi. Mental berkemajuan yang dimiliki pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dulu itu semestimya ialah mental pemuda Muhammadiyah hari ini. Semoga saja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved