Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dunia Arab Baru

Hasibullah Satrawi Pengamat Timur Tengah dan dunia Islam
11/2/2022 05:00
Dunia Arab Baru
(MI/Seno)

PERANG Yaman yang melibatkan kelompok Houthi dan koalisi pimpinan Arab Saudi-Uni Emirat Arab (UEA) masih jauh dari kata selesai. Belakangan, serangan dari kedua belah pihak justru semakin intensif sekaligus ekspansif; serangan koalisi Arab Saudi-UEA semakin membabi buta di Yaman. Sementara itu, serangan kelompok Houthi justru semakin jauh menjangkau kota-kota strategis di Arab Saudi dan UEA. Bahkan belum lama ini, serangan Houthi berhasil mencapai Abu Dhabi (17/01).

Pada tahap tertentu, perang Yaman bisa dijadikan sebagai ‘gambaran kecil’ dari dunia Arab baru yang berubah pasca-Arab Spring mengguncang negara-negara Arab pada akhir 2010 yang mana sebuah negeri merdeka, seperti Yaman, justru bisa menjadi ‘landasan tempur’ bagi kekuatan-kekuatan luar, baik ‘luar’ dalam arti sesama negara Arab maupun ‘luar’ dalam arti non-Arab, seperti terjadi dalam konteks perang Suriah sejak beberapa tahun lalu dan Libia pada bagian tertentu.

Di luar yang telah disampaikan, dunia Arab baru yang berubah pasca-Arab Spring juga ditandai dengan naiknya peran negara-negara Arab Teluk di dunia Arab bahkan di Timur Tengah secara umum. Dunia Arab hari ini ialah dunia yang sangat ditentukan sepak terjang negara-negara Arab Teluk, baik secara politik, sosial, maupun keagamaan.

Inilah pemandangan baru yang tersaji di dunia Arab pasca-Arab Spring. Pemandangan ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum Arab Spring yang mana negara-negara Arab, seperti Mesir, Yordania, Suriah, Irak, bahkan Yaman justru sangat menentukan di kalangan dunia Arab dan Timur Tengah secara umum. Arab Spring yang awalnya diharapkan menjadi fajar baru demokrasi menuju dunia Arab yang lebih modern justru menghadirkan konflik politik dan sosial yang bahkan berkepanjangan hingga hari ini. Alih-alih bangkit, sebagian negara Arab justru tenggelam dalam konflik internal dan tak lagi bisa berperan secara optimal di luar negara mereka.

Dalam konteks seperti ini, Arab Teluk yang terbukti aman dari guncangan Arab Spring hingga hari ini bisa meningkatkan peran dan pengaruh mereka. Bukan saja dalam konteks dunia Arab secara khusus, melainkan juga di wilayah Timur Tengah bahkan dalam konteks global. Dengan kata lain, peran dari negara-negara Arab Teluk hari ini bisa turut menentukan damai atau tidaknya sebuah negara Arab lain.

 

Israel

Hal lain yang juga terjadi di dunia Arab baru yang berubah pasca-Arab Spring ialah penampilan mesra antara pejabat-pejabat tinggi sebagian negara Arab Teluk dan pejabat tinggi Israel. Paling tidak, hal ini dialami UEA yang belakangan sangat mesra dengan Israel; warga kedua negara bisa dan mulai biasa saling berkunjung. Pun dengan elite pemerintahan kedua negara.

Sebagaimana dimaklumi, kerja sama erat antara Israel dan beberapa negara Arab, khususnya di daerah Arab Teluk, terjadi setelah penandatanganan normalisasi hubungan dengan Israel yang terjadi di akhir pemerintahan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Di antara negara yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel ialah UEA, Bahrain, Sudan, dan yang lainnya. Sebagian dari negara-negara itu belakangan mencoba melakukan kerja sama komprehensif dengan Israel, dari teknologi secara umum hingga pertahanan dan persenjataan.

Secara kronologis, pemandangan mesra antara sebagian elite negara Arab dan Israel bisa disebut sebagai salah satu buah terlarang dari kegagalan Arab Spring. Alih-alih bermesraan, sekadar kunjungan ke Israel sudah diganjar dengan tembak di tempat sebagaimana dialami Anwar Sadat, mantan Presiden Mesir. Penembakan terhadap Anwar Sadat tentu tidak bisa dibenarkan. Namun, kejadian tersebut bisa digunakan untuk melihat kedalaman permusuhan antara masyarakat Arab dan Israel.

Inilah salah satu pemandangan yang banyak ditemukan di dunia Arab sebelum Arab Spring. Orang-orang seperti almarhum Yasser Arafat acap dielu-elukan sebagai pahlawan karena dianggap berani melawan Israel. Demikian dengan Hafiz al-Assad, bapaknya Bashar al-Assad yang menjadi Presiden Suriah sampai hari ini.

Kini, di era pasca-Arab Spring yang kerap terjadi justru sebaliknya; pemandangan mesra antara pejabat Israel dan pejabat negara Arab tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bahkan, upaya kerja sama komprehensif pun dilakukan, termasuk dalam konteks pertahanan dan persenjataan.

Persis di sinilah kritik yang menurut penulis bernuansa cibiran dari Sekjen Hizbullah, Hasan Nasrullah, sangatlah menohok. Pria yang dikenal sebagai salah satu tokoh Syiah pro Iran tersebut mengatakan bahwa normalisasi hubungan antara sebagian negara Arab dan Israel mungkin melahirkan banyak kerja sama. Akan tetapi, kerja sama yang ada, menurut Nasrullah, tidak akan sampai mencakup pertahanan dan persenjataan Israel (Aljazeera.net, 08/02).

Sebagaimana dimaklumi, Hizbullah merupakah salah satu milisi yang sangat kuat di Lebanon. Saking kuatnya, Hizbullah tak ubahnya negara di dalam negara. Bahkan, Hizbullah bisa disebut sebagai milisi paling kuat saat ini di Timur Tengah. Hizbullah dikenal sebagai salah satu anggota poros konfrontasi (dalam melawan Israel) yang dipimpin Iran.

Apa yang disampaikan Nasrullah di atas menarik untuk diperhatikan ke depan. Sejauh mana perubahan yang terjadi antara Isarel dan negara-negara Arab yang melakukan normalisasi? Apakah negara-negara ini ke depan benar-benar menjadi kawan sejati yang siap sehidup-semati atau hanya sekadar kawanan-kawanan yang sejatinya mereka tetap menjadi lawan?

 

Pertaruhan besar

Kerja sama di bidang pertahanan dan persenjataan bisa dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kedalaman persahabatan yang kini terjalin antara Israel dan beberapa negara Arab, khususnya UEA. Bila hubungan persahabatan yang ada benar-benar sejati, Israel akan terbuka untuk membantu meningkatkan pertahanan dan persenjataan negara-negara Arab yang telah melakukan normalisasi hubungan seperti UEA, termasuk menciptakan pertahanan kubah besi (Iron Dome) seperti dimiliki Israel.

Faktanya ialah alih-alih sistem pertahanan kubah emas, bahkan roket yang dikirim oleh kelompok Houthi pun berhasil menembus kota strategis seperti Abu Dhabi. Inilah yang penulis maksud di atas bahwa yang disampaikan Nasrullah bukan kritikan murni, melainkan bernuansa cibiran. Dengan bahasa lain, dalam bayangan Nasrullah, Israel dianggap hanya memanfaatkan negara-negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan demi kepentingan politik dan ekonominya. Sebaliknya, negara-negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel tidak akan mendapatkan apa pun, terutama terkait pertahanan dan persenjataan.

Dalam hemat penulis, apa yang dilakukan Israel dan negara-negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan merupakan sebuah pertaruhan besar karena masing-masing pihak pasti menginginkan adanya keuntungan dari normalisasi atau kerja sama yang dilakukan. Apakah akan seperti yang disampaikan Nasrullah di atas atau justru sebaliknya? Inilah yang menarik untuk terus diikuti ke depan dari perkembangan politik di dunia Arab secara khusus dan Timur Tengah secara umum.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya