Selasa 01 Maret 2022, 22:55 WIB

Setelah 44 Tahun Tuntunan Pengeras Suara Masjid dan Musala

Mujiburrahman, Guru Besar Sosiologi Agama dan Rektor UIN Antasari Banjarmasin | Opini
Setelah 44 Tahun Tuntunan Pengeras Suara Masjid dan Musala

Dok pribadi
Mujiburrahman

 

KONTROVERSI tak berkesudahan perihal pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, sebaiknya dihentikan. Sekurang-kurangnya hal itu karena dua alasan; pertama, Menteri Agama yang membuat pernyataan itu telah memberikan klarifikasi dengan disertai bukti transkrip wawancara terkait di Pekanbaru. Beliau sama sekali tidak membandingkan antara gonggongan anjing dan suara azan. 

Klarifikasi ini sudah cukup karena orang yang tahu maksud dan makna dari pernyataan yang dikatakannya adalah orang yang mengatakannya. Orang lain mungkin saja memaknai pernyataan itu secara berbeda, tetapi seharusnya perbedaan itu selesai dengan klarifikasi dari pembuat pernyataan. Kedua, debat kusir soal gonggongan anjing itu justru melupakan kita pada substansi, pokok pesan yang dikandung oleh surat edaran. Kita akhirnya sibuk berpolemik tentang sesuatu yang sekunder, bukan primer. Kita latah berbicara soal kulit, bukan isi. Akibatnya, hanya menghabiskan energi untuk sesuatu yang dangkal bahkan sia-sia.

Mari kita telaah isi surat edaran (SE) ini, yang menurut saya, dapat membantu kita untuk membangun hubungan sosial yang harmonis, baik intra ataupun antar umat beragama. SE ini juga sejalan dengan gagasan moderasi beragama yang menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah. Selain itu, SE ini memiliki pendahulu yang tak kalah penting, yang telah dikeluarkan pemerintah sekitar 44 tahun silam, yakni Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musalla, tertanggal 17 Juli 1978. Instruksi ini dapat membantu kita melihat kesinambungan dan perubahan yang terjadi dan menindaklanjutinya.

Instruksi Dirjen Bimas Islam 

Instruksi tersebut dikeluarkan pada masa Orde Baru yang ditandatangani Dirjen Bimas Islam Drs HA Kafrawi, MA. Menteri Agama saat itu adalah Alamsyah Ratu Perwiranegara, seorang jenderal tentara. Alamsyah dikenal antara lain karena gagasannya tentang triologi kerukunan, yakni kerukunan antarumat beragama, intra-umat beragama, dan antarumat beragama dan pemerintah. 

Alamsyah juga telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait hubungan antaragama yang cukup kontroversial, dan mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia. Ungkapan ini tampaknya disampaikannya sebagai upaya mengobati konflik antara kekuatan politik Islam dan pemerintah terkait Tap MPR mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) dan Aliran Kepercayaan pada 1978, dan konflik terkait RUU Perkawinan pada 1974.  

Di sisi lain, agenda utama Orde Baru adalah pembangunan atau modernisasi. Slogan yang sering kita dengar ketika itu adalah pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Sejak naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan pada 1967, ekonomi Indonesia bergerak maju dan pembangunan di berbagai sektor digalakkan. Hal ini tentu saja menimbulkan perubahan di masyarakat dari segi kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan. Pada masa ini, urbanisasi semakin tinggi, meskipun pemerintah juga berusaha menebar penduduk ke wilayah-wilayah di luar Jawa yang jarang penduduknya melalui program transmigrasi. Akibatnya, masyarakat menjadi semakin heterogen dari segi etnis maupun agama, terutama di kota-kota. 

Salah satu wujud modernisasi saat itu adalah semakin maraknya penggunaan pengeras suara di langgar dan musala. Kita maklum bahwa sebelum penggunaan pengeras suara, masyarakat menggunakan beduk untuk memberitahu waktu salat tiba. Setelah beduk ditabuh, baru azan dikumandangkan tanpa pengeras suara. Namun, lama-kelamaan, seiring modernisasi, penggunaan pengeras suara, 'telah menyebar sedemikian rupa di seluruh Indonesia, baik untuk adzan, iqomah, membaca ayat Alqur’an, membaca doa, peringatan hari besar Islam, dan lain-lain,' catat instruksi dirjen itu. 

Selanjutnya, instruksi dirjen menyatakan bahwa penggunaan pengeras suara tersebut, "Selain menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syiar kehidupan keagamaan, juga sekaligus pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya yang kurang memenuhi syarat."

Keuntungan dan kerugian

Dengan latar belakang tersebut, Dirjen Bimas Islam melaksanakan Lokakarya Pembinaan Perikehidupan Beragama Islam (P2A) tentang penggunaan pengeras suara masjid dan musala pada 28-29 Mei 1978 di Jakarta. Lokakarya ini menghasilkan rumusan tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Dalam lampiran instruksi tersebut dijelaskan bahwa penggunaan pengeras suara bisa menimbulkan keuntungan tetapi bisa juga kerugian, jika penggunaannya tidak sesuai dengan tuntunan agama dan situasi yang dihadapi.

Pengeras suara dapat membantu menyampaikan pesan agama kepada khalayak yang luas dan jauh, tetapi juga dapat menganggu orang yang sedang istirahat atau beribadah di rumah. Di satu sisi ajaran Islam mendorong perlunya menyemarakkan syiar agama, tetapi di sisi lain, Islam juga mengajarkan bahwa kita wajib menghormati tetangga, dan bahwa suara tinggi yang dapat menimbulkan gangguan kepada orang lain tidak dibolehkan. 

Kesemuanya itu mendorong umat Islam untuk mencari cara-cara yang bijaksana di antara melaksanakan syiar, dan menjaga keutuhan hidup bertetangga, yang tidak menimbulkan sesuatu gangguan, bahkan keharmonisan dan rasa simpati yang timbal balik.

Jalan keluar dari dilema tersebut adalah pembedaan pengeras suara untuk ke dalam dan ke luar (instruksi ini menyebutnya corong ke dalam dan ke luar), serta pembatasan waktu maksimal untuk penggunaan pengeras suara luar. Hal ini merupakan jalan tengah antara melarang penggunaan pengeras suara luar sama sekali dan membebaskan secara total. Yang dipilih adalah pembatasan. 

Suara yang disalurkan melalui pengeras suara luar pada dasarnya hanya azan saja. Namun, dalam rinciannya, instruksi ini membolehkan penggunaan pengeras suara luar lain seperti pembacaan Alqur’an lima menit sebelum azan salat Zuhur atau Jumat, dan 15 menit sebelum salat Subuh. Selain itu, pengeras suara luar juga digunakan waktu takbiran Idul Fitri dan Idul Adha (termasuk hari tasyrik). Selebihnya, seperti iqamah, doa, zikir, tadarus, ceramah agama (kecuali jemaahnya hingga keluar masjid), semuanya menggunakan pengeras suara dalam.

Yang cukup menarik pula dari Instruksi ini adalah beberapa catatan yang ditekankan agar suara yang ditampilkan melalui pengeras suara itu layak dan enak didengar. Untuk itu dianjurkan agar perawatan alat pengeras suara masjid dan musala dikerjakan oleh seorang yang terampil, bukan asal-asalan sehingga tidak menimbulkan 'suara-suara bising atau berdengung'. 

Pengisi suara juga harus fasih, merdu dan enak didengar, tidak sumbang. Instruksi juga mengingatkan agar kita menghindari 'mengetuk-ngetuk pengeras suara', mengulang kata-kata seperti 'percobaan, satu-dua', 'berbatuk atau berdehem melalui pengeras suara'. Jika memutar kaset hendaknya diperhatikan awal dan akhirnya, hingga tidak diputus semaunya. Harus dipastikan bahwa kasetnya masih mengeluarkan suara yang baik.

Akhirnya, lampiran instruksi ini juga memerhatikan perbedaan suasana di kota dan desa. 'Khusus di kota-kota besar anggota masyarakat tidak lagi memiliki jam yang sama untuk bekerja, pergi dan pulang ke rumah, sangat terasa sekali. Sebagaimana juga sifat majemuknya masyarakat kota yang rumah-rumah di sekitar masjid, tidak jarang dihuni oleh mereka yang berlainan agama. Bahkan orang yang berlainan kewarganegaraan seperti para diplomat atau pegawai asing.'

Setelah menggambarkan keadaan kota, digambarkan pula keadaan desa; 'Berbeda dengan di kampung-kampung, yang kesibukan masyarakat masih terbatas, maka suara-suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, musalla, selain berarti seruan taqwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitar.'

Dengan kesadaran akan adanya perbedaan yang cukup lebar antara kota dan desa, pada bagian akhir lampiran ditegaskan bahwa instruksi ini pada umumnya berlaku untuk masyarakat kota, yakni ibukota negara, ibu kota provinsi, dan ibu kota kabupaten/kota 'di mana penduduk aneka warga agama dan kebangsaan, aneka warna dalam jam kerja dan keperluan bekerja tenang di rumah, dan lain-lain'. Sedangkan untuk masjid dan musala di kampung, pelaksanaan instruksi tersebut 'dapat lebih longgar, dengan memerhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat, kecuali hal-hal yang dilarang oleh syara’.'

Surat Edaran Menag 2022

Setelah kurang lebih 44 tahun berlalu, Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut disusul oleh Surat Edaran Menteri Agama No. 05 Tahun 2022. Kita tidak tahu persis mengapa Instruksi Dirjen 1978 itu tidak pernah direvisi sebelumnya. Apakah karena masalah ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah, ataukah karena instruksi tersebut sudah cukup. Padahal, di sisi lain, keluhan tentang pengeras suara ini kadangkala muncul di permukaan, baik sekadar suara-suara di pinggiran atau bahkan sampai menimbulkan kontroversi yang sengit, pro dan kontra. 

Mungkin pula karena masalah ini dianggap sensitif, sebagian orang cenderung menghindar membicarakannya. Selain itu, saya kira banyak kaum muslim, termasuk para pengurus masjid dan musalla, tidak mengetahui instruksi tersebut. Usaha-usaha melaksanakannya di lapangan melalui sosialisasi dan pengawasan juga nyaris tak terdengar.

Sudah maklum bahwa suasana Orde Baru 1978 tidak sama dengan suasana Reformasi 2022, baik dari segi sosial, politik, ekonomi ataupun budaya. Pada masa Orde Baru, kekuasaan sangat terpusat pada pemerintah yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Teknologi informasi dan komunikasi masih belum secanggih sekarang. Orang masih menggunakan mesin tik, belum komputer. Telepon seluler belum ada. Yang ada baru telepon analog yang pakai kabel, dan inipun hanya dimiliki oleh segelintir orang. 

Media cetak dan elektronik sangat terbatas dan diawasi ketat oleh pemerintah. Sementara sekarang, kita hidup pada masa kebebasan berpendapat dan berserikat. Demokrasi politik relatif berjalan dengan baik. Kita juga menggunakan teknologi telepon selular yang mudah dan murah, yang dimiliki oleh hampir semua orang dewasa. Kita juga hidup di masa ketika media konvensional disaingi oleh media sosial. Hidup kita nyaris tak bisa lagi dipisahkan dengan dunia maya dan teknologi digital.

Perbedaan konteks ini juga kiranya yang membuat Kementerian Agama mengubah nomenklatur programnya, dari kerukunan menjadi moderasi. Pada masa otoritarianisme Orde Baru, gagasan tentang kerukunan dalam arti menjaga hubungan baik antar kelompok di masyarakat memang cocok. Dalam kerukunan, yang terpenting orang tidak konflik, meskipun hati dongkol. Istilah yang digunakan A Mukti Ali, Menteri Agama sebelum Alamsyah, kerukunan itu antara lain adalah sikap setuju untuk tidak setuju (agree to disagree). 

Dalam hal ini, peran pemerintah juga menjadi sangat dominan, seperti tercermin dalam pilar ketiga kerukunan, yakni kerukunan umat beragama dan pemerintah. Di sisi lain, pada masa Reformasi, ketika masyarakat memiliki kebebasan mengungkapkan pendapat, lebih-lebih ditopang oleh media sosial yang sangat terbuka, gagasan yang tepat kiranya adalah moderasi. Moderasi antara lain berarti menengahi di antara perbedaan. Suara-suara yang berbeda harus didengarkan. Perbedaan harus diakui. Namun pada saat yang sama, titik temu harus pula diteguhkan sebagai pengikat perbedaan tersebut. 

Sudah maklum bahwa selama masa Reformasi, pro kontra terhadap pengeras suara masjid dan musala yang dianggap berlebihan, sudah cukup sering muncul, baik di media konvensional ataupun media sosial. Sebagian cendekiawan dan tokoh masyarakat juga ada yang menyuarakan keprihatinan terhadap masalah ini. Bahkan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden dan Ketua Dewan Masjid Indonesia cukup sering menyuarakan mengenai pentingnya mengelola pengeras suara masjid dan musala agar semua pihak merasa nyaman. Masalah ini biasanya muncul menjelang bulan suci Ramadan, karena di bulan ini kegiatan kegamaan di masjid dan musala lebih banyak dari biasanya.

Saya menduga, beberapa hal di atas antara lain telah mendorong Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan SE tersebut. Mungkin beliau melihat, instruksi dirjen terdahulu sudah banyak yang lupa dan perlu diperbarui. Mungkin pula, pembuatan SE ini diharapkan memperkuat efektivitas pelaksanaannya di lapangan karena ditandatangani oleh menteri, bukan bawahannya, Dirjen Bimas Islam. 

Jika kita cermati, secara umum isi dari SE ini tidak jauh berbeda dengan instruksi dirjen kecuali dalam beberapa rincian. Misalnya, jika dalam instruksi waktu maksimal menggunakan pengeras suara ke luar sebelum salat Subuh 15 menit, dalam SE menjadi 10 menit. Sedangkan sebelum salat Jumat dalam instruksi lima menit, tetapi dalam SE 10 menit. 

Penggunaan pengeras suara luar dalam takbiran dibatasi maksimal pukul 22.00, dan untuk hari tasyriq cukup pengeras suara dalam. Dalam instruksi dirjen tidak ada pembatasan ini. Dalam SE ada pula penetapan batas maksimal volume pengeras suara, yaitu 100 desibel.

Yang cukup menarik, SE sama sekali tidak menyebutkan pembedaan antara desa dan kota. Apakah hal ini berdasarkan asumsi bahwa perubahan masyarakat kita sudah sedemikian rupa sehingga antara desa dan kota nyaris tidak banyak berbeda lagi? Inilah salah satu pertanyaan yang patut dipikirkan, terutama ketika implementasi SE nanti di lapangan. Mungkin sudah banyak desa yang berubah laksana kota, tetapi mungkin pula masih banyak desa yang penduduknya tidak heterogen dan tidak padat.

Akhirnya, banyak kalangan mempertanyakan, apakah masalah pengeras suara masjid dan musala ini perlu intervensi pemerintah? Mengapa tidak diserahkan kepada masyarakat sipil saja untuk menyelesaikannya? Saya kira intervensi pemerintah diperlukan karena faktanya ketika pemerintah membiarkan, pengelolaan masalah ini tidak berjalan dengan baik. 

Selain itu, SE ini dapat menjadi rujukan bersama agar tidak terjadi kontroversi yang berlarut-larut. Di sisi lain, SE ini takkan efektif tanpa dukungan masyarakat sipil. Hal ini terbukti dengan instruksi Dirjen Bimas Islam yang sudah hadir 44 tahun, tetapi pelaksanaannya tidak maksimal. Karena itu, sangat tepat kiranya SE ini menegaskan bahwa aparat Kemenag 'dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dan organisasi kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan'. Alhasil, substansi SE ini akan bermanfaat bagi masyarakat jika dilaksanakan dengan bijaksana.

Baca Juga

Dok. Pribadi

Konsekuensi Global Hasil Pemilu Turki

👤Savran Billahi Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta, lulusan Hacettepe University Ankara 🕔Senin 29 Mei 2023, 05:15 WIB
SELAIN menarik secara domestik karena menghasilkan diskursus yang dinamis, pemilu Turki memiliki ketertarikan dan citra rasa...
Dok. Pribadi

Pendidikan Pluralisme

👤Ratno Lukito Dewan Pengawas Yayasan Sukma 🕔Senin 29 Mei 2023, 05:10 WIB
Pendidikan ini mempertimbangkan bahwa masyarakat modern terdiri atas individu-individu yang berasal dari berbagai latar belakang budaya,...
MI/Duta

Perpustakaan Abad Ke-21

👤Siti Alpiyah Pustakawan Sekolah Sukma Bangsa Bireuen 🕔Senin 29 Mei 2023, 05:05 WIB
Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengakses informasi dengan cepat dan mudah dari mana saja dan kapan saja melalui perangkat elektronik...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya