Kamis 24 Februari 2022, 21:53 WIB

Harga Minyak Goreng Meroket dan Keheranan Pak Menteri

Eko Suprihatno, Jurnalis Media Indonesia | Opini
Harga Minyak Goreng Meroket dan Keheranan Pak Menteri

MI/Vicky G
Jurnalis Media Indonesia Eko Suprihatno

 

Ketika melihat kondisi beberapa pekan terakhir, apa yang terjadi di negeri ini sungguh suatu ironi. Bagaimana tidak, hampir setiap hari rakyat antre untuk mendapatkan minyak goring di segala sudut negeri seperti sudah menjadi pemandangan lumrah. Di sisi lain, negeri ini memiliki perkebunan kelapa sawit yang sangat luas.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kelapa sawit merupaka tanaman perkebunan dengan nilai ekonomis tinggi. Jangan heran kalau ada berita yang menyebutkan pembukaan hutan kerap dilakukan untuk memanjakan pemilik modal yang ingin menanam kelapa sawit.

Kita lihat saja dari data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada 2019 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14.456.611 hektare. Total produksi mencapai 47.120.247 ton. Nah, nilai ekspor crude palm oil atau minyak nabati mencapai US$14.716.275.000 atau setara Rp211,68 triliun.

Jadi, jangan heran kalau luas perkebunan kelapa sawit selama 2014-2018 mencapai 14.456.611 hektare. Pemilik perkebunan itu yang pasti bukan kalangan proletar, perusahaan besar swasta menguasai hampir 54,94% dengan Kalimantan dan Sumatra menjadi sentra.

Kalau dengan data seperti itu, pantas enggak sih kita sampai terjadi kelangkaan minyak goreng? Pantas enggak sih rakyat kecil harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak goreng murah yang harganya dibanderol tak boleh lebih dari Rp14 ribu per satu liter? Terkadang di tingkat ritel, harga sudah melonjak menjadi sekitar Rp19 ribu per liter. Karena saya sempat membeli yang ukuran dua liter dibanderol Rp38 ribu.

Pepatah yang mengatakan bak ayam mati di lumbung padi, menemukan bentuknya. Kini, bisa kita katakan, rakyat menjerit di tengah harga minyak yang melangit walau negeri ini punya jutaan hektare kebun kelapa sawit. Sebetulnya, di mana keberpihakan negara dalam situasi sulit dan rumit.

Padahal kalau kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Minggu, 20 Februari 2022, stok minyak goreng curah tidak langka, bahkan mencukupi. Pak menteri sampai heran, kok bisa ya seperti ini. Kalau sekelas bapak saja heran, apalagi kami yang cuma rakyat kecil begini. Sudah harga tinggi barang pun langka dan tak punya empati.Jadi menteri kok heran.

Menteri Lutfi menuding harga minyak goreng curah tinggi karena ada yang menimbun. Nah, ini, ini yang kadang membuat kami jengkel setengah mati. Sudah tahu ada yang menimbun kok pelaku enggak langsung dieksekusi. Kok tega banget sih, padahal kami setiap hari antri. Tak peduli panas dan debu hanya untuk mendapatkan minyak nabati ini.

Pedagang, galibnya, memang mencari untung setinggi-tingginya. Mana ada cerita pedagang mau rugi. Kalau mereka menimbun itu karena harga di pasaran masih belum pasti. Kalau sudah begini rakyat harus kembali gigit jari. Rakyat tak punya kekuatan lagi, 

Sejumlah kebijakan pengendalian harga minyak goreng memang sudah digulirkan sepanjang Januari-Februari 2022. Hasilnya?. Sudahlah, kita semua sudah tahu harga minyak goreng makin tak terkendali. Jangan lupa lho, harga ini bakal makin meroket mendekati Ramadan 2 april 2022. Saya tak bisa membayangkan apa jadinya sebulan ke depan kalau harga kian edan.

Apa iya sih pemerintah bisa kalah dengan pedagang minyak goreng? Bukankah pemerintah memiliki perangkat termasuk aturan serta aparatur penekan. Rakyat enggak mau pusing dengan harga cpo yang menjulang di tingkat global. Mereka tahunya kalau mau menggoreng tempe atau tahu, minyaknya sangat mahal. Ehh iya, kedelai pun sekarang juga langka.

Yang lumayan seru ketika ada berita tentang ditemukan sejuta liter minyak goreng yang ada di gudang di Medan, Sumatra Utara. Kalau kata kepolisian, itu bukan penimbunan. Tapi kalau kata Komisi Pengawas Persaingan Usaha, apakah hal tersebut penimbunan atau bukan akan dilihat lewat aturan perundangan. Baik polisi maupun KPPU mendasari hal tersebut dengan landasan hukum. Baiklah, ditimbun atau tidak, biar waktu yang akan menjawab.

Saya cuma berpikir sederhana saja, bagi yang memiliki uang lebih, berapapun harga minyak goreng akan dibeli. Tap bagi kalangan pedagang yang mangkal di pinggir-pinggir jalan, kenaikan seribu dua ribu rupiah saja sudah membuat mereka sesak nafas. Jadi jangan heran kalau kemudian para pedagang ini terpaksa, sekali lagi terpaksa, menggunakan minyak goreng yang sama berkali-kali. Hal ini dilakukan untuk menyiasati mahalnya harga minyak goreng.

Apa jadinya kalau minyak goreng dipergunakan berkali-kali? Penggunaan minyak goreng seperti ini dan sering terpapar panas bisa membahayakan tubuh. Ancaman penyakit serius mulai mengintai. Barangkali kalau cuma sekali makan saja, tak terlalu bermasalah. Tapi bayangkan kalau akhirnya kita terpaksa membeli makanan yang menggunakan minyak goreng seperti itu?

VIDEO TERKAIT:

Baca Juga

ANTARA/Boyke Ledy Watra

Melindungi Hak Pilih Warga

👤Arif Susanto Analis politik Exposit Strategic 🕔Kamis 23 Maret 2023, 05:05 WIB
SALAH satu tahapan krusial dalam Pemilu 2024 ialah pemutakhiran data pemilih, yang selanjutnya diikuti penyusunan daftar...
MI/Seno

Ironi Rektor Korup

👤Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga 🕔Kamis 23 Maret 2023, 05:00 WIB
IRONIS. Itulah kata paling tepat untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di dunia perguruan tinggi...
Ist

Dunia Kerja, MBKM, IKU, dan Implikasi Kurikulum 

👤Munzir Busniah, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas 🕔Selasa 21 Maret 2023, 10:49 WIB
MBKM adalah program yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang menjadi bekal memasuki dunia kerja sesuai...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya